18/06/10

PENYAKIT-PENYAKIT “PORN” KITA

Konon istilah porn berasal dari bahasa Inggris yang berarti Pornografi. Didalam masyarakat Indonesia, Pornografi sendiri lazim diartikan sebagai tindakan asusila atau tindakan yang tidak pantas dilihat dengan membuka aurat. Jadi setiap orang yang mempertotonkan aurat di muka umum dilanjutkan dengan berbuat menyimpang dari norma masyarakat, langsung “dikutuk” telah melakukan perbuatan pornografi. Tidak peduli apakah hal tersebut dilakukan secara sukarela, paksaan, bisnis atau komoditas lain, seperti pengalihan opini public. Masyarakat tidak peduli, karena masyarakat menomer satukan norma, menomerduakan Nilai. Norma lebih penting dari nilai. Jika norma merupakan aturan dan kesepakatan bersama, maka Nilai mengikat setiap orang untuk tidak melakukan perbuatan porno di manapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun.
Contoh, bila melakukan perbuatan porno di daerah kampung psk atau hiburan malam tidak masalah, tetapi lain ceritanya kalau berbuat porno di depan kampung atau didalam tempat ibadah. Karena menormesatukan norma tadilah, maka msyarakat kita takut akan perkataan orang atau ”bisik-bisik tetanggga”. Selama hal tersebut dilakukan ditempat yang benar maka kegiatan pornografi tidak akan menuai protes. Pokoknya segala perbuatan kita harus selaras dengan yang dimaui bersama.
Karena tidak mematuhi nilai keselarasan itulah, Ariel, Luna dan Cut Tari tersandung kasus penyakit Porno. Kasus ini membuat para pejabat, pengacara-pengacara terkenal sampai organisasi masa turun tangan dengan satu tujuan ”hentikan perbuatan porno yang merusak norma”. Penyakit ini timbul akibat dorongan hawa nafsu syahwat kata orang Islam, kata orang Psikolog penyakit ini timbul karena ada hasrat yang tidak tersalurkan, kata orang ekonomi penyakit ini timbul karena bingung mau digunakan untuk apa waktu luang saya. Jadi penyakit porno ini timbul dikarenakan adanya waktu luang ditambah dengan dorongan nafsu syahwat yang tidak disalurkan.
Penyakit porn antara Luna, Ariel dan Cut Tari memang akut dan sangat merusak mental bangsa, terlepas dari apakah mereka benar-benar membuat video tersebut, atau orang lain yang menginginkan motif bisnis, atau seorang yang punya cita-cita menjadi bintang film tidak kesampaian atau pengalihan opini publik terhadap suatu kasus besar? Misalnya Centuryporn? Tidak ada kopentensi saya untuk menjawabnya. Penyakit lain yang juga menjangkiti masyarakat kita dan bersifat kronis adalah penyakit ”lupa”. Lupa ini mempunyai makna luas, bisa lupa sehabis berbuat ”porno”, lupa bahwa ada calon bupati yang ikut andil dalam kasus lumpur, lupa bahwa ada kasus besar yang lebih mempunyai dampak ”sistemik”, lupa kalau daya saing produk kita makin lama-makin turun dan penyakit lupa lainnya.
Ah, apalah arti lupa, wajarkan bila manusia itu lupa dan melupakan. Sudah jadi kodrat bahwa manusia adalah tempatnya lupa dan salah. Karena penyakit lupa itulah menimbulkan penyakit salah. Salah sangka, salah prediksi, salah tangkap dan salah-salah lainnya. Lalu apa hubungannya antara pornografi dan lupa ini? Ya jelas ada hubungannya antara pornografi dan lupa. Kita lahir apakah sudah berpakaian atau masih telanjang? Kita lupa berapa banyak video porno yang beredar dimasyarakat? Kita lupa bahwa diri kita sendiri mempunya nafsu, keinginan, dorongan dan kesempatan untuk berbuat hal yang sama. Kalau lebih mau njelimet dan agak menusuk lagi, Apakah perbuatan pornografi tidak pernah kita lakukan? Apakah perbuatan Ariel porn memang berdampak ”signifikan” terhadap kejatuhan mental anak-anak Indonesia? Masih harus lebih diteliti lagi.
Maka kalau kita sampai pada pertanyaan diatas, lantas kita berteriak hokum Luna,hokum Ariel dan Hukum Cut Tari, dan selamatkan generasi muda kita, tidak otomatis kita bersih dari perbuatan pornografi, tidak otomatis kita menjadi orang yang suci dan mulia. Maka pengadilan dan orang-orang yang merasa “adil” harus melihat kedalam diri mereka dulu dan menjamin bahwa dirinya terbebas dari perbuatan pornografi dan kawan-kawanya.
Bangsa kita mempunyai sebuah teknologi yang sudah lama dilupakan orang, teknologi yang berasal dari diri kita. Teknologi ini telah berabad-abad melewati ratusan jaman mulai jaman lemurian sampai jaman SBY. Teknologi inin diberikan langsung oleh Gusti Allah yang menciptakan hidup. Teknologi tersebut berbentuk, pengaturan inisiatif mental, disokong oleh aktivitas emosi, dan dilengkapi dengan intelektual. Jika kita sudah bisa mengolah dan menjalankan teknologi ini dengan baik maka kehidupan ini akan terasa enteng dan mudah. Misalnya: untuk makan enak, tidak tergantung dari apa yang kita makan, tapi bagaimana sikap kita menganggap dan memperlakukan makanan itu. Sulit, menghayal memang ini hanya khayalan dari penulis amatir yang percaya bahwa teknologi itu telah ada didalam diri kita masing-masing.
Masyarakat berteriak-teriak beberapa hari akan kasus Century, kaenaikan BBM ,kasus pornografi, kenaikan Tarif dasar listrik dan beberapa masalah lain yang sangat akut melanda Indonesia. Yang akhirnya menjalani aktivitas rutin sperti biasa tanpa terlihat telah terjadi masalah-masalah besar. Bangsa ini adalah bangsa yang besar, bangsa yang tidak akan hancur karena kasus skandal pornografi Arielporn, tidak hancur karena kasus Century, masih bisa hidup meskipun tarif dasar listrik naik. Yang bisa menghancurkan kita hanya diri kita sendir, diri bangsa ini. Penyakit lupa, penyakit pornografi, penyakit salah, penyakit kebanggaan hanyalah sebuah pemicu yang menggerogoti kehebatan diri kita sendri.
Ah seandainya bangsa ini menomer satukan nilai dan berjalan bersama-sama dengan norma pasti tidak akan seruwet ini. Ah, seandainya video yang disebut Arielporn dikemas secara markettable pasti tidak akan menjadi persoalaan. Ah, seandainya bangsa ini mengerti siapa dirinya. Ah, seandainya penguasa memikirkan nasib rakyat kecil dan Ah, ternyata saya hanya bermimpi.

07/06/10

BIARKAN AKU MENJADI AREK SUROBOYO YANG MENCINTAI INDONESIA

Sejarah dimualinya nafas hidup kota ini, diawali dengan pengusiran tentara tar-tar oleh Raden Wijaya founding father Majapahit. Pertarungan itu akhirnya dimenangkan oleh Raden Wijaya. Kemenangan ini berdampak pada pembuatan rancangan kota Surabaya untuk pertama kalinya pada Tanggal 31 Mei 1293 M, didesain sebagai kota pelabuhan untuk menyanggah perekonomian bagi kerajaan Majapahit.
717 tahun berlalu, kini kota Surabaya bukan lagi sebagai penyangga perekonomian Majapahit tapi menjadi pilar perekonomian sebuah Negara yang bernama Indonesia. Negara yang lahir pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 Wib di jalan Pengangsaan Timur no 56 Jakarta. Dengan usia yang baru mencapai 65 tahun, Negara Indonesia seperti balita yang baru bisa merangkak. Warga Negara yang menjadi komponen utama dalam Negara Indonesia baru belajar dan mempraktekkan bagaimana mengola Negara yang baik, jadi wajar jika sikap try and error masih menghinggapinya.
Secara konstitusi orang ber KTP Surabaya pastilah orang Indonesia, tapi orang Indonesia belum tentu orang Surabaya. Maka dari itu semboyan Negara Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika berbeda-beda tapi tetap satu jua. Pemikiran tentang penulisan semboyan ini tentu mengacu kepada karakteristik Indonesia sebagai bangsa, Indonesia sebagai Negara kepulauan dari Sabang sampai Merauke. Yang tentu mempunyai budaya, sejarah dan keunikan yang bermacam-macam dan tidak bisa disama ratakan. Dari semboyan ini mengkrucut menjadi Pancasila yang kita kenal sekarang ini.
Kembali ke Surabaya, ditinjau dari segi apapun tetap Surabaya lebih tua dari Negara Indonesia. Surabaya adalah kota yang unik dengan pribadi arek Suroboyonya yang khas. Kata budaya Jancuk misalnya hanya pantas dan pas diucapkan oleh Arek Suroboyo, baik nada, intonasi, soulnya, pitch control dan luapannya. Ini bukan kata-kata menghina dan melecehkan, tapi ini adalah kata yang memacu semangat, sebuah kata pelampiasan, sebuah kata untuk mengatakan kekaguman dan sebuah kata untuk mengungkapkan kesedihan. Jancuk hanya bias dimengerti oleh arek Suroboyo sejati.
Itu baru segi budaya kata, belum segi yang lainnya. Dari segi kecintaan terhadap Negara Indonesia tak perlu diragukan lagi arek-arek Suroboyo sangat mencintai Negara ini. Pertempuran 10 November 1945 adalah salah satu bukti betapa cintanya Arek Suroboyo akan kemerdekaan Indonesia. Dengan bermodalkan nekat dan MengAllahkan-Allah para pejuang dengan gagah berani menyerbu pasukan Gurkha Inggris. Pasukan elit dan terkuat dunia, dihadapi hanya bermodal nekat dan MengAllahkan-Allah. Tak peduli siapa yang menghalangi, bagi arek-arek Suroboyo waktu itu “Kemerdekaan Indonesia harga mati”. Semua itu dilakukan arek-arek Suroboyo demi cintanya terhadap Negara Indonesia.
Kultur khas arek Suroboyo tak akan pernah hilang dan jangan sampai hilang. Karena sebuah budaya merupakan komponen utama untuk membangun sebuah peradaban. Mengaju pada literatur buku Psikologi Budaya karangan David Matsumoto, budaya adalah sebuah konstruk sosiopsikologis, suatu kesamaan dalam sekelompok orang dalam fenomena psikologis seperti nilai, sikap, keyakinan dan perilaku. Budaya bukan berakar dari biologi maupun kebangsaan.
Dalam pengertian diatas budaya merupakan suatu konstruk individual-psikologis sekaligus konstruk sosial-makro. Artinya, sampai batas tertentu, budaya ada di dalam setiap diri kita secara individual sekaligus ada sebagai konstruk sosial global. Inilah yang mendasari pemikiran penulis mengapa semangat kedaerahan selalu muncul. Jika kita mengaku orang Indonesia, tentu kita akan sulit bertindak dan menentukan budaya dominant yang disebut Indonesia. Jangankan Indonesia, orang Jepang saja sulit untuk bertindak sesuai dengan apa yang dianggap sebagai budaya Jepang. Di Jepang ada yang dinamakan budaya Kansai dengan logatnya yang khas dan hingga kini tidak hilang malah dilestarikan.
Sikap dan perilaku orag Surabaya akan selalu muncul baik disadari atau tidak. Karena keyakinan penulis, budaya Surabaya merupakan fitrah dari orang Surabaya. Sebagaimana Fitrah dari manusia adalah Tauhid. Hal inilah sebetulnya kita gali dan kita pelajari lebih dalam, bagaimana budaya-budaya yang berbeda-beda itu bisa menyatu dan menyokong Negara Indonesia tercinta ini.
Suraboyo oh suroboyo, engkau dulu Berjaya kini mengalami nasib sebaliknya. Ibarat roda engkau berada didalam titik nadzir. Suroboyo dengan budayamu yang egaliter, demokratis keturunan dari gen pejuang dan pahlawan. Sekarang mengalami sebuah penurunan besar, dilihat dari klub besar Persebaya Suroboyo langganan juara yang kini megap-megap untuk bertahan di divisi utama, kesenian asli megap-megap mencai uang. Penggusuran pasar-pasar tradisonal tanpa melihat dampaknya. Ini bukan masalah pemimpin asli Suroboyo atau asli luar Suroboyo. Ini adalah masalah sosial akut, penghancuran budaya asli Suroboyo, agar arek-arek Suroboyo menjadi lemah dan lembek. Dan akan berdampak pada Indonesia, yang akan melahirkan generasi lemah dan lembek. Kehilangan jati diri sebagai arek Suroboyo bahkan Arek Indonesia. Inilah yang seharusnya ditakutkan, sebuah Negara jika sudah kehilangan jati dirinya bagaimana bias maju?
Maka yang seharusnya dilakukan oleh arek-arek Suroboyo, kita belajar kembali, belajar rendah hati, belajar sejarah kita, belajar budaya kita, belajar ilmu agama dan belajar ilmu pengetahuan. Kita sisihkan dulu kata-kata indah yang melambungkan khayalan. Mari kita sama-sama merenung memperbaiki dan mencintai kota Surabaya. Jangan kita hilangkan identitas kita sebagai arek Suroboyo, bangga menjadi arek Suroboyo. Arek Suroboyo sing Cinta Indonesia.
Gigih Pringgondani (pemuda Indonesia)

03/06/10

PIL-KADO ULANG TAHUN JANCOK 717

717 tahun yang lalu di pojok sungai pertigaan Wonokromo dimulailah sejarah besar. Sejarah berdirinya sebuah kota yang memiliki peranan sebagai penopang republik besar. Republik milik sebuah bangsa yang besar. Bangsa yang telah melewati berabad-abad peradaban, mulai dari abad Lemurian, Brahtayuda, Ramayana, Aji saka, Kalingga, Sriwijaya, Majapahit, Kolonial, Orde lama, Orde Baru, Orde Reformasi hingga orde-ordean. Kota ini telah melewati berbagai pertempuran besar, dari pertempuran R. Wijaya vs tentara Tar-tar, hingga pertempuran 10 November. In this name of city, we called suroboyo.
Suroboyo, diambil dari sebuah legenda tentang peratarungan Suro vs Boyo yang menandakan bahwa ini adalah kota besar. Pertarungan cicak melawan buaya sih tidak ada apa-apanya bila dibandingkan Suro vs Boyo. Cicak vs Buaya menandakan bahwa kebenaran atau nilai yang diyakini kebenaran, semangat berjuang dan segala aspek pendukung itu telah mengalami kekerdilan. Jika dulu Suro vs Boyo dilambangkan sebagai perumpamaan bahwa kebenaran vs kejahatan, tapi kini si “Suro telah berevolusi menjadi cicak” sungguh ironis.
Kalau penulis telaah dan tafsirkan dari ilmu tafsir “ngawurgika” Suro vs Boyo mengacu pada peristiwa R. Wijaya vs Tentara Tar-tar Cina. Yang dimenangkan oleh R.Wiyaya. masih dalam konteks ilmu “ngawurgika” sejak lahirnya Suroboyo hingga berusia 717 tak lepas dari perjuangan dan semangat heroik. Yang itu terekam didalam memori-memori warga Suroboyo, dan diakumulasi didalam budaya hingga timbul apa yang dinamakan JANCUK ATAU JANCOK. Jancuk hanya pantas dan pas diucapkan oleh Arek Suroboyo, baik nada, intonasi, soulnya, pitch control dan luapannya. Ini bukan kata-kata menghina dan melecehkan, tapi ini adalah kata yang memacu semangat, sebuah kata pelampiasan, sebuah kata untuk mengatakan kekaguman dan sebuah kata untuk mengungkapkan kesedihan. Jancuk hanya bias dimengerti oleh arek Suroboyo sejati.
Okey, dari jancok men jancok, kita terbang kepada momen yang diberi judul pil-pilan. Ya pil-pilan merupakan sarana nasional untuk membuat Indonesia lebih baik. Dan untung sekali bangsa ini, banyak para jago “ pil” itu yang sangat peduli pada rakyat dan sangat dermawan. Orang-orang terhormat, mau menyempatkan waktu barang sejenak untuk tertawa bersama dengan kaum marjinal, kaum yang terpinggirkan. Sehingga rakyat kecil merasa diwongkan dan tujuan akhirnya yaitu memilihnya menjadi pemenang dari arena “pil” tadi.
Acara pil, dilehat pada tanggal 2 Juni 2010 bertempat di seluruh kota Surabaya. Dengan materi, memilih dengan cara di coblos. Pil arena untuk menentukan bagaimana Surabaya ke depan, bagaiman struktur APBD kota Surabaya, bagaimana nasib wong cilik, bagaimana nasib mahasiswa Surabaya, orang tua mahasiswa Surabaya dan bagaimana-bagaimana lainnya yang membuat saya bingung. Agaknya semakin cerdas orang-orang Suroboyo menghadiahkan moment pil-pilan ini sebagai kado yang ke 717. Jika kado 716 adalah penggusuran stren kali yang penuh kesedihan, isak tangis dan kemarahan. Maka kado yang ke 717 merupakan kado yang penuh kebahagiaan, bergembira bersama dan melupakan kesedihan akibat digusur.
Nama juga keturunan pejuang, maka hal kecil seperti digusur itu dianggap biasa dan tak perlu dibesar-besarkan. Pertempuran-pertempuran besar saja di lupakan dan tidak di ingat, apa lagi hanya acara gusur, menggusur itu sih kecil sekali. Masalah Surabaya tentu sangat sulit dan kompleks, dari mulai pembuangan sampah, dolly, pertarungan ideology , gaya hidup sampai hal remeh penentuan apakah berkata jancok itu haram atau halal. Semoga di usia yang menginjak 717 kota Suroboyo beserta element-element inti dan pendukung mampu bersikap lebih dewasa, memajukan dan memakmurkan. Satu kata Jancok Suroboyo.