16/09/10

RENUNGAN DI POJOK WARUNG

Sore itu, kawan aku duduk termenung sendiri di pojok sebuah warung. Merenung memandang kebelakang sejanak pengalam-pengalaman yang telah aku lalui. Kata orang, pengalaman merupakan sebuah guru yang amat berharga. Lebih berhaga dari sebuah buku yang kita baca maupun ceramah dari seorang Dosen. Sambil menyeruput teh susu hangat, kuingat lagi kata-kata seseorang yang aku kagumi, Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku dan budaya. Sampai seorang Prof dari Universitas Columbia USA sampai terheran-heran bagaiman Negara Indonesia yang tersusun dari begitu banyak keragaman bisa berdiri menjadi sebuah Negara yang utuh.
Sambil memandang layar telivisi kawan yang menyiarkan berita pesona nusantara, pikiranku mundur kebelakang mengingat kejadian di kelas politik. Saat itu kawan, dosenku bercerita tentang sebuah Wawasan Nusantara. Sebuah cara pandang yang sudah jarang dimiliki orang Indonesia. Wawasan Nusantara berarti kita sadar akan alam Indonesia, keragaman budaya, ketahanan wilayah dan kesedaran untuk memajukan serta mempertahankan Negara Indonesia. Ah, kawan ini adalah sebuah pikiran kuno, pikiran yang sudah ketinggalan jaman. Wawasan Nusantara? Untuk apa hal itu? Bukankah kita sudah hidup di era Globalisasi? Era dimana sekat Negara sudah tidak ada, era dimana manusia bisa bebas kesana kemari tanpa terikat oleh institusi yang bernama Negara. Doktrin Wawasan Nusantara sudah usang, begitu kata temanku yang duduk bersebelahan denganku didalam kelas. Temanku ini tergolong anak yang cerdas dengan IPK 3,75, tentu saja pikirannya lebih maju dari pada aku seorang pemuda warung dengan IPK Nasakom (nasib satu koma). Temanku ini bercita-cita setelah lulus dari UAS (Universitas Alam Semesta) ingin melanjutkan sekolah di Harvard University. Universitas nomer 1 didunia. Dul, aku ingin pergi ke Harvard untuk belajar politik agar bisa memodernkan sistem politik Indonesia.
Aku hanya bisa manggut-manggut saja kawan, kutatap bangga punya teman yang seperti dia.Kutepuk pundak kawanku ini, “ Wah, kawan engkau memang seorang Nasionalis sejati, seorang yang mempunyai perhatian tinggi terhadap bangsa dan negara ini”. Nasionalisme? Perhatian? Untuk Bangsa? Tidak dul, konsep nasionalisme sudah usang sama halnya dengan konsep wawasan Nusantara. Tidak lucu bukan, jika negara-negara lain menerapkan Globalisasi, kita masih berkutat pada Nasionalisme? Kapan kita maju dul. Persaingan akan membuat kita maju, persaingan akan membuat kita kuat dan persaingan akan membuat kita menuju dunia modern, dunia lebih baik. Dul, sistem politik yang aku inginkan adalah terbukanya semua sektor ekonomi. Agar bangsa kita yang bodoh ini terbuka mata dan wawasannya. Lalu langkah awal untuk itu? Tentu saja dul, mengamandemen kembali UUD 1945 dan Pancasila karena itulah sumber keterpurukan negara kita.
Aku terdiam sejenak berpikir keras, amandemen UUD 1945 dan merubah Pancasila? Bukankah itu berarti kita mendirikan sebuah negara baru? UUD 1945 dan Pancasila adalah dasar pijakan negara ini? Kalau mengubah kedua hal tersebut berarti telah mengubah negara ini, bukan negara Indonesia yang merdeka 1945, tapi sebuah negara baru meskipun sama namanya. Dul, kenapa diam? Kamu bingung dengan perkataanku? Begini dul, mengapa UUD 1945 dan Pancasila merupakan sebuah sumber masalah. Coba kita lihat Sila 1, adalah sumber masalah konflik antar agama yang terjadi di Indonesia. Disadari atau tidak penghilangan tujuh kata dibelakang Ke Tuhanan Yang Maha Esa telah melegalkan ormas tertentu untuk merusak tatanan masyarakat. UUD 1945, terutama pasal 33 telah membuat gerak ekonomi melambat, coba kalau pasal itu dihapuskan tentu pertumbuhan ekonomi dapat melesat tinggi. Setelah ekonomi tumbuh, kita akan menjadi negara maju dan rakyat makmur sejahtera. Dan aku akan dikenal dunia sebagai seorang arsitek politik yang hebat, karena berhasil mengubah bangsa yang terbelakang menjadi bangsa yang unggul. Sambil manggut-manggut aku berpikir, betapa indahnya mimpi yang kau jual kawan.
Mimpi ya sebuah mimpi, itulah yang kupikirkan sekarang kawan. Mimpi untuk menjadi bangsa modern, bangsa yang maju. Walaupun modernitas itu tidak mengindahkan sopan santun, tidak mengindahkan silahturami dan tidak mengindahkan gotong royong. Modernitas tersebut telah membuat seseorang memaksakan kehendaknya,memaksakan idenya dan memaksakan caranya. Itu semua dilegalkan oleh institusi yang bernama negara. Modernitas mengukur kemajuan hanya dari segi ekonomi. Gotong royong, silahturami adalah kegiatan yang tidak produktif dan menghabiskan waktu. Silahturami cukup kirim sms dan telepon beres masalah, tidak membuang banyak uang dan waktu. Gotong royong? Buat apa? Cukup kita bayar orang untuk membersikannya. Ah, kawan uang, efisiensi dan efektif sumua itu yang diukur oleh dunia modernitas kita. Ada sebuah kisah yang mungkin bisa mengingatkanmu kawan tentang sebuah sikap silahturami. Sebuah cerita tentang paesani sebuah suku yang mendiami kota Roseto Valtore.
Suku paesani kebanyakan bekerja sebagai petani atau penambang. Pada bulan Januari 1882, beberapa suku paesani berlayar menuju New York untuk meningkatkan pendapatannya. Sesampainya disana mereka menemukan tambang batu di daerah Bagor, Pennsylvania. Setelah penemuan itu, makin banyak suku paesani yang bermigrasi ke Bagor. Semakin lama, komunitas paesani semakin besar hingga berdirilah sebuah kota. Kota baru ini dinamakn New Italy yang kemudian diubah menjadi Roseto untuk mengingat kampung halaman mereka.
Tersebutlah seorang dokter bernama Stewart Wolf, beliau adalah seorang dokter dan menjadi peneliti di Universitas of Oklahoma. Suatu ketika dia diundang pesta oleh seorang rekannya seorang dokter didaerah Roseto. Rekan tersebut bercerita bahwa penduduk disini, jarang mengidap penyakit jantung, kalaupun ada hanya orang berusia 65 tahun keatas yang kena. Wolf kemudian memutuskan untuk meneliti fenomena tersebut. Awalnya Dr Wolf mengira bahwa yang menyebabkan ini semua adalah faktor makanan atau pola olah raga atau gen atau lokasi kota itu sendiri. Namun, diakhir penilitiannya semua hipotesis awal tersebut tertolak. Yang menyebabkan penduduk Roseto berumur panjang adalah kebiasaan mereka bersilahturami. Kebiasaan ini mendorong orang kaya untuk tidak memamerkan kekayaannya dan menolong orang-orang yang kurang sukses menguburkan kegagalannya.
Begitulah kawan, ini contoh nyata sebuah budaya silahturami membuat kita berumur panjang. Kawan, wawasan nusantara mencakup didalamnya ada budaya Silahturami. Budaya inti bangsa kita. Kawan didalam konsep Wawasan Nusantara terkandung makna “ Hei orang Indonesia berinteraksilah, bertukar pikirlah dan bersilahturamilah dengan saudara-saudara kalian dibelahan daerah lain, kita adalah satu saudara kawan, satu bangsa dan satu Negara”. Namun kini, semua itu tertutup oleh modernitas. Semua hal yang dianggap modern pasti baik. Tengok saja kawan, berapa ribu pemuda kita ber IP 3,00 keatas yang antri untuk bekerja di sektor modern, berapa ribu calon mahasiswa yang mendaftar pada jurusan kedokteran, ekonomi, teknik industry? Berapa ribu mahasiswa yang bercita-cita ingin sekolah ke Oxford, Cambridge atau Harvard? Namun kawan coba tengok, berapa ribu mahasiswa yang berminat mengambil jurusan kelautan dan pertanian? Berapa ribu tenaga kerja yang antri untuk bekrja disektor pertanian.
Kawan, tentu saja aku tahu, sektor modern lebih menjanjikan uang lebih banyak. Memang uang bukan segala-galanya, namun segala-galanya butuh uang. Namun kawan, engkau lupa satu hal, uang tidak bisa membeli yang dinamakan bahagia. Coba engkau sempatkan kawan, keluar dari sangkarmu yang indah, mari berjalan bersamu. Ku ajak engkau memandang berlama-lam gelak tawa orang-orang yang menikmati kopi di warung pinggir jalan, kuajak engkau memandang sejenak perkampungan kumuh, engkau akan menemukan wajah bahagia yang tak dapat engkau temui didunia manapun. Kawan, inikah yang mau engkau ubah menjadi sebuah dunia modern? Dunia yang harus efisien dan efektif? Tak bisakah sektor modern dan tradisonal berjalan bersama kawan?
Kawan didalam ilmu ekonomi ada yang dinamakan konsep Input-Output atau disingkat I-O. Kalau boleh aku artikan kawan, konsep ini memberitahu kita bahwa sektor tradisonal dan sektor modern mempunyai hubungan saling terikat. Misal, produksi daging sapi berpengaruh langsung pada makanan kaleng, berpengaruh pada kredit yang disalurkan oleh bank dan lembaga keuangan, berpengaruh pada pemenuhan gizi masyarakat. Pendek kata, sektor modern tidak bisa hidup tanpa sektor tradisonal, namun sektor tradisonal tetap bisa hidup tanpa sektor modern. Kawan, coba sebutkan padaku, negara mana di eropa yang maju tanpa didahului sektor pertaniannya? Kawan pasal 33 dalam UUD 1945 pada dasarnya untuk melindungi sektor tradisonal dari cengkraman sektor modern. Yang dicita-citakan pasal 33 UUD 1945 adalah menciptakan keharmonisan kemajuan antara sektor tradisonal dan modern. Sulit? Memang sulit kawan, pasal 33 adalah bentuk ideal dan pencapaian budaya tertinggi bangsa ini. Jauh sebelum ahli-ahli ekonomi meributkan masalah eksternalitas. Eksternalitas adalah, sebuah hasil baik positif maupun negatif yang kita terima dari suatu kegiatan, meskipun kita tidak melakukan kegiatan itu. Coba kawan, mana ada UUD negara didunia ini yang mengatur masalah eksternalitas secara mendetail.
Kawan, begitu juga dengan pancasila yang merupakan pencapaian peradaban bangsa Indonesia. Peradapan itu tercermin dari budayanya yang gemar silahturami dan gotong royong. Sila 1 sampai sila 5 mencerminkan silahturami dan gotong royong. Memang Tuhan tidak terlibat dalam pembuatan pancasila ini. Namun Tuhan tetap terlibat dalam bentuk ide yang keluar. Ide tentang konsep Ketuhanan YME, ide tentang kemanusian, ide tentang persatuan, ide tantang kerakyatan dan ide tentang keadilan. Coba tengok kawan, apa warna bendera kita? Merah dan Putih. Bukankah itu merupakan bendera Rasulluah? Yang sudah membudaya di masyarakat Indonesia, coba kalau ada selamatan nama bayi, selamatan tahun baru Islam pasti menggunakan bubur merah dan putih. Itulah kawan symbol budaya kita, yang ditancapkan pendiri negara ini. Budaya akan tetap hidup dalam dirimu kawan. Itukah yang akan kau ubah kawan, kau ubah dengan ilmu modern yang kau dapat dari luar negeri?
Kawan, jika engkau tetap bersikeras begitu tidak mengapa, tapi maukah engkau mendengar suaraku? Suara pemuda yang hanya tahu kehidupan disebuah warung. Pintaku kawan, ku ingin melihat pemuda-pemuda anak-anak sejarah ini belajar untuk tidak menjadi apa-apa. Engkau punya kemampuan tinggi pergunakanlah untuk membanngun negara ini, tanpa mengharap pamri untuk negara ini. Kawan, aku hanya ingin melihat seorang pemuda berkata “ Saya sudah cukup senang bertemu bapak President Republik Indonesia, republik yang telah lama membesarkan aku, republik yang telah memberiku banyak pengalaman untuk tumbuh menjadi seorang Garuda. Kawan itulah renungan yang aku buat di pojok warung. Meskipun tidak jelas dan tak berbentuk tapi itulah suara hatiku. Kawan kalau ada guna buatmu ambillah. Kalau tidak ada guna ya Alhamdulilah. Paling tidak ada yang membaca tulisan tak berbentuk dari seorang pemuda warung.