17/12/11

MEMBANGUN MODEL BISNIS BAHARI KITA

Sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia semestinya Indonesia menjadi negara maju dan besar. Dalam UU No 17 tahun 2007 tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN), pemerintah mencanangkan Indonesia sebagai negara terbesar ke 12 se-dunia dengan pendapatan per-kapita antara $ 13.000-$16.100 dan menjadikan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju dan kuat berdasarkan kepentingan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut pemerintah telah membuat rencana pengembangan perekonomian Indonesia di masing-masing pulau yang nantinya lautan akan menjadi penghubung utamanya.
Namun pertanyaan besar kemudian muncul, akankah misi yang mulia menjadi sebuah negara kepulauan yang maju dapat terwujud, mengingat semangat bahari didalam jati diri bangsa ini sudah lama hilang? Data PDB Indonesia menunjukkan bahwa kontribusi sektor kelautan untuk perekonomian nasional masih sangat rendah bahkan kurang dari 10% dan hampir seluruh wilayah peseisir di Indonesia menjadi kantong-kantong kemiskinan karena. Selain itu pengamatan yang penulis lakukan di beberapa wilayah pesisir menyimpulkan bahwa sektor kelautan memiliki 3 karakteristik utama yaitu: ketidakpastian yang tinggi, biaya tinggi dan hasil yang sedikit. Hal tersebut diperparah dengan tidak adanya pendidikan tentang kelautan di lembaga pendidikan yang ada bahkan untuk sekedar menjadi pelajaran muatan lokal-pun juga tidak ada. Lalu tidak adakah solusi dari pemerintah? Ya ada, tapi hal tersebut masih berupa solusi-solusi teknis dan tidak sustainable hanya bersifat musiman. Seperti yang dikatakan oleh Arif Satria ahli kelautan dari IPB bahwa berbagai masalah sumber daya lautan yang selama ini timbul lebih sering dipahami sebagai masalah teknis dan diberikan solusi teknis untuk menyembuhkannya.
Komunitas Kerja Bahari
Secara teoritis prinsip membangun komunitas kerja harus memperhatikan berbagai dimensi yaitu socio-economic, socio-cultural dan institutional sustainability. Mengapa harus dimulai dari komunitas? Karena masyarakat pesisir merupakan pilar utama dalam pembangunan ekonomi bahari. Mengabaikan masyarakat pesisir berarti mengurangi tingkat skala ekonomi menjadi tidak optimum. Membangun komunitas kerja bahari, berarti merancang layananan berbasis-masyarakat untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan mengarahkan sumber daya, keahlian dan kerifan lokal untuk kesejahteraan bersama.
Fungsi lain dari pembangunan komunitas adalah agar perencanaan yang telah dibangun tidak ditolak oleh masyarakat. Lazimnya masyarakat tradisonal, masyarakat pesisir memiliki prinsip moral lebih dominan dari pada rasionalitas ekonomi sehingga pendekatan ekonomi akan sulit bekerja pada masyarakat pesisir. Oleh karena itu, mengapa kebijakan yang bersifat teknis sering kali mengalami kegagalan saat diimplementasikan di lapangan. Selain itu, kelebihan pendekatan pembangunan komunitas kerja bahari adalah: proses pengembangan masyarakat bahari dikerjakan atas dasar pengetahuan lokal, bersifat unik pada masing-masing wilayah dan berkelanjutan serta membutuhkan biaya yang tidak terlalu mahal.
Membangun Model Bisnis Bahari
Model bisnis bahari tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian integral dari proses pembangunan komunitas kerja bahari. Model bisnis bahari di masing-masing wilayah boleh unik dan beda namun tetap dalam koridor master plan ekonomi pemerintah. Sebagai contoh model bisnis bahari di distrik Chuo Tokyo Jepang (JawaPos 10/12/2011). Corak bahari penduduk distrik Chuo kebanyakan merupakan nelayan dan pedagang.Sehingga untuk memfasilitasi hal tersebut, pemerintah Jepang mendesain model bisnis bahari didistrik Chuo dengan membangun pasar raksasa. Pasar tersebut dibagi menjadi dua area yaitu area bagian dalam khusus untuk tempat pelelangan ikan dan penjualan masakan laut. Bagian luarnya khusus untuk menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari. Pasar ini telah berdiri sejak tahun 1935 atau 76 tahun dan merupakan salah satu daya tarik wisata. Beda lagi dengan model bisnis bahari yang dikembangkan di kota Osaka. Kota Osaka pada tahun 1994 pernah memiliki PDRB sebesar US$ 830 Milyar atau setara dengan 2% GNP dunia. Corak bisnis bahari yang dilakukan oleh penduduk kota Osaka adalah perdagangn dan transportasi. Karena alasan inilah pemerintah kota Osaka tidak membangun pasar seperti di distrik Chuo, tetapi membangun model bisnis bahari kota dengan membangun dan mengelola sarana transportasi laut yang lebih bercorak manufaktur.
Apa yang dapat kita ambil pelajaran dari Jepang untuk membangun sistem ekonomi bahari kita? Ada dua faktor yang dapat kita ambil dari dua kota Jepang tersebut. Pertama adalah membangun model bisnis bahari haruslah memperhatikan key resource yang ada di kota tersebut. Jika sektor kelautan kota tersebut banyak menghasilkan ikan maka bangun-lah infrastruktur yang mendukung produksi perikanan. Bila kota tersebut merupakan kota perdagangan maka bangunlah infrastruktur kelautan yang menunjang perdagangan. Faktor kedua adalah: karakteristik komunitas kerja bahari. Jika komunitas kerja bahari pada suatu kota lebih senang menjual hasil laut dalam bentuk bahan mentah maka bangun-lah infrastruktur yang mampu mempercepat atau menambah nilai dari hasil laut yang mentah tersebut. Jika komunitas kerja bahari pada suatu kota lebih senang menjual hasil laut dalam bentuk hasil olahan industri, maka bangun-lah infrastruktur yang dapat memperlancar kinerja industri kelautan. Karena tanpa adanya komunitas yang bekerja, kecil kemungkinan pembangunan ekonomi bahari akan dapat berkembang. Mungkin itu merupakan jawaban secara ekonomi, mengapa pembangunan bahari beberapa daerah di seluruh Indonesia gagal, seperti salah satu contoh: pasar ikan di Kedung Cowek Surabaya gagal atau pembangunan ataupun kebijakan ocean plan menjadi kurang berhasil. Sungguh sangat disayangkan jika potensi besar yang seharusnya mampu membawa Indonesia menjadi negera maju tidak menjadi kenyataan hanya karena tidak dilihatnya dua faktor penentu pengembangan bisnis bahari (key resource dan komunitas kerja bahari) tak diperhatikan dalam membangun sektor bahari disuatu kota Indonesia. Sebagai kota perdagangan maritim yang mempunyai sejarah panjang, Surabaya mungkin dapat menjadi pilot projek untuk pengembangan model bisnis bahari di Indonesia.

10/11/11

YUK KEMBALI KELAUT

Who is command the sea, He is command the world sebuah ungkapan yang begitu masyur didunia hingga saat ini masih menjadi pegangan negara-negara besar di seluruh dunia. Sejarah lautan merupakan sejarah panjang yang sering kali menimbulkan peperangan besar tak terkecuali di Indonesia. Mulai dari penyatuan nusantara sejak jaman Sriwijaya sampai peperangan merebut Irian Barat semuanya tidak lepas dari sektor yang satu ini. Namun hingga saat ini mengapa sektor kelautan masih terabaikan? Meskipun sudah dibicarakan diberbagai seminar-seminar, kajian ilmiah sampai pada surat kabar nasional, tidak terkecuali harian Kompas yang terlihat konsisten dalam memberitakan masalah kelautan Indonesia.
Headline kompas pada tanggal 8/11/2011 memperingatkan dengan keras bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak diikuti dengan kualitas hidup warga negara Indonesia. Pertumbuhan ekonomi naik sebesar 6,5% namun peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) secara global terdegradasi 16 peringkat dari 108 menjadi 124 dunia. Seandainya penurunan peringkat tersebut terjadi pada komperisis sepak bola misalnya Seri A liga Italia, tentu kesebelasan Indonesia sudah mengalami degradasi ke Seri B dan pelatih atau manajer tim bisa langsung dipecat tanpa ada pembelaan lagi. Untung Indonesia adalah sebuah negara demokrasi, sehingga selalu ada justifikasi pembenaran mengapa peringkat IPM Indonesia sampai terdegradasi 16 peringkat. Pembenaran yang sebenarnya kurang intelek datang dari staf ahli kementrian pendidikan dan kebudayaan bidang sosial dan ekonomi, Beliau memberikan statementnya bahwa: penurunan peringkat tersebut merupakan hal wajar dikarenakan jumlah negara yang diukuroleh UNDP meningkat dari 169 negara menjadi 187 negara, sungguh sebuah argumentasi yang kurang cerdas. Seakan-akan seorang staf ahli itu lupa bahwa masalah ekonomi adalah urusan mata pencarian (livelihood).
Untuk membangun sebuah perekonomian yang berkualitas yang paling mudah adalah melihat keunggulan absolut dan komperatif negara ini. Keunggulan absolut suatu negara dapat dilihat dari kondisi geografis-nya. Kondisi geografis yang lebih dari 2/3 wilayah-nya merupakan lautan merupakan keunggulan abolut yang belum tentu dimiliki oleh negara-negara lain didunia. Dilaut sebenarnya kita mempunyai banyak-banyak keunggulan, mulai dari sektor perikanan, sektor pariwisata, transportasi, daerah pertahanan dan beberapa kandungan mineral didalammnya. Namun itu semua belum termanfaatkan dengan baik dikarenakan dua hal: Pertama masalah financial yang kedua masalah ketertarikan anak-anak muda untuk mengelola laut-nya.
Politik Anggaran dan Perubahan Mindset
Sudah lazim di negeri ini, bahwa politik anggaran saat pembahasan RAPBN dan APBN selalu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek dan saat APBN selesai di sah-kan anggaran untuk pembangunan infrastruktur kelautan cenderung kecil apalagi untuk penelitian dan pengembangan sektor ini. Sebenarnya pembangunan sektor kelautan memiliki sebuah harapan yang cerah saat President SBY menerbitkan Inpres nomor 5 Tahun 2005 yang berisi tentang pemberdayaan industri pelayaran nasional. Dalam inpres tersebutdiinstruksikan kepada seluruh Gubernur beserta jajarannya untuk menerapkan asas cabotage. Secara bebas, arti asas cabotage adalah mewajibkan seluruh kegiatan pengangkutan kapal domestik dilakukan oleh kapal-kapal berbendera Indonesia. Namun dalam perjalanannya penerapan asas cabotage terkendala oleh dua hal yaitu kendala teknis dan kendala sumber daya manusia.
Kendala teknis meliputi: Pertama, kapal-kapal Indonesia rata-rata sudah berumur tua. Kedua, industri galangan kapal belum begitu berkembang. Ketiga, dukungan perbankan masih rendah dan keempat tidak adanya intensif fiskal untuk mereduksi kendala teknis tersebut. Sedangkan kendala sumber daya manusia meliputi: Pertama, kurang adanya minat generasi muda untuk bekerja disektor kelautan. Untuk hal tersebut, saya pernah membuktikan sendiri walaupun dalam sebuah penelitian yang diadakan dibeberapa wilayah pesisir Jawa Timur, hampir seluruh anak muda yang saya temui akan memilih bekerja disektor kelautan jika sudah sangat terpaksa. Kedua, rendahnya minat pemuda dikarenakan pengajaran tentang kelautan tidak ada didalam kurikulum mereka, bahkan untuk pelajaran muatan lokal sekalipun tidak ada. Sungguh sebuah ironi di negeri Maritim, negara dengan 2/3 wilayah lautan tetapi tidak ada sebuah pendidikan yang dapat menumbuhkan rasa cinta akan laut. Yang muncul pada berita-berita nasional tentang lautan sungguh sangat menyedihkan. Kalau tidak masalah nelayan yang makin hari makin terjepit, ya masalah tenggelamnya alat transportasi laut akibat dimakan umur.
Sebagai pembanding, sebuah buku yang diterbitkan oleh Organization for economic co-operation and development (OECD) dengan judul Globalisation, Transport and the Environment memberikan sebuah pernyataan yang jelas tentang masa depan transportasi laut. Globalisasi telah membuat pengiriman barang dengan menggunakan kapal terus meningkat dari waktu ke waktu. Masih menurut laporan OECD tenaga kerja pada bidang perkepalan masih didominasi oleh USA dan United Kingdom, bahkan jumlah tenaga kerja perkapalan Indonesia masih kalah banyak dengan India yang notabennya adalah negara daratan. Akhir kata banyak alasan mendasar mengapa sektor kelautan dapat menggerakkan pertumbuhan berkualitas. Namun dengan kondisi pengangguran yang mencapai 8 juta lebih, alangkah baiknya bila sektor kelautan kita dapat menampung paling tidak 4 juta pekerja yang dapat disebar diseluruh Indonesia, dengan demikian pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan berkualitas karena berhasil mengurangi jumlah pengangguran.

01/11/11

PERLUKAH DIBANGUNKAN SEKOLAH MORAL NASIONAL?

Melihat hasil jajak pendapat kompas (28/10/2011) mengenai orientasi sikap kalangan muda saat ini, penulis teringat akan sebuah seminar yang kebetulan dihadiri penulis tepat satu hari sebelumnya (27/10/2011) di Universitas 17 Agustus Surabaya. Seminar yang bertemakan “ Menemukan Kembali Republik kita” lebih dari 50% diisi oleh para orang yang sudah berusia 45 tahu keatas, sedangkan anak-anak muda yang hadir pada waktu itu kebanyakan merupakan aktivitis kampus yang tergabung dalam perhimpunan pergerakannya sendiri-sendiri dengan masing-masing ideologinya. Bagaikan langit dan bumi, satu hari sebelumnya (26/10/2011) penulis coba hadir pada seminar MLM, hampir 80% yang hadir merupakan anak-anak muda. Luar biasa, karena pada hari ini seminar yang membahas tentang bangsa dan negara tidaklah menarik dibandingkan seminar yang mengajari cara cepat untuk menjadi kaya.
Ingin Cepat Menjadi Kaya
Menjadi orang kaya merupakan cita-cita sejak masa yang hampir tidak bisa ditetapkan kapan. Sehingga sering kali individu-individu mencari jalan pintas untuk cepat menjadi kaya dengan cara yang ilegal dan sering memberikan dampak negatif terhadap tatanan. Keinginan untuk cepat menjadi kaya, membuat individu-individu ekonomi selalu berfikir kreatif menciptakan cara-cara baru, yang akhirnya juga menimbulkan masalah-masalah baru. Masalah baru yang ditimbulkan bisa bersifat secara individual seperti timbulnya perasaan iri kepada tetangga yang lebih kaya maupun dapat timbul secara nasional seperti kasus penembakan di wilayah PT Freeport Papua ataupun seperti yang dikemukakan oleh hasil jajak pendapat Kompas tentang tingkat kepedulian kalangan mudah terhadap persoalan bangsa, sungguh ironi.
Ketika suatu sistem kehidupan menciptakan sebuah strutur sosial baru, disaat itulah kekayaan, cepat menjadi kaya dan menumpuk kekayaan menjadi sebuah gaya kehidupan yang baru. Sistem sosial modern, menempatkan orang kaya mencapai status sosial yang begitu tinggi dan menjadi sebuah cita-cita yang harus dicapai oleh sebagian anak muda. Dalam perspektif tersebut, tidak mengherankan bila anak-anak muda di Indonesia tumbuh menjadi anak muda yang bersikap lebih mementingkan dirinya sendiri alias egois. Pemaparan hasil jajak pendapat Kompas, bukan berarti menggambarkan sebuah masa depan yang suram dan tidak dapat diperbaiki. Penulis teringat akan perkataan Adam Smith dalam bukunya the theory of moral sentiments yang berbunyi “ bagaimanapun egoisnya seorang manusia, ada beberapa prinsip dalam dirinya yang membuat dia berbuat baik untuk orang lain, dan menahan kesenangannya sendiri, meski dia tidak memperoleh apa-apa darinya selain sebuah kebahagian melihat orang lain senang. Inilah yang harus kita bangkitkan dan kita tanamkan pada anak-anak muda, pertanyaan selanjutnya bagaimana caranya?
Membangun Sekolah Moral Nasional?
Mungkin ide ini terkesan tidak terlalu menarik, bukan hal baru dan mungkin akan dipandang sebelah mata mengingat sulitnya mengukur apa yang dimaksud dengan moral. Moral dalam sebuah kedudukan sosial lebih tinggi dari hukum. Sebuah hukum merupakan bentuk paksaan kepada individu-individu untuk menciptakan masyarakat yang bermoral. Hari ini, bisa kita saksikan secara bersama-sama dengan mata telanjang bagaimana berita-berita di media massa sungguh mencemaskan dan menakutkan. Mulai pemberitaan yang bersifat individual seperti kasus pembunuhan karena dilatarbelakangi cek-cok tetangga, sampai masalah nasional seperti korupsi, kekerasan atas nama agama sampai kasus gerakan sparatis di Papua. Semua itu diakibatkan oleh penurunan moral baik negara maupun pasar. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, hal tersebut disebabkan karena sistem ekonomi Indonesia hanya memuja individualitas dengan mengabaikan sebuah sosialitas. Disinilah sebenarnya moral harus menjadi jembatan yang menghubungkan kepentingan individualitas dengan sosialitas. Seperti halnya kemerdekaan Indonesia maupun perilaku konsumsi, tidaklah bersifat alami namun terwujud dalam proses penciptaan atau rekayasa. Begitupun juga dengan pembangunan moral, tidak bisa kita serahkan pada mekanisme pasar, yang kemudian dengan sebuah tangan ajaib dan tak tampak mampu menciptakan generasi-generasi mudah yang bermoral serta peduli dengan Bangsanya.
Pemikiran seperti itu tentu akan mengakibatkan sebuah absurditas, yang akan menambah serangkaian daftar panjang permasalahan di negeri ini. Hanya melalui jalur pendidikan-lah kemungkinan besar hal tersebut dapat terwujud. Namun, hari ini berbabagai institusi pendidikan, baik pemerintah maupun non-pemerintah kebanyakan hanya menciptakan lulusan-lulusan yang bagus dalam segi individualitas, namun saat dihadapkan pada dekendensi moralitas, terlihat sebuah kegagalan besar pada sebagian besar institusi-institusi pendidikan kita. Bukan-kah kita dapat melihat, siapa yang terlibat kasus-kasus besar di Negara ini, bukan-kah lulusan sebuah institusi pendidikan? Dalam sekup mikro, bisa kita lihat orang disekitar kita, bagaimana budaya silahturami dan hormat-menghormati telah terkikis. Melihat kenyataan tersebut, perlukah kita membangun sebuah sekolah nasional yang khusus mengajarkan tentang moral dan rasa cinta terhadap tanah air? Kalau jawaban dalam hati nurani mengatakan “Iya” maka kita harus memikirkan pertanyaan selanjutnya, siapa yang mengajar? Kalau jawaban mayoritas dari kita adalah “tidak” maka kita harus memikirkan pertanyaan selanjutnya, Bagaimana cara yang efektif dan efisien untuk menanamkan moral dan rasa cintah tanah air kepada generasi muda secara massif? Namun ada satu faktor yang menghubungkan antara jawaban iya dan tidak, yaitu: jika moralitas mencerminkan bagaimana seharusnya dunia ini bekerja dan ekonomi menggambarkan bagaimana kondisi rill Indonesia saat ini.

19/10/11

MEMBANGUN INDONESIA 2050

Tulisan buya Maarif di harian kompas (17/10/11) tentu patut menjadi sebuah perenungan bersama bagi kita yang masih berfikir jangka panjang untuk Indonesia. Didalam tulisan beliau, buya menyampaikan kekuatirannya akan ancamannya over population yang akan dialami Indonesia. Kekuatiran utama bukan karena pada tahun 2050 jumlah penduduk kita menjadi terbesar ketiga didunia, tetapi lebih pada kekuatiran menurunnya crayingg capacity dari alam Indonesia untuk mensuplai kebutuhan makanan. Gambaran suram tersebut kian diperkuat dengan ketimpangan ekonomi yang terjadi pada beberapa daerah di Indonesia. Perekonomian Indonesia hanya dibagi menjadi dua, yaitu jawa dan luar jawa. Gerak perekonomian jawa menyumbang sekitar 62% dari total GDP di Indonesia, sedangkan sisanya sebesar 38% disumbang oleh wilayah di luar jawa. Wilayah luar jawa tersebut terdiri dari Sumatera menyumbang sekitar 23%, Kalimantan menyumbang sekitar 8-9%, Sulawesi menyumbang sekitar 4%, Papua menyumbang sekitar 1%, Maluku menyumbang sekitar 0,25% dan Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara menyumbang sekitar 1% dari total GDP nasional. Ketimpangan ekonomi antar jawa dan luar jawa baru merupakan sebuah permasalahan internal, belum lagi kita bicara masalah eksternal yang bersiap mengancam eksistensi Indonesia.
Kritik Terhadap Dualisme
Sudah lama kita tinggalkan sebuah paham sentralisasi pembangunan, atau dalam sebuah pengambilan kebijakan disebut top-down. Berganti menjadi paham desentralisasi atau yang disebut kebijakan bottom-up. Berakhirnya era sentralisasi menyebabkan sebagian besar orang menganggap bahwa desentralisasi merupakan pilihan terbaik, atau sama halnya ketika kita memandang bahwa paham liberalisme merupakan pilihan terbaik dari pada paham sosialisme. Secara teoritis kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan, output dari kebijakan sentralisasi dan desentralisasi tidak akan pernah lepas dari yang namanya strukturalisme. Karena pusat tidak mungkin ada tanpa pinggir dan pinggir tidak mungkin ada tanpa pusat. Jika pusat terlalu kuat maka pusat akan menjadikan pinggir sebagai daerah eksploitasi. Begitu juga sebalikknya jika pinggir terlalu kuat maka pusat hanya terlihat sebagai budak. Dan hari ini real politik Negara kita memperlihatkan bahwa pinggir lebih kuat dari pada pusat, sehingga untuk menetapkan sebuah kebijakan, pusat terkesan ragu dan lambat.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah: mana yang lebih baik antara kebijakan sentralisasi ataukah desentralisasi? Disinilah timbul masalah yang selalu dibicarakan setiap orang, yaitu bagaimana mencapai keseimbangan pusat dan daerah atau sama dengan bagaimana mencari keseimbangan pasar dan negara. Hal tersebut bisa kita jawab jika kita mengetahui apa akar dari dualisme antara sentralisasi dan desentralisasi. Menurut Gidden, terletak pada cara pandang kita dalam melihat posisi objek, apakah sentralisasi ataukah desentralisasi? Hal tersebut bisa dijembatani lewat titik temu diantara keduanya. Titik temu tersebut diimplementasikan kedalam praktik sosial yang berulang dan berpola. Praktik sosial tersebut bisa berupa terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme maupun sebuah persepsi umum bahwa mahasiswa yang pandai adalah mahasiswa yang mempunyai nilai IPK diatas 3,00 lebih-lebih menyandang gelar cum laude. Inilah akar permasalahan mengapa kebijakan yang dipilih baik sentralisasi maupun desentralisasi hampir selalu menimbulkan permasalahan yang sama yaitu: meningkatnya kemiskinan disuatu daerah dan disisi lain meningkatnya kesejahteraan ekonomi pada daerah yang lain. Inilah mungkin yang akan ditakutkan oleh buya Safii Maarif tentang gambaran suram Indonesia 2050.
Ancaman Middle Income Trap
Kita bergeser dari dualisme strukturisasi kebijakan pembangunan dalam negeri untuk sedikit menengok kondisi perekonomian di luar Indonesia. Dalam world economic forum yang diselenggarakan oleh Indonesia kemarin, Asian Development Bank (ADB) memberikan prediksi bahwa: Indonesia, Cina, India, Jepang, Korsel, Malaysia dan Thailand akan memimpin perekonomian global di tahun 2050. Estimasi dari ADB menunjukkan bahwa pada tahun 2050, jumlah populasi di 7 negara tersebut akan turun, sedangkan PDB akan meningkat hingga 90%. Lebih dalam lagi, data investasi asing langsung ke Indonesia pada tahun 2010 mencapai titik tertinggi jika dibanding tiga tahun sebelumnya yaitu sebesar 13,304(US$ mill) atau terbesar kedua dibanding Singapura untuk tahun yang sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih mempunyai prospek ekonomi yang positif secara makro untuk beberapa tahun ke depan.
Fakta-fakta yang menggembirakan tersebut bukan tanpa resiko. Resiko yang paling tampak membayangi adalah Indonesia terancam terjangkat penyakit yang disebut middle income trap. Middle income trap adalah sebuah situasi dimana suatu negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang tinggi ditunjang dengan peningkatan aliran investasi yang masuk sehingga meningkatkan predikat sebuah negara yang semula low income menjadi negara middle income, namun setelah itu negara tersebut tidak mampu bertransformasi menjadi negara dengan pendapatan tinggi. Negara-negara yang gagal melewati middle income trap adalah negara-negara di Amerika latin, sedangkan negara yang berhasil melewatinya adalah Jepang dan Korsel. Gambaran positif selanjutnya bila Indonesia bisa melewati middle income trap, diprediksi Indonesia akan menjadi pusat perekonomian di Asia. Faktor utama yang menentukan keberhasilan tersebut adalah tingkat modal intelektual yang ada pada negara tersebut, selain kemauan dari institusi negara dan politik untuk mendukung kebijakan fight to middle income trap.
Penutup
Gambaran suram yang dikemukakan oleh buya Maarif mungkin akan menjadi kenyataan pada 2050 nanti bila kondisi real sosial-politik masih dipenuhi oleh dualisme. Ancaman terjadinya middle income trap menambah suramnya masa depan Indonesia. Apakah sudah tidak ada harapan? Harapan tersebut masih ada, jika dan hanya jika praktik sosial dan ekonomi masyarakat mengalami sebuah perubahan. Tentu saja sebuah perubahan perilaku sosial dan ekonomi tidak dapt muncul dengan sendirinya jika ingin menggapai kesejahteraan bersama, harus melewati sebuah mekanisme institusi yang berperan untuk mengarahkan gerak perubahan tersebut. Institusi yang dimaksud adalah institusi pendidikan, namun apa bila institusi pendidikanmasih terjebak dalam paradigma dualisme mungkin gambaran suram yang diramalkan buya Maarif akan benar-benar terwujud.. Namun jika institusi pendidikan dapat mengubah pola pendidikannya, maka kita dapat berharap 2050 Indonesia akan menjadi sebuah negara yang tangguh dan ramalan buya Maarif bisa kita harapkan tidak terjadi.

11/08/11

IN-EQUITY NASIONALISME

Nasionalisme, topik yang hangat untuk selalu diperbincangkan, baik bagi kalangan akademisi, politisi maupun masyarakat biasa meskipun dengan sebutan yang cukup berbeda. Namun kebanyakan pokok pembicaraan tersebut selalu mengkaitkan nasionalisme Indonesia sebagai paham yang diciptakan para founding father kita. Bukan bermaksud menggurui, namun nasionalisme tidak pernah dilahirkan dalam proses pemikiran seseorang maupun kelompok. Nasionalisme merupakan pergulatan panjang perpaduan nilai-nilai antar struktur sosial yang ada di Indonesia. Meminjam opini Daniel Dhakidae, Nasionalisme tidak pernah dilahirkan tetapi merupakan proses panjang hasil dialektika antara ruang, waktu, dan kelompok sosial dan politik yang mengolahnya. Dalam konteks inilah kita perlu merenung kembali sisa-sisa nasionalisme yang masih hidup didalam diri kita.
Ernes Gelner dalam sebuah bukunya pernah berpendapat, bahwa gejala nasionalisme merupakan sebuah fakta yang unik. Bahwa nasionalime terbentuk dikarenakan ada sebuah kekuatan yang menarik ikatan antar manusia yang kemudian diformalkan menjadi bentuk negara-bangsa. Tanggal 17 Agustus 1945 itulah, hari dimana ikatan nasionalisme kita diformalkan. Dengan ditandatangani oleh atas nama bangsa Indonesia (Sukarno-Hatta) secara de fakto negara Indonesia lahir setelah lahirnya bangsa Indonesia. Ya memang sebuah keunikan tersendiri Indonesia merupakan sebuah negara yang Bangsanya tercipta lebih dahulu. Ya, Bangsa Indonesia lebih dahulu ada sebelum berdirinya Negara Indonesia.
Eksternal dan Internal
Di dunia yang semakin datar dan tanpa batas, ikatan formal nasionalisme tersebut kembali diuji. Kalau dulu jaman sebelum tahun 1945, formalisasi nasionalisme menghadapi tantangan eksternal berupa penjajah dan internal berupa hambatan geografi dan budaya untuk menyatukan bangsa Indonesia di bawah bendera negara republik Indonesia. Kini, tantangan tersebut telah berubah, pada sisi eksternal tantangan nasionalisme menghadapi globalisasi ekonomi. Sedangkan dalam sisi internal terbentuknya moral hazard yang semakin membesar.
Pada posisi eksternal nasionalisme Indonesia dihadapkan pada ancaman daya saing produk ekonomi. Saat ini banyak para pengusaha Indonesia lebih senang untuk menjalankan roda bisnisnya pada sektor non-tradedeble. Padahal antara tahun 1984-1996 saat Indonesia dijuluki macan Asia pertumbuhan ekonomi banyak disokong sektor riil (pertanian dan industri), namun saat ini periode 2006-2010 sumber pertumbuhan ditopang oleh sektor non-tradeable (telekomunikasi, keuangan, jasa, perdagangan, dan lainnya). Akibatnya akumulasi keuangan semakin menumpuk pada suatu heriarki sosial tertentu sehingga menyebabkan disparitas kekayaan ekonomi semakin melebar. Apa hubungannya dengan memudarnya semangat nasionalisme? Dalam teori equity terdapat dua hal yang mendasari motivasi yang menimbulkan perpecahan. 1) Kondisi yang mendasari perasaan equity maupun inequity adalah suatu persepsi individu, bukan kondisi objektif yang terjadi. Seperti terjadinya isu korupsi pada si A atau lembaga A. 2) Perasaan inequity biasanya terjadi jika individu melihat individu lain melakukan usaha minimal dan mendapatkan hasil maksimal. Dalam 2 kondisi tersebutlah individu atau warga negara Indonesia merasa kehilangan rasa persaudaraannya. Karena tak dapat dipungkiri rasa persaudaraan itulah yang menimbulkan nasionalisme.
Pada posisi internal nasionalisme Indonesia dihadapkan pada berbagai peristiwa moral hazard. Seperti, Korupsi, perasaan di anak tirikan warga Indonesia yang berada di perbatasan, fundamentalisme agama kesemua itu jika boleh saya simpulkan mengarah pada ketimpangan ekonomi. Artinya banyak warga negara yang merasa inequity saat seseorang atau saudaranya melakukan usaha minimal dan memperoleh hasil maksimal, sehingga berkembanglah self ego-nya. Dalam bahasa sederhana, kita akan bersedih jika saudara kita mendapatkan musibah atau kegagalan, namun akan bertambah sedih lagi jika saudara kita mendapatkan hasil yang melebihi kita. Berangkat dari inilah dapat dijelaskan mengapa kasus-kasus besar yang mengarah pada disequilibrium sosial selalu menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan.
Penutup
Persoalannya pada beberapa kajian, hanya menyangkut-pautkan kebaikan dan keburukan nasionalisme atau penting dan tidaknya nasionalisme. Namun satu yang membuat kita kembali memikirkan ulang sisa api nasionalisme kita ada pada pertanyaan, masih butuhkah kita terhadap negara Indonesia? Jika jawabannya iya, maka merawat bunga nasionalisme adalah kata kuncinya. Bukan hanya dari sisi ekonomi saja, seperti menyempurnakan skema kebijakan moneter dan fiskal, namun juga dari sisi psikologi kemanusiaan dan memperkenalkan kembali sejarah bangsa. Namun hari ini, akibat adanya keletihan ideologis mungkin sebagian dari kita bilang nasionalisme tidak diperlukan lagi. Sehingga saat ini yang diperlukan adalah bagaimana diri sendiri secara pribadi mampu memenagi persaingan global. Jika secara individu berhasil, akan ada mekanisme tangan tak tampak yang pada akhirnya mengangkat seluruh negara menjadi unggul. Sayangnya, mekanisme tersebut tidak pernah terjadi. Individu yang berbakat mungkin mampu memenangi sebuah pertandingan global, namun hanya lewat sebuah tim yang hebatlah kita akan memenangkan perlombaan secara global. Karena hari ini yang kita hadapi bukan Indonesia versus Negara A namun Indonesia versus kartel internasional A. Dan Kemenangan Indonesia ditentukan oleh seberapa jauh rasa persatuan dan kesatuan masyarakat. Untunglah sampai hari ini, sebagaian besar masyarakat masih mempunyai harapan yang cukup besar pada Negara untuk merawat nasionalisme, namun ada titik kesabaran untuk menunggu terwujudnya harapan tersebut. Jika harapan tersebut hilang, maka Indonesia tinggal sejarah mungkin menjadi kenyataan.
Gigih Prihantono

16/07/11

FENOMENA PENGULANGAN KRISIS1997/1998?

Fenomena adanya global imbalance semakin memperkuat kondisi kegiatan ekonomi di Indonesia bergeser dari oikonomia (pemenuhan kebutuhan) menjadi chrematistic (perdagangan uang). Hal tersebut dapat ditandai dengan semakin positifnya arah gerakan IHSG yang pada akhir 2010 bursa efek Indonesia (BEI) mencatatkan diri sebagai bursa efek dengan pertumbuhan tertinggi di kawasan Asia Pasifik (Kompas, 11 Juli 2011). Hal tersebut juga didukung oleh intervesi dari Bank Indonesia dengan salah satu instrument andalannya menetapkan suku bunga bank Indonesia (SBI) sedikit lebih tinggi dari negara-negara kawasan Asia Pasifik yakni dengan angka 6,75% (Kompas, 13 Juli 2011). Hal tersebut dilakukan oleh BI agar pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai angka 6,3-6,8%.
Untuk mencapai tingkat pertumbuhan diatas tidak hanya diperlukan investasi pada sektor keuangan saja namun juga sektor rill perlu lebih ditingkatkan sehingga peningkatan pembangunan di Indonesia tidak bersifat semu. Namun yang terjadi saat ini, investasi yang masuk ke Indonesia sebagian besar berasal dari pasar keuangan Indonesia dalam bentuk protofolio jangka pendek. Mengapa pasar keuangan Indonesia menjadi sangat menarik bagi investor? Hal ini dikarenakan imbal hasil atas portofolio cukup tinggi dibandingkan wilayah Eropa maupun Amerika dan beberapa negara-negara Asia lainnya atau jika berinvestasi dalam sektor rill. Selain suku bunga yang ditawarkan cukup tingi, portofolio yang masuk dalam pasar keuangan di Indonesia juga dipicu oleh semakin memburuknya kondisi pasar keuangan eropa akibat krisis Yunani yang kini mulai menular ke negara-negara Eropa dan juga diperkuat dengan adanya perang mata uang antara Cina dan USA.
Perang mata uang antara Cina dan USA memicu terjadinya over liquidty dollar di pasar keuangan dunia. Karena USA mencetak dollar lebih banyak, dan mendistribusikannya pada pasar keuangan dunia melalui mekanisme international system monetary. Kenapa USA melakukan itu? Agar komoditas eksport USA laku dipasaran, jika komoditasnya laku maka industri yang berorientasi eksport juga berkembang dan dampaknya akan menyerap tenaga kerja lebih besar. Laporan perkembangan ekonomi keuangan dan kerjasama internasional yang dirilis oleh Bank Indonesia menunjukkan menurunnya jumlah pengangguran di USA, yang semula pada kisaran angka 9,4% menjadi 8,8%.
Indonesia menikmati keuntungan dengan adanya fenomena tersebut dengan ditandai oleh penguatan nilai tukar rupiah. Sehingga harga barang import menjadi lebih murah. Inilah alasan mengapa negara ini pada awal tahun 2011 sampai sekarang kedapatan surplus barang import dipasaran, mulai dari produkCina sampai produk USA. Tentu banjirnya barang import murah, mengakibatkan masyarakat dapat dengan mudah terpenuhi kebutuhannya sehingga tingkat inflasi dapat ditekan pada level moderat antara 5-6 persen. Sekilas memang hal tersebut memberikan keuntungan bagi Indonesia. Namun kembali pada hipotesis awal, investasi pada sektor rill-lah yang mampu membuat Indonesia menjadi mandiri secara ekonomi. Sebuah sistem ekonomi yang kuat akan terjadi jika sektor rill menjadi leader yang kemudian didukung dengan sektor keungan. Kenyataan yang terjadi di Indonesia ternyata sebaliknya, sektor keuangan menjadi leader dalam sistem ekonomi kita. Banyak orang lebih senang menaruh uangnya untuk bermain di pasar saham dan portofolio.
Perekonomian Indonesia sebenarnya mempunyai titik keunggulan yang belum dimanfaatkan secara sungguh-sungguh. Titik keunggulan tersebut adalah Indonesia mempunyai pasar yang sangat besar didukung dengan pertumbuhan kelas menegah yang juga besar. Sehingga prospek membuka usaha apapun akan selalu mudah menemukan segmentasi pasarnya. Keunggulan lainnya, Indonesia dikarunia kekuatan alam yang begitu subur, sehingga dapat menghasilkan produk pertanian dan kelautan yang bisa bersaing di pasaran dunia. Karena tekanan modal asing-lah Indonesia tidak pernah bisa mengembangkan keunggulan-keunggulan tersebut. Indikator saham yang membaik dan meningkat tidak mencerminkan sebuah perbaikan kondisi di sektor rill. Karena itu, akan sedikit naïf jika ada anggapan semakin meningkatnya jumlah transaksi pada produk-produk finansial akan mengalirkan dananya pada sektor rill dengan berdirinya pabrik pengolahan ikan atau padi yang kemudian pengangguran akan berkurang.
Banyak penelitian yang menyatakan bahwa sektor financial seperti mempunyai sekat yang cukup lebar dengan sektor rill. Artinya, sektor financial hanya memberikan sedikit nilai tambah pada sektor rill. Entah saya harus merasa bangga atau kuatir dengan adanya penguatan nilai tukar rupiah dan meningkatnya indeks harga saham gabungan. Namun yang jelas, saya berharap gelembung keuangan pada pasar keuangan Indonesia tidak sampai pecah. Jika gelembung itu pecah, maka semakin lengkaplah penderitaan di Negeri ini.

01/07/11

MAU KEMANA ARAH GERAKAN BELI PRODUK INDONESIA

Gerakan beli produk (GBI) RI yang dideklarasikan pada hari minggu kemarin di kota Solo (kompas 27/06/2011) mencerminkan sebuah kekuatiran dan rasa prihatan pengusaha nasional akan preferensi konsumen terhadap produk buatan dalam negeri. Isi dari GBI adalah, menyadarkan kembali bahwa Indonesia mempunyai kekuatan civil society dalam menggerakkan perekonomian lokal dengan jalan membeli produk yang dihasilkan perusahan lokal. Isu besar yang diusung untuk menggerakkan civil society adalah rasa persaudaraan dan nasionalisme karena tanpa hal tersebut maka mustahil civil society akan bergerak. Nah pertanyaannya, sanggupkan GBI ini menggerakkan isu besar tersebut tanpa harus tergantung pada isu tersebut? Dalam kalimat lebih pendek, kualitas barang dan jasa pengusaha lokal juga layak untuk dibeli serta dihargai.
Jantung Perkera
Mengapa sih kita tidak atau kurang suka memakai produk dari Indonesia? Sampai-sampai 412 pengusaha dari 17 kota harus berkumpul sampai harus membuat gerakan GBI. Tentu jawabannya akan beraneka ragam. Mulai dari kualitas, harga, pelayanan sampai pada gaya hidup. Belum lagi ketakutan akan persaingan dari luar, Cina misalnya. Dalam banyak hal bisa dikatakan bahwa, kita sebenarnya berulang kali mengulang sejarah meskipun dalan kasus yang berbeda secara permukaan namun sama dalam hal substansi. Contoh, jaman Majapahit dengan kekuasaan yang begitu besar, ternyata sistem nilai tukarnya banyak dipengaruhi oleh sistem nilai tukar Cina. Ini mengartikan bahwa masyarakat lebih tertarik mengkonsumsi barang Cina dari pada barang hasil produk sendiri. Ini artinya sikap kita lebih cinta asing dari pada negara sendiri memang sudah membudaya. Contoh lainnya, kita dari dulu tahu bahwaperlakuan yang diterima beberapa TKI pembantu rumah tangga mendapatkan perlakuan yang buruk dari majikan, seperti diperkosa, dipukuli, tidak dibayar sampai dikenakan hukuman mati dan pemerintah selalu telat merespon hal tersebut. Bahkan sampai detik ini pemerintah selalu mengulang kesalahan yang sama. Kitapun juga sudah tahu dari awal bahwa produk lokal kurang mampu bersaing pada pasaran internasional. Seperti industri tekstil, industri sepatu bahkan sampai industri migas kita. Namun kesalahan yang dibuat hanya berputar-putar disekitar situ. Memang mekanisme perekonomian kita dari dulu lebih dirancang untuk berkecendurungan menyingkirkan perkembangan bisnis lokal.
Apakah masalahnya sesederhana itu? Jawabannya tidak, tetapi dari kacamata kita sebagai orang awam, pasti akan bersikap sederhana terhadap permasalahan tersebut. Visi Indonesia pada tahun 2025 kedepan adalah meningkatkan porsi sektor sekunder dan tersier. Dengan fokus mengundang FDI dalam skala besar. Jika benar begitu, maka pemerintah lebih memporsikan dirinya lebih besar untuk menarik FDI dari pada mengembangkan daya saing pengusaha lokal. Kecenderungan mekanisme perekonomian Indonesia sejak orde baru lebih diorientasikan pada mekanisme pasar.. Padahal USA sendiri pada tahun 1820-1950 memberikan proteksi hambatan non tarif sebesar 40% dan sampai saat ini USA masih menerapkan hal tersebut dengan bentuk yang berbeda, seperti perang mata uang maupun pelarangan suatu produk dengan alasan tidak memenuhi standard. Apakah mekanisme pasar jelek? Tidak mekanisme pasar tidak jelek, namun fluktuasi dari mekanisme pasar itulah yang harus dikontrol. Kalau dianalogikan, fluktuasi pasar seperti kuda liar tanpa pawang. Dan selama ini, kebijakan yang dibuat kurang bisa mmenjadi pawang yang baik bagi kuda liar tersebut.
Prinsip mekanisme pasar adalah: bagaimana menciptakan sebuah kondisi mendekati persaingan sempurna. Artinya free exit dan free enter semakin tinggi. Dimana perusahaan yang sanggup bertahan harus memiliki superior teknologi dan manajemen. Sehingga mampu menghasilkan produk berbiaya rendah, kualitas bagus maupun mampu menggugah hasrat berbelanja lewat iklan. Inilah jantung masalah daya saing kita. Bagaimana cara melawan? Pepatah mengatakan jika hanya sebatang lidi maka mudah dipatahkan, namun beda cerita jika sebatang lidi itu terikat jadi satu akan sulit untuk dipatahkan.
Senjata Penyangga
Kondisi saat ini memang tidak memungkinkan untuk kita memberikan proteksi pada produk dalam negeri dalam bentuk hambatan tarif. Namun rasa nasionalisme itulah yang masih bisa kita harapkan memberikan solusi. The Root of Economics is Nasionalism itulah kesimpulan dari Prof Joan Robinson guru besar ekonomi Cambridge. Gerakan GBI ini merupakan tanda bagus untuk menuju gerakan civil society guna mempengaruhi preferensi konsumen. Namun yang patut digarisbawahi adalah janganlah kita terlupa pada pengembangan perusahaan. Karena bagaimanapun kualitas dalam diri itu merupakan modal paling utama bagi kita. Lebih baik lagi jika GBI memberikan wadah kelembagaan dalam bentuk koperasi. Sehingga ada sebuah perubahan dari ekonomi kompetisi zero sum game menjadi ekonomi kekeluargaan. Karena akan menjadi percuma gerakan beli produk RI jika tidak dilembagakan.
Penyakit utama kita adalah mudah lupa atau amnesia terhadap sejarah. Koperasi adalah soko guru nasional, kita sering lupa terhadap hal tersebut. Koperasi adalah kumpulan orang yang menjadi pelanggan dan pemilik sekaligus. Dari sinilah semangat menolong diri sendiri secara bersama-sama memperoleh wujud awal. Dari sinilah wujud nasionalisme bisa dikembangkan kembali. Banyak alasan mengapa GBI harus dilembagakan dalam bentuk koperasi. Namun cukuplah satu alasan yang mewakili semua: Karena koperasi merupakan senjata penyangga bagi keberlanjutan gerakan beli produk RI (GBI) .
Gigih Pringgondani Mahasiswa FEB Unair

28/06/11

EXIT STRATEGY

Adanya wacana untuk menghentikan sementara penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri terutama pekerja rumah tangga (Kompas 22/06/2011) agaknya perlu dikaji lebih dalam. Hal ini dikarenakan masih tingginya permintaan dan penawaran akan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Terlebih lagi tren demografi menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami “bonus demografi”. Apa artinya? Indonesia harus mempersiapkan lapangan kerja yang cukup untuk memenuhi kebutuhan akan bonus demografi tersebut. Jika tidak, maka akan terjadi peningkatan pengangguran dan beban ketergantungan yang semakin meningkat. Data international labour organization (ILO) menunjukkan bahwa rasio ketergantungan Indonesia tertinggi pada tahun 1970-an dimana rasio ketergantunggannya mencapai 87, yang artinya setiap 100 orang usia produktif harus menanggung 87 orang tidak produktif. Rasio tersebut telah menurun menjadi sekitar 46, yang berarti juga dapat diartikan perekonomian Indonesia lebih baik dari pada tahun 1970-an. Perhitungan proyeksi dari ILO juga menunjukkan bahwa angkatan kerja Indonesia pada tahun 2015 akan meningkat menjadi 124,4 juta. Jika proyeksi ILO mendekati kenyataan, maka dapat diharapkan akan ada penurunan tingkat pengangguran dikarenakan iklim dunia usaha yang cukup baik.
Artinya bahwa akan ada peningkatan permintaan akan tenaga kerja di pasar tenaga kerja, baik domestik maupun internasional. Lalu apakah kita akan mengabaikan potensi tersebut, dengan menerapkan kebijakan sementara menyetop pengiriman TKI ke luar negeri? jawaban pribadi saya, itu bukan solusi terbaik. Jika kebijakan tersebut benar diterapkan, maka Indonesia akan menambah satu persoalan baru, yaitu menghambat kesempatan kerja. Pendapat saya tersebut, bukan berarti saya setuju atau mendukung adanya kejadian ulangan penyiksaan para TKI kita. Penyiksaan terhadap TKI kita di luar negeri, tetap harus dicegah dan diminimalkan hingga titik paling rendah, karena ini menyangkut harga diri bangsa dan orang per orang warga negara Indonesia. Karena tanpa ada harga diri, maka kita akan dianggap rendah apa implikasinya, TKI kita hanya akan dibayar rendah dengan beban kerja yang berat.
Melihat Masa Depan
Proyeksi pada tahun 2015 menunjukkan bahwa angka pengangguran akan berada pada kisaran 11,5 juta jiwa dengan pekerja sebesar 115,3 juta jiwa. Dengan sektor penyerapan tenaga kerja dunia yang mempunyai prospek paling tinggi adalah sektor jasa. Dikarenakan sektor ini menunjukkan tren meningkat dari mulai tahun 1999 mempunyai share sebesar 38% dan pada tahun 2009 share terhadap tenaga kerja mencapai 43%. Artinya tingkat permintaan pembantu rumah tangga juga akan naik. Sedangkan kondisi demografi di negara-negara Asia akan mengalami penuaan, sehingga ini akan memperkuat faktor penarik untuk “mengimport” tenaga kerja kita. Perbadaan gaji yang ditawarkan juga mendukung proses import tersebut. Apa lagi terbentuknya ACFTA membuat mobilitas tenaga kerja semakin tinggi.
Pada tahun 2015 jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMU diperkirakan akan meningkat dan tenaga kerja berpendidikan SD akan menurun. Hal tersebut akan meningkatkan resiko tingkat pengangguran berpendidikan di Indonesia menjadi lebih tinggi. Selain itu Indonesia juga mengalami kualitas pendidikan yang agak tertinggal dengan negara-negara di dunia. Hasil tes intelegensi yang dilakukan lembaga internasional menunjukkan kinerja yang sedikit lebih rendah dari siswa di negara Cina, Taiwan, Thailand, Brasil dan beberapa negara berkembang lainnya. Hasil dari Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan bahwa kinerja siswa Indonesia sebesar 65,7% di bidang matematika, 61,6% dibidang pengetahuan umum dan 58,3% dibidang membaca sedikit dibawah negara-negara diatas. Dengan kondisi tersebut, apakah lalu kita merasa takut, sehingga “mengharamkan” TKI kita bekerja di luar negeri untuk sementara waktu.
Exit Strategy
Anjuran dari ilmu psikologi manusia adalah dalam keadaan apapun kita harus berfikir positif, karena berfikir positif akan meerangsang sel-sel dan hormon dalam diri kita membuat kinerja lebih baik dari pada berfikir negatif. Penyiksaan terhadap TKI di beberapa negara mungkin sebagian besar adalah kesalahan pemerintah. Namun kita juga ikut andil dalam mendorong kejadian tersebut. Kenapa? Karena kita tidak pernah benar-benar tulus membantu meningkatkan taraf hidup saudara-saudara kita yang kurang beruntung dari kita. Indikatornya, kita lebih senang menyebut hak milik pribadi dari pada hak milik bersama. Seperti “hak kekayaan intelektual”, lebih heboh mengurus kasus Bank Century dari pada kasus penyiksaan TKI. Kasus-kasus tersebut hanya dibahas sambil lalu, tanpa ada kajian lebih dalam, di bangku perkuliaan misalnya.
Langkah pemerintah untuk mengformalkan kembali pendidikan pancasila mungkin sudah tepat. Hal tersebut bisa menjadi exit strategy jangka panjang guna keluar dari masalah tersebut. Karena pancasila mengajarkan semangat “kekeluargaan” dan persatuan. Dua hal inilah yang akan memperkuat bargaining position kita dimata dunia internasional. Jangka pendeknya, perbaiki pola komunikasi dan informasi antar TKI di luar negeri serta perlindungan sosial yang memadai. Dan jangan ditinggalkan aktivitas ekonomi dalam negeri juga harus diperbaiki. Jika perekonomian negara ini kuat, tentu TKI kita tidak akan mengalami nasib yang menyedihkan.
Gigih Prihantono
Mahasiswa Ilmu Ekonomi Unair

06/06/11

MENGEMBALIKAN PENDIDIKAN PANCASILA PADA DUNIA PENDIDIKAN (Hasil Reportase Konggres Pancasila III)

Ditengah galaunya sebagian masyarakat tentang semakin berkurangnya nilai-nilai pancasila di kehidupan sehari-hari. Maka sebagian kecil masyarakat yang masih peduli aterhadap pancasila mengadakan konggres pancasila ketiga sebagai salah satu aksi agar pancasila kembali diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Konggres yang bertempat di Universitas Airlangga Surabaya ini dalam pelaksanaanya memakan waktu dua hari yaitu pada tanggal 31 mei-1 juni 2011. Konggres ini menghasilkan 5 butir deklarasi Surabaya. Yang menarik adalah pada butir keempat deklarasi yang berbunyi “Negara harus jelas dan tegas dalam menjalankan Politik Pendidikan Nasional berdasar Pancasila, untuk itu mata pelajaran Pancasila secara mandiri harus dimasukkan dalam kurikulum di seluruh jenis, jenjang, dan jalur pendidikan. Pendidikan Pancasila juga wajib dikembangkan dalam program yang bersifat kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra kurikuler. Oleh karena itu, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Th 2003 perlu segera dilakukan judicial review (hak uji materi) karena tidak mencantumkan subtansi Pendidikan Pancasila secara mandiri”.
Namun ditengah keinginan pengembalian nilai pancasila ke dunia pendidikan, timbul sebuah keresahan bahwa hanya sedikit generasi mudah yang mengikuti konggres dan sebagian besar pesarta konggres sudah berusia 50 tahun keatas. Maraknya kasus korupsi, tren globalisasi dan adanya gerakan-gerakan fundalisme seakan membuat para pemuda tidak merasa perlu memiliki sikap hidup pancasila. Pancasila dianggap usang dan tidak mempunyai nilai jual. Inilah yang disampaikan Linggar Dian dan Budi Santosa sebagai salah satu pembicara dalam konggres.
Bagaimana tidak dikuasai asing? import beras Indonesia mencapai 3 juta ton, import kedalai mencapai 3 juta ton dan import kedelai mencapai 1,5 juta ton. Import tersebut belum termasuk jeruk dari Cina, pepaya dari Thailand dan masih ada beberapa komoditas pertanian lain, ujar Budi Santosa dalam memaparkan persentasinya. Inilah ketidakberdayaan bangsa Indonesia dalam menghadapi arus globalisasi. Karena ketidakberdayaan inilah, sebagian bangsa Indonesia mulai meninggalkan semangat nasionalisme, kembalihnya keterjajahan dalam bidang akademis, kehidupan sosial-budaya serta perekonomian kita, ujar Prof Purihito dalam persentasinya.
Setelah mengalami debat yang panjang dalam sesion plenary pemaparan call for paper dan sidang komisi serta sidang pleno akhirnya peserta menyepakati bahwa pancasila harus kembali pada dunia pendidikan. Karena pancasila masih merupakan konsep ideologis dan belum diturunkan menjadi konsep operasional yang dapat diaplikasikan sehari-hari. Untuk dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, diperlukan sebuah saluran dan itu dimulai dari dunia pendidikan. Karena pendidikan akan memiliki Snowbaal efect yang besar terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat Indonesia. Harapannya dunia pendidikan mampu mendidik generasi muda bangsa ini agar cinta pancasila sehingga mencintai negaranya. Karena generasi muda adalah “api” masa depan Indonesia.
Deklarasi Surabaya merupakan sebuah langkah maju dalam mengembalikan pancasila pada dunia pendidikan. Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai generasi muda guna mendukung deklarasi tersebut? Mungkin hanya sebuah jawaban sederhana yang bisa penulis sampaikan: pancasila merupak sebuah tekad yang diwariskan kepada kita, tekad itulah yang diwariskan kepada kita untuk memperjuangkannya karena para leluhur yakin kita mampu. Atau barangkali kita memilih untuk menjadi api yang hampir padam sehingga kita terlalu kecil dihadapan pancasila atau pancasila yang terlalu besar dihadapan kita
Gigih Prihantono
Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB Unair

REPOSITIONING PANCASILA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

Enam puluh enam tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 1 Juni 1945 pancasila telah dilahirkan kembali sebagai pijakan yang nyata bagi terbentuknya negara Indonesia. Kenapa saya memberi pernyataan lahir kembali? Karena pancasila memang sudah ada sejak dulu, kemudian dilupakan oleh masyarakat sebelum jaman bung Karno dan dimunculkan kembali oleh masyarakat pada jaman bung Karno. Setelah itu, berangsung-angsur pancasila kembali dilupakan oleh masyarakat Indonesia. Mungkinkah, timbul dan tenggelamnya pancasila merupakan sebuah siklus sejarah yang tidak dapat dipatahkan? Sama dengan Indonesia yang dibentuk secara sengaja, pancasila juga merupakan pem-formalan khasanah hidup bangsa Indonesia yang dengan sengaja dimunculkan sebagai value masyarakat Indonesia. Namun kini value tersebut perlahan tapi pasti mulai dilupakan oleh masyarakat. Masyarakat mulai bergerak dari kompetisi berdasarkan persaudaraan bergerak menuju kompetisi berdasarkan individualisme. Masyarakat lebih mengagungkan hak milik pribadi daripada kewajiban sosial.
Berdasarkan data dari bank Indonesia, triwulan II diperkirakan eksport akan tumbuh sebesar 8% yang sebagian besar adalah komoditas pertanian, perkebunan dan pertambangan. Seiring dengan meningkatnya eksport, import Indonesia juga diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 8,3% yang sebagian besar adalah bahan baku dan modal hasil olahan eksport kita dari luar negeri. Inilah bentuk bahwa hak milik pribadi lebih diutamakan dari kewajiban sosial. Pasar eksport jelas lebih menguntungkan dari pada pasar domsetik, sehingg orang lebih suka mengeksport dari pada memenuhi kebutuhan domestik. Akibatnya pasar domestik dipenuhi barang-barang sepele seperti sepatu olahraga, paku, baju batik, sandal jepit semuanya barang import. Belum lagi bahan makanan seperti beras kita import 3 juta ton, kedelai kita import 3 juta ton dan jagung kita import 1,5 juta ton.
Jauh-jauh hari sebelumnya Muhammad Hatta telah mengingatkan bahwa “jangan memutar ujung dengan pangkal”, jangan beorientasi eksport sebelum kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Negara-negara yang sekarang maju, dahulu menerapkan kebijakan penguatan dalam negeri, artinya memenuhi kebutuhan dalam negeri baru kemudian melakukan eksport. Sebagai contoh, USA pencetus perdagangan bebas, menerapkan tarif import sampai 50% pada tahun 1875. Pada saat itu USA baru seperti bayi yang berjalan merangkat sehingga pasar dalam negeri benar-benar dilindungi. Pada tahun 1947 GATT dibentuk sebagai cikal bakal pembangunan globalisasi yang terjadi saat ini. Pada tahun 1950 USA sebagai pemrakasa GATT masih menetapkan tarif import yang cukup tinggi sebesar 15%, bahkan Inggris sebagai pendukungnya malah menerapkan tarif yang lebih tinggi sebesar 24%. Hasilnya, perusahaan negara-negara maju memiliki kepercayaan diri tinggi bahwa mereka mampu bersaing dan merasa ber-terima kasih kepada negara yang telah mendidik sehingga menjadi seperti sekarang, kuat, tangguh dan kompetitif.
Memikirkan Repositioning Pancasila
Data sejarah secara empiris, tidak pernah menunjukkan bahwa Indonesia benar-benar menghadirkan pancasila secara utuh pada perekonomian Indonesia. Baik pada saat orde lama, orde baru terlebih lagi orde setelah reformasi. Saat orde lama perekonomian lebih mengarah pada sentralistik ekonomi semua kegiatan ekonomi diambil oleh negara. Pada orde baru, negara mulai melakukan liberalisasi pada dua sektor vital, yaitu keuangan dan energi. Saat ini negara melepaskan seluruh kegiatan ekonomi pada mekanisme pasar yang artinya siapa yang punya uang dia yang mampu memenuhi kebutuhannya.
Ekonomi pancasila menciptakan adanya pemanfaatan sumber daya yang terbatas guna memenuhi kesejahteraan sosial dan bukan kesejahteraan orang per-orang. Yang artinya, meminimalkan ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin dengan berjalannya mekanisme kewajiban sosial dan pemenuhan hak sosial bagi bangsa Indonesia. Untuk mencapai berjalannya mekanisme tersebut, perlu diperhatikan dua faktor konstan yang selalu muncul. Dua faktor tersebut adalah daya dorong (Push) dan daya taril (Pull).
Mempengaruhi kehendak dan kemauan (Push) dapat berupa pembaruhan secara teoritik maupun aplikatif. Pancasila sebagai ilmu mungkin saat ini tidak pernah dikeritik secara keilmuan karena sudah dianggap sebagai kitab suci bangsa Indonesia. Kalau kitab suci tidak pernah dikritik mungkin tidak menjadi persoalan karena pasti benar, tapi pancasila merupakan sebuah pemikiran yang mungkin ada satu atau dua pemikiran yang sudah tidak pas sehingga bertentangan dengan kehendak dan kemauan masyarakat Indonesia serta kondisi perekonomian global. Faktor penarik (Pull) yang mungkin dapat dijadikan kekuatan untuk “me-repositioning” pancasila kembali adalah ancaman “penjajahan” produk asing terhadap pasar domestik. Sehingga bangsa Indonesia akan sadar perlunya penegakan ekonomi pancasila.
Daya pendorong dan penarik dalam merumuskan repositioning pancasila yang tetap itu adalah intensionalitas dan kesengajaan dalam mempengaruhi perekonomian. Liberalisme berkembang secara pesat dikarenakan adanya kesengajaan dan intensionalitas dari pemerintah, ilmuwan barat dan civil society-nya. Mereka mengadakan kajian secara teoritik, aplikatif, didukung pembuatan buku, aplikasi dilapangan, membuat organisasi-organisasi internasioanal yang mengarah pada pemikiran Adam Smith. Saat ini daya intensionalitas dan kesengajaan itu yang telah hilang entah kemana. Sehingga itulah yang menyebabkan hari ini positioning pancasila berada pada wilayah abu-abu alias tidak jelas. Dia dirindukan tetapi tidak pernah benar-benar diharapkan ada.

02/06/11

JALAN KETIGA KEMBALI KE EKONOMI PANCASILA

Kalau satu negara penuh dengan kekayaan alam, tetapi lemah semangat persatuan, lemah intelektual dan mempunyai mental babu, maka negara itulah yang akan jadi umpan atau makanan negara yang gagah perkasa (Tan Malaka,Madilog). Secara statistik dalam pandangan liberalisme, ekonomi Indonesia bergerak sesuai jalur yang benar. Hal ini bisa dilihat dari tahun 2001-2010 pertumbuhan ekonomi selalu mengalami peningkatan yang positif dan tingkat pengangguran pada tahun 2010 menurn dari 7,9% ke 7,14%. Namun yang disayangkan, pertumbuhan ekonomi yang positif membuat masyarakat Indonesia terkena gejala meningkatnya individualisme, semakin melemahnya rasa persatuan dan meningkatnya mental babu dikalangan intelektual Indonesia.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BKPM pada tahun 2010, investasi langsung asing di Indonesia mencapai Rp. 147 Trilliun. Dengan penempatan tertinggi masing-masing adalah Singapura, Inggris, USA, Jepang dan Belanda. Lima sektor yang menjadi prioritas asing secara berturut-turut adalah: 1. sektor pertambangan, 2. sektor listrik air dan gas, 3. sektor Transportasi dan telekomunikasi, 4. Tanaman pangan dan perkebuman serta 5. Industri makanan. Pada triwulan pertama tahun 2011 PMA merealisasikan investasinya sebesar Rp. 39,5 T dengan sumbangan realisasi nasional sebesar 73,8% sedangkan PMDN hanya sebesar 14,1 T atau sebesar 26,2%. Sebenarnya investasi asing di Indonesia tidak menjadi masalah, namun yang menjadi masalah besar adalah bagaimana investasi asing sampai menguasai 73,8% dari keseluruhan investasi yang menguasai hajat hidup rakyat Indonesia.
Meskipun ada statement dari pemerintah bahwa perusahaan asing hanya menyumbang 2,82% dari total PDB (kompas, 27 Mei 2011). Namun data BKPM menunjukkan bahwa investasi asing lebih besar dari investasi dalam negeri, apakah mungkin share investasi sebesar 73,8% menyumbangkan hasil yang hanya sebesar 2,82%? Banyak ahli ekonomi percaya bahwa memperbesar investasi akan memperlancar sistem mekanisme pasar. Jika mekanisme pasar berjalan sempurna, maka kebutuhan individu dari semua pelaku akan dapat terpenuhi sehingga terjadilah kesejahteraan sosial. Dengan kata lain pemenuhan kebutuhan pribadi sama dengan pemenuhan kebutuhan publik. Pertanyaanya apakah sistem yang terdiri atas beberapa pelaku yang bertindak secara pribadi maupun kolektif serta mengejar kepentingan pribadi, akan mampu menciptakan sebuah tatanan sosial yang adil?
Secara sederhana mekanisme pasar tidak akan pernah bisa mengatur yang namanya kesejahteraan sosial. Contoh mudahnya adalah, antara tahun 1975-1999 dunia memproduksi 1393 jenis obat. Namun hanya 16 jenis obat yang benar-benar diperuntukkan untuk masyarakat tidak mampu dalam ukuran ekonomi. Dunia pendidikan juga mengalami gejala yang hampir sama. Selain biaya yang ditanggung mahal, peserta didik dari SD sampai Perguruan tinggi diajarkan dan ditekankan pentingnya sebuah kompetisi individual dan tidak pernah diajarkan mengenai kerjasama berdasarkan kekeluargaan.
Jalan Ketiga Ekonomi Pancasila
Ekonomi pancasila sebagai jalan ketiga, tidak berada pada sisi liberal maupun Marxist, namun menekankan pentingnya rasa nasionalis untuk membangun perekonomian Indonesia. Ekonom Joan Robinson (1962) mengatakan bahwa ilmu ekonomi sebenarnya berakar pada nasionalisme. Sejalan dengan pemikiran Tan Malaka, ilmu ekonomi seharusnya menciptakan pemanfaatan sumber daya yang terbatas guna memenuhi kesejahteraan sosial dan bukan kesejahteraan orang per-orang. Pancasila mengajarkan akan sebuah nilai nasionalisme bangsa Indonesia, yang diaplikasikan dalam bidang ekonomi dengan mendistribusikan secara merata dan adil sumber daya yang terbatas untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun hari ini, ideology itu sudah hampir tidak berlaku lagi, karena kepentingan pribadi telah melebihi kepentingan sosial.
Pengajaran di dunia pendidikan, lebih menekankan hak milik pribadi tanpa mengajarkan adanya kewajiban sosial yang harus kita kerjakan. Contoh: Universiatas majumundur mempunyai sebidang tanah kosong. Tanah tersebut dimanfaatkan anak-nak kampung sekitar untuk bermain bola. Suatu hari universitas akan membuat lapangan futsal yang diperuntukkan untuk mahasiswa, konsekuensinya anak-anak kampung sekitar terpaksa mencari lapangan yang baru. Universitas berhak mendirikan lapangan futsal dan anak-anak kampung sekitar harus menghormatinya karena itu hak pribadi universitas. Universitas tidak ikut bertanggung jawab dalam memberikan sedikit lahan mereka untuk digunakan anak-anak kampung bermain bola guna melepas lelah. Jika anak-anak kampung ingin ikut menikmati, maka diwajibkan membayar dengan tarif yang sudah disediakan. Sungguh ironis!!!
Itulah mengapa ekonomi pancasila yang tidak pro pasar mulai hilang dalam benak masyarakat Indonesia. Prinsip ekonomi pancasila tidak menolak adanya hak milik, tetapi lebih menganjurkan bahwa didalam hak milik itu ada kewajiban sosial yang harus dipenuhi. Dalam prinsip ekonomi pancasila, persaingan bukan untuk menentukan menang dan kalah, tetapi menekankan yang kuat harus menolong yang lemah. Ekonomi pancasila tidak anti bisnis dan investasi. Tetapi, lebih mereduksi kekuasaan modal dengan memikirkan kewajiban sosial. Selama ini kewajiban sosial hanya dipahami pada pemberian dana CSR atau PKBL. Padahal dalam kenyataannya masih ada faktor A,B, C dan D yang masuk dalam tanggung jawab sosial. Jika demikian adanya masa depan kapal Indonesia akan seperti dikemudikan oleh orang buta dengan penumpang yang buta juga.

11/05/11

QUO VADIS KEBIJAKAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

Upaya pemerintah pusat untuk melimpahkan penarikan pajak bumi dan bangunan kepada Pemerintah daerah tingkat II patut diacungi jempol. Tetapi dalam pelaksanaan ternyata mulai timbul keresahan. Sekarang ini para wajib pajak yang patuh, sudah merasa terbebani dengan pekerjaan baru, dikarenakan harus mengurus pembayaran PBB ke kekelurahan atau dilempar ke dinas kalau ternyata diduga ada kekurangan bayar pajak PBB pada tahun-tahun sebelumnya. Karena sebagian besar wajib pajak kurang cermat dalam menyimpan arsip pembayaran pajak, sehingga tidak bisa menunjukkan bukti bayar dan pasti dibikin pusing oleh masalah hambatan birokrasi ini.
Seharusnya setiap data yang ada didalam komputer petugas pajak, tercantum data wajib pajak yang sudah membayar maupun kurang bayar. Namun yang meresahkan adalah terjadinya missmatch antara data yang dipegang oleh pemkot dengan data yang dibawah oleh wajib pajak, mengapa hal ini bisa terjadi? Pada hal tahun-tahun sebelumnya, wajib pajak cukup memanfaatkan jasa bank yang ditunjuk untuk membayar serta melunasi pajak tahun berjalan. Jika permasalahan ini tidak segera diperbaiki atau ditindaklanjuti dikuatirkan jumlah wajib pajak yang patuh akan menurun. Dampaknya negatifnya adalah mereka akan berpendapat bayar pajak dipersulit. Sehingga ketaatan wajib pajak bisa berkurang.
Penulis membaca di media Jawa pos , bahwa mulai tanggal 1 Januari 2011 kota Surabaya dipilih sebagai pilot project pelimpahan pajak bumi dan bangun dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tingkat II. Bahkan persiapan kota Surabaya untuk menerima tugas tersebut sudah dilakukan sejak dua tahun yang lalu. Mulai dari peraturan daerah, personil pengolahan sampai persiapan sarana dan prasarana, semua sudah direncanakan sejak dua tahun yang lalu. Namun saat ini rencana yang disiapkan dua tahun yang lalu sepertinya mengalami beberapa permasalahan. Banyak wajib pajak yang merasa kesulitan untuk membayar atau balik nama. Bahkan DPPK belum dapat mengoptimalkan kerjasama dengan pihak bank, dikarenakan belum tersedianya informasi yang lengkap mengenai wajib pajak. Seharusnya kejadian tidak perlu terjadi, jika memang sudah direncanakan sejak dua tahun yang lalu.
Sementara itu, di lima kecamatan kotamadya Surabaya didapat data Rp 500 Milyar. Dengan adanya kasus ini, insyaAllah akan mempengaruhi peningkatan tunggakan pembayaran PBB. Alasannya adalah wajib pajak yang patuh dibuat tidak nyaman, apalagi wajib pajak yang tidak patuh.
Management Pelayanan Publik
Keunggulan sebuah negara atau kota ditentukan oleh bagaimana pemeritahan sebuah negara atau pemerintahan daerah bisa mengembangkan kebijakan publik yang unggul. Kebijakan publik yang unggul tidak dapat dilepaskan dari adminstrasi dan management yang unggul. Pengendalian kebijakan publik agar dapat terlaksana dengan baik dibutuhkan tiga hal yaitu, monitoring, evaluating dan rewarding. Jangan sampai kebijakan publik yang tujuan awalnya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat malah dapat merusak kehidupan masyarakat.
Management menurut Peter Drucker (1999) bukan hanya mencakup tujuan yang bersifat ekonomi. Tetapi juga mencakup tujuan yang bersifat sosial. Dalam prespektif penerapan kebijakan publik melalui pelimpahan PBB dari pusat ke daerah, seharusnya ditanamkan tujuan penerapan management untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Pelayanan publik merupakan salah satu senjata utama untuk dapat menghasilkan kebijakan publik yang unggul. Pelayanan tidak hanya mencakup senyuman yang ramah saja, tetapi lebih dari itu yaitu memahami dan memberikan jaminan kepada publik tentang kemudahan dalam melayani masyarakat. Suatu implementasi kebijakan yang dibuat seharusnya mengetahui karekteristik masyarakat yang akan dikenai kebijakan tersebut. Untuk mengetahui karekteristik dan perkembangan masyarakat perlu dilakukan aspek monitoring dan evaluating. Lebih jauh Parasurahman, dkk (1985) menyatakan bahwa pemberian suatu layanan harus mencakup ke lima aspek yaitu: Realiabilitas, daya tanggap, jaminan, empati dan bukti fisik.
Penutup
Fenomena komplain masyarakat terhadap penerapan kebijakan publik beserta pelayanannya seharusnya menjadikan sebuah pelajaran betapa pentingnya aspek monitoring, evaluating dan rewarding dalam penerapan kebijakan dan pelayan publik. Pemerintah daerah tingkat II juga harus dihadapkan pada persoalanan opini ”untuk apa masyarakat mebayar pajak bumi dan bangunan”. Karena selama ini opini yang berkembang dimasyarakat bahwa membayar pajak adalah beban dan bukan sebuah kewajiban sebagai warga negara untuk memperlancar pembangunan guna kesejahteraan bersama. Kurang adanya unsur keadilan membuat masyarakat kurang termotivasi untuk berpartisipasi dalam meningkatkan pembangunan dengan salah satu cara membayar pajak bumi dan bangunan. Selain masalah kurangnya manfaat yang diperoleh, adanya sebagian masyarakat menengah keatas yang cenderung kurang berkesadaran untuk membayar PBB. Karena diakui atau tidak, selama ini kebijakan publik yang telah dibuat tidak pernah menyentuh unsure keadilan dan kesejahteraan sosial (social walfare). Dan hanya merupakan sebuah kepentingan pribadi (self interest) bagi masyarakat yang mempunyai kekuasaan.

Penulis adalah Mahasiswa FEb Unair dan Kader Komisariat FEB Unair

07/03/11

MASIHKAH KITA BERBICARA NASIONALISME?

Bung Hatta pernah berpendapat dalam harian Daulat Ra`jat (1931) bahwa: Cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian negeri, semuanya harus diputuskan oleh rakyat, bukan hanya dibidang politik, namun juga dibidang ekonomi dan sosial. Pendapat tersebut dikemukakan beliau 14 tahun sebelum Indonesia merdeka. Diputuskan oleh rakyat berarti menganggap bahwa satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air adalah saudara. Saudara yang harus diangkat bersama-sama, saudara yang harus digandeng dan dirangkul untuk kemajuan bangsa. Bukan malah diinjak dan dijadikan korban untuk kepentingan dirinya sendiri.
Namun kini ditengah arus perdagangan bebas dimana kegiatan bisnis menjadi TUHAN dalam menjalin sebuah hubungan. Dato’ Anthony Francis Hernandes, pendiri dan chief officer AirAsia tidak perlu pusing-pusing memikirkan nasionalisme, yang terpenting adalah bagaimana kita sukses berbisnis dengan meraup keuntungan yang besar. Bahkan seorang teman penulis pernah berkata, “ Bagi kita orang ekonomi, nasionalisme adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan bisnis kita”. Jaman perdagangan bebas yang membuat semakin mengecilnya batas antar Negara (borderless), membuat hubungan antar manusia sedikit demi sedikit didasarkan atas perhitungan keuntungan dan manfaat. Inilah sebuah kenyataan tentang perekonomian di era perdagangan bebas. Dan persaingan adalah kata kunci untuk masuk dalam dunia itu. Seperti pasar persaingan sempurna dimana barier to entry dan Barier to out sangat kecil. Sehingga, jika ada individu atau pelaku ekonomi yang tidak mampu bertahan maka pintu keluar sudah menunggu untuk dilangkahi.
Realitas dan Idealis
Tarikan kekuatan ekonomi dan politik dunia membuat konsep idealisasi Bung Hatta terlihat semakin melemah. Jika Bung Hatta mencita-citakan ekonomi koperasi yang berazaskan kekeluargan sebagai pijakan dasar untuk membangun perekonomian Indonesia. Maka hari ini ekonomi yang bersifat individualistik yang menjadi panglima pemikiran kebanyakan masyrakat Indonesia. Hal ini wajar dikarenakan sifat dasar individu adalah selalu berusaha menggunakan kekuatan yang mereka miliki untuk dapat mencapai tujuannya. Meskipun dalam proses pencapaian tujuannya harus mengorbankan saudara, teman seperjuangan maupun bangsanya ia tidak peduli.
Proses perdagangan bebas menyebabkan berkurangnya biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan bisnis. Pemikiran teman penulis dan Dato’ Anthony Francis Hernandes mengindikasikan bahwa nasionalisme itu hanyalah sebuah alat dan bukan-lah sebuah tujuan. Celakanya hal ini didukung oleh sistem kelembagaan yang lebih berfungsi sebagai organisasi bisnis dari pada organisasi yang mengurusi berjalannya suatu Negara. Kebijakan ekonomi yang dibangun oleh diseain kelembagaan lebih menguntungkan pemodal besar dan pasar financial dari pada pemodal menengah-bahwa dan sector rill. Inilah yang disebut dengan paradox ekonomi.
Nasionalisme Kemana Engkau Melangkah?
Sejak jatuhnya presiden Soeharto maka dimulalilah perubahan sistem ekonomi di Indonesia. Namun sayang, landasan yang digunakan untuk membagun bukan-lah keterikatan ideology, tetapi keterikatan pragmatisme. Salah satu contoh adalah, bagaimana pemilihan pilpres mulai 1999 sampai 2009 kemarin yang lebih menonjolkan sisi figure dan bukan ideology. Maka tidak mengherankan apa bila partai dibentuk berdasark format demokrasi tetapi sistem yang dipakai masih feodalis.
Hal inilah yang membuat kebijakan sebuah keputusan politik lebih bersifat market-centered approach dari pada keputusan citizenry-centered approach. Perbedaannya adalah: jika keputusan politik bersifat market-centered approach maka semua orientasi kebijakannya bersifat bagaimana meningkatkan kesejahteraan satu gerbong maupun satu kelompok secara kolektif. Jika keputusannya bersifat citizenry-centered approach maka segalah keputusan politik yang dibuat berpijak pada kepentingan bangsa dan Negara. Entah itu akan merugikan kelompoknya atau menguntungkan, pemegang kekuasaan tidak peduli, asalkan bangsa dan Negara mengalami progress yang cukup menggembirakan.
Penutup
Indonesia dibentuk dari beragam partikel keanekaragaman yang berasal dari satu sumber. Untuk itu era perdagangan bebas seharusnya secara ideal tidak digunakan untuk saling memakan bangsanya sendiri. Tapi, bagaimana kita sebangsa dan setanah air bekerjasama untuk membangun perekonomian Indonesia satu. Hubungan yang didasari oleh kepentingan bisnis tidak akan pernah bertahan lama. Baik itu dibidang ekonomi, politik maupun sosial. Tidakkan kita generasi penerus bangsa ini pernah memikirkan sejarah bangsa ini? Tidakkan pernah memikirkan orang lain dan alam sekitar di alam pikiranmu? Indonesia dan nasionalisme tidak akan pernah dapat dipisahkan. Disadari atau tidak dan diakui atau tidak. Nasionalisme masih tetap relavan dalam konteks membangun ke-Indonesian.

05/02/11

HMI TIDAK PENSIUN (Kado Kecil Untuk HMI)

Peristiwa globalisasi yang terjadi saat ini tidak hanya mempengaruhi sisi ekonomi dari negara Indonesia. Namun lebih dari itu, peristiwa tersebut mempengaruhi sikap, nilai dan kepercayaan yang kadang-kadang secara kolektif disebut sebagai “budaya”. Berawal dari budaya inilah, sebuah peradaban baru muncul dan memainkan peranannya.
Perubahan budaya merupakan senjata paling ampuh untuk menentuhkan apakah Indonesia bisa naik ke tingkat lebih tinggi atau turun dan menghilang. Hal tersebut juga berlaku pada organisasi kader HMI. Sejak dicetuskan oleh kanda Lafran Pane pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, HMI telah melewati medan perjuangan yang tidak bisa dikatakan pendek. Mulai dari dinamika poleksosbud perjuangan mengusir penjajah hingga poleksosbud era Globalisasi. HMI masih tetap berdiri.
Ilmu Perubahan
Sejarah panjang memang memberikan rasa kebanggaan di dada. Namun sejarah panjang pulah-lah yang membuat kader HMI terjebak “ romantisme masa lalu”. Sebagai organisasi kader yang tujuan akhirnya adalah “ Terbinanya insan Akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan Bertanggung jawab atas terwujudnya Masyarakat Adil dan Makmur yang Diridhoi Allah SWT” belum mampu dijawab oleh kader-kader HMI masa kini. Kader-kader HMI saat ini hanya terjebak romantime masa lalu dan berjalan dengan kereta yang sudah ketinggalan jaman. Untuk itu perlu ada pembaruan dalam cara pandang, berpikir dan bersikap di tubuh kader-kader HMI.
Bangga dengan kejayaan masa lalu itu boleh, bahkan dianjurkan sebagai bahan pembelajar. Namun jika hanya bangga tanpa ada pemikiran kritis sama juga melupakan tujuan HMI itu sendiri. Berpikir kritis dan berpikir “Ngeyel” itu mempunyai perbedaan yang amat tipis. Jika berpikir kritis melewati tahapan pencarian informasi, dipadu dengan ilmu, budaya dan teknologi internal serta kehendak Allah baru mengeluarkan output yang disebut “Pemikiran”. Sedangkan berpikir Ngeyel adalah mencari informasi, dipadu dengan pengetahuan, rasa benar sendiri dan kepentingan pribadi sehingga output yang keluar hanyalah “ Tong Kosong”.
Ini bukan pembicaraan ber’wajah-doktrin’ yang membedahkan antara benar dan salah. Tetapi sekedar suatu ‘dzikir’ kecil bahwa pentingnya sebuah keyakinan nilai dalam merajut mata rantai proses sejarah HMI dan Indonesia. Ilmu perubahan mengajarkan kepada kita kemungkinan apa yang harus kita rubah di dalam diri kita sendiri sebagai kader HMI lebih besar dibanding diri kita sendiri, HMI dan Indonesia.
Tidak HMI Tidak Pensiun
Membangun peradapan tidak dalam waktu satu minggu, satu bulan bahkan sepuluh tahun atau mungkin sepanjang usia HMI dan Indonesia. Peradapan baru adalah terbentuknya cara pandang baru bisa berubah-ubah setiap saat. Kewajiban kader HMI hanyalah memikirkan keharusan-keharusan dan potensi perbahan dalam skala yang kita mampui. Dan hal tersebut cukup berat untu dilaksanankan.
Kemandekan intelektual HMI dan pemikiran apatis generasi sekarang tentang nilai dari perubahan itu sendiri bukan lantas membuat kader HMI patah semangat. HMI adalah sebuah nilai yang terus memancar hingga akhir jaman. Nilai tersebut terus-menerus berseliweran ditunggu untuk ditangkap oleh kader-kader HMI yang memiliki instuisi dan kepekaan.
Namun barang kali kita adalah kader-kader tolol sehingga memandang HMI adalah sebuah kendaraan, sebuah bangunan untuk melampiaskan hasrat dan nafsu kita. Untuk melampiaskan pemikiran-pemikiran “Ngeyel” kita. Padahal tidak, HMI tidak pensiun. Nilai HMI ada didekat-mu, selalu menjaga setiap langkah kadernya. Entah engkau merasa atau tidak.

Gigih Pringgondani, komisariat ekonomi Airlangga