05/02/11

HMI TIDAK PENSIUN (Kado Kecil Untuk HMI)

Peristiwa globalisasi yang terjadi saat ini tidak hanya mempengaruhi sisi ekonomi dari negara Indonesia. Namun lebih dari itu, peristiwa tersebut mempengaruhi sikap, nilai dan kepercayaan yang kadang-kadang secara kolektif disebut sebagai “budaya”. Berawal dari budaya inilah, sebuah peradaban baru muncul dan memainkan peranannya.
Perubahan budaya merupakan senjata paling ampuh untuk menentuhkan apakah Indonesia bisa naik ke tingkat lebih tinggi atau turun dan menghilang. Hal tersebut juga berlaku pada organisasi kader HMI. Sejak dicetuskan oleh kanda Lafran Pane pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, HMI telah melewati medan perjuangan yang tidak bisa dikatakan pendek. Mulai dari dinamika poleksosbud perjuangan mengusir penjajah hingga poleksosbud era Globalisasi. HMI masih tetap berdiri.
Ilmu Perubahan
Sejarah panjang memang memberikan rasa kebanggaan di dada. Namun sejarah panjang pulah-lah yang membuat kader HMI terjebak “ romantisme masa lalu”. Sebagai organisasi kader yang tujuan akhirnya adalah “ Terbinanya insan Akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan Bertanggung jawab atas terwujudnya Masyarakat Adil dan Makmur yang Diridhoi Allah SWT” belum mampu dijawab oleh kader-kader HMI masa kini. Kader-kader HMI saat ini hanya terjebak romantime masa lalu dan berjalan dengan kereta yang sudah ketinggalan jaman. Untuk itu perlu ada pembaruan dalam cara pandang, berpikir dan bersikap di tubuh kader-kader HMI.
Bangga dengan kejayaan masa lalu itu boleh, bahkan dianjurkan sebagai bahan pembelajar. Namun jika hanya bangga tanpa ada pemikiran kritis sama juga melupakan tujuan HMI itu sendiri. Berpikir kritis dan berpikir “Ngeyel” itu mempunyai perbedaan yang amat tipis. Jika berpikir kritis melewati tahapan pencarian informasi, dipadu dengan ilmu, budaya dan teknologi internal serta kehendak Allah baru mengeluarkan output yang disebut “Pemikiran”. Sedangkan berpikir Ngeyel adalah mencari informasi, dipadu dengan pengetahuan, rasa benar sendiri dan kepentingan pribadi sehingga output yang keluar hanyalah “ Tong Kosong”.
Ini bukan pembicaraan ber’wajah-doktrin’ yang membedahkan antara benar dan salah. Tetapi sekedar suatu ‘dzikir’ kecil bahwa pentingnya sebuah keyakinan nilai dalam merajut mata rantai proses sejarah HMI dan Indonesia. Ilmu perubahan mengajarkan kepada kita kemungkinan apa yang harus kita rubah di dalam diri kita sendiri sebagai kader HMI lebih besar dibanding diri kita sendiri, HMI dan Indonesia.
Tidak HMI Tidak Pensiun
Membangun peradapan tidak dalam waktu satu minggu, satu bulan bahkan sepuluh tahun atau mungkin sepanjang usia HMI dan Indonesia. Peradapan baru adalah terbentuknya cara pandang baru bisa berubah-ubah setiap saat. Kewajiban kader HMI hanyalah memikirkan keharusan-keharusan dan potensi perbahan dalam skala yang kita mampui. Dan hal tersebut cukup berat untu dilaksanankan.
Kemandekan intelektual HMI dan pemikiran apatis generasi sekarang tentang nilai dari perubahan itu sendiri bukan lantas membuat kader HMI patah semangat. HMI adalah sebuah nilai yang terus memancar hingga akhir jaman. Nilai tersebut terus-menerus berseliweran ditunggu untuk ditangkap oleh kader-kader HMI yang memiliki instuisi dan kepekaan.
Namun barang kali kita adalah kader-kader tolol sehingga memandang HMI adalah sebuah kendaraan, sebuah bangunan untuk melampiaskan hasrat dan nafsu kita. Untuk melampiaskan pemikiran-pemikiran “Ngeyel” kita. Padahal tidak, HMI tidak pensiun. Nilai HMI ada didekat-mu, selalu menjaga setiap langkah kadernya. Entah engkau merasa atau tidak.

Gigih Pringgondani, komisariat ekonomi Airlangga