07/03/11

MASIHKAH KITA BERBICARA NASIONALISME?

Bung Hatta pernah berpendapat dalam harian Daulat Ra`jat (1931) bahwa: Cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian negeri, semuanya harus diputuskan oleh rakyat, bukan hanya dibidang politik, namun juga dibidang ekonomi dan sosial. Pendapat tersebut dikemukakan beliau 14 tahun sebelum Indonesia merdeka. Diputuskan oleh rakyat berarti menganggap bahwa satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air adalah saudara. Saudara yang harus diangkat bersama-sama, saudara yang harus digandeng dan dirangkul untuk kemajuan bangsa. Bukan malah diinjak dan dijadikan korban untuk kepentingan dirinya sendiri.
Namun kini ditengah arus perdagangan bebas dimana kegiatan bisnis menjadi TUHAN dalam menjalin sebuah hubungan. Dato’ Anthony Francis Hernandes, pendiri dan chief officer AirAsia tidak perlu pusing-pusing memikirkan nasionalisme, yang terpenting adalah bagaimana kita sukses berbisnis dengan meraup keuntungan yang besar. Bahkan seorang teman penulis pernah berkata, “ Bagi kita orang ekonomi, nasionalisme adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan bisnis kita”. Jaman perdagangan bebas yang membuat semakin mengecilnya batas antar Negara (borderless), membuat hubungan antar manusia sedikit demi sedikit didasarkan atas perhitungan keuntungan dan manfaat. Inilah sebuah kenyataan tentang perekonomian di era perdagangan bebas. Dan persaingan adalah kata kunci untuk masuk dalam dunia itu. Seperti pasar persaingan sempurna dimana barier to entry dan Barier to out sangat kecil. Sehingga, jika ada individu atau pelaku ekonomi yang tidak mampu bertahan maka pintu keluar sudah menunggu untuk dilangkahi.
Realitas dan Idealis
Tarikan kekuatan ekonomi dan politik dunia membuat konsep idealisasi Bung Hatta terlihat semakin melemah. Jika Bung Hatta mencita-citakan ekonomi koperasi yang berazaskan kekeluargan sebagai pijakan dasar untuk membangun perekonomian Indonesia. Maka hari ini ekonomi yang bersifat individualistik yang menjadi panglima pemikiran kebanyakan masyrakat Indonesia. Hal ini wajar dikarenakan sifat dasar individu adalah selalu berusaha menggunakan kekuatan yang mereka miliki untuk dapat mencapai tujuannya. Meskipun dalam proses pencapaian tujuannya harus mengorbankan saudara, teman seperjuangan maupun bangsanya ia tidak peduli.
Proses perdagangan bebas menyebabkan berkurangnya biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan bisnis. Pemikiran teman penulis dan Dato’ Anthony Francis Hernandes mengindikasikan bahwa nasionalisme itu hanyalah sebuah alat dan bukan-lah sebuah tujuan. Celakanya hal ini didukung oleh sistem kelembagaan yang lebih berfungsi sebagai organisasi bisnis dari pada organisasi yang mengurusi berjalannya suatu Negara. Kebijakan ekonomi yang dibangun oleh diseain kelembagaan lebih menguntungkan pemodal besar dan pasar financial dari pada pemodal menengah-bahwa dan sector rill. Inilah yang disebut dengan paradox ekonomi.
Nasionalisme Kemana Engkau Melangkah?
Sejak jatuhnya presiden Soeharto maka dimulalilah perubahan sistem ekonomi di Indonesia. Namun sayang, landasan yang digunakan untuk membagun bukan-lah keterikatan ideology, tetapi keterikatan pragmatisme. Salah satu contoh adalah, bagaimana pemilihan pilpres mulai 1999 sampai 2009 kemarin yang lebih menonjolkan sisi figure dan bukan ideology. Maka tidak mengherankan apa bila partai dibentuk berdasark format demokrasi tetapi sistem yang dipakai masih feodalis.
Hal inilah yang membuat kebijakan sebuah keputusan politik lebih bersifat market-centered approach dari pada keputusan citizenry-centered approach. Perbedaannya adalah: jika keputusan politik bersifat market-centered approach maka semua orientasi kebijakannya bersifat bagaimana meningkatkan kesejahteraan satu gerbong maupun satu kelompok secara kolektif. Jika keputusannya bersifat citizenry-centered approach maka segalah keputusan politik yang dibuat berpijak pada kepentingan bangsa dan Negara. Entah itu akan merugikan kelompoknya atau menguntungkan, pemegang kekuasaan tidak peduli, asalkan bangsa dan Negara mengalami progress yang cukup menggembirakan.
Penutup
Indonesia dibentuk dari beragam partikel keanekaragaman yang berasal dari satu sumber. Untuk itu era perdagangan bebas seharusnya secara ideal tidak digunakan untuk saling memakan bangsanya sendiri. Tapi, bagaimana kita sebangsa dan setanah air bekerjasama untuk membangun perekonomian Indonesia satu. Hubungan yang didasari oleh kepentingan bisnis tidak akan pernah bertahan lama. Baik itu dibidang ekonomi, politik maupun sosial. Tidakkan kita generasi penerus bangsa ini pernah memikirkan sejarah bangsa ini? Tidakkan pernah memikirkan orang lain dan alam sekitar di alam pikiranmu? Indonesia dan nasionalisme tidak akan pernah dapat dipisahkan. Disadari atau tidak dan diakui atau tidak. Nasionalisme masih tetap relavan dalam konteks membangun ke-Indonesian.