11/05/11

QUO VADIS KEBIJAKAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

Upaya pemerintah pusat untuk melimpahkan penarikan pajak bumi dan bangunan kepada Pemerintah daerah tingkat II patut diacungi jempol. Tetapi dalam pelaksanaan ternyata mulai timbul keresahan. Sekarang ini para wajib pajak yang patuh, sudah merasa terbebani dengan pekerjaan baru, dikarenakan harus mengurus pembayaran PBB ke kekelurahan atau dilempar ke dinas kalau ternyata diduga ada kekurangan bayar pajak PBB pada tahun-tahun sebelumnya. Karena sebagian besar wajib pajak kurang cermat dalam menyimpan arsip pembayaran pajak, sehingga tidak bisa menunjukkan bukti bayar dan pasti dibikin pusing oleh masalah hambatan birokrasi ini.
Seharusnya setiap data yang ada didalam komputer petugas pajak, tercantum data wajib pajak yang sudah membayar maupun kurang bayar. Namun yang meresahkan adalah terjadinya missmatch antara data yang dipegang oleh pemkot dengan data yang dibawah oleh wajib pajak, mengapa hal ini bisa terjadi? Pada hal tahun-tahun sebelumnya, wajib pajak cukup memanfaatkan jasa bank yang ditunjuk untuk membayar serta melunasi pajak tahun berjalan. Jika permasalahan ini tidak segera diperbaiki atau ditindaklanjuti dikuatirkan jumlah wajib pajak yang patuh akan menurun. Dampaknya negatifnya adalah mereka akan berpendapat bayar pajak dipersulit. Sehingga ketaatan wajib pajak bisa berkurang.
Penulis membaca di media Jawa pos , bahwa mulai tanggal 1 Januari 2011 kota Surabaya dipilih sebagai pilot project pelimpahan pajak bumi dan bangun dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tingkat II. Bahkan persiapan kota Surabaya untuk menerima tugas tersebut sudah dilakukan sejak dua tahun yang lalu. Mulai dari peraturan daerah, personil pengolahan sampai persiapan sarana dan prasarana, semua sudah direncanakan sejak dua tahun yang lalu. Namun saat ini rencana yang disiapkan dua tahun yang lalu sepertinya mengalami beberapa permasalahan. Banyak wajib pajak yang merasa kesulitan untuk membayar atau balik nama. Bahkan DPPK belum dapat mengoptimalkan kerjasama dengan pihak bank, dikarenakan belum tersedianya informasi yang lengkap mengenai wajib pajak. Seharusnya kejadian tidak perlu terjadi, jika memang sudah direncanakan sejak dua tahun yang lalu.
Sementara itu, di lima kecamatan kotamadya Surabaya didapat data Rp 500 Milyar. Dengan adanya kasus ini, insyaAllah akan mempengaruhi peningkatan tunggakan pembayaran PBB. Alasannya adalah wajib pajak yang patuh dibuat tidak nyaman, apalagi wajib pajak yang tidak patuh.
Management Pelayanan Publik
Keunggulan sebuah negara atau kota ditentukan oleh bagaimana pemeritahan sebuah negara atau pemerintahan daerah bisa mengembangkan kebijakan publik yang unggul. Kebijakan publik yang unggul tidak dapat dilepaskan dari adminstrasi dan management yang unggul. Pengendalian kebijakan publik agar dapat terlaksana dengan baik dibutuhkan tiga hal yaitu, monitoring, evaluating dan rewarding. Jangan sampai kebijakan publik yang tujuan awalnya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat malah dapat merusak kehidupan masyarakat.
Management menurut Peter Drucker (1999) bukan hanya mencakup tujuan yang bersifat ekonomi. Tetapi juga mencakup tujuan yang bersifat sosial. Dalam prespektif penerapan kebijakan publik melalui pelimpahan PBB dari pusat ke daerah, seharusnya ditanamkan tujuan penerapan management untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Pelayanan publik merupakan salah satu senjata utama untuk dapat menghasilkan kebijakan publik yang unggul. Pelayanan tidak hanya mencakup senyuman yang ramah saja, tetapi lebih dari itu yaitu memahami dan memberikan jaminan kepada publik tentang kemudahan dalam melayani masyarakat. Suatu implementasi kebijakan yang dibuat seharusnya mengetahui karekteristik masyarakat yang akan dikenai kebijakan tersebut. Untuk mengetahui karekteristik dan perkembangan masyarakat perlu dilakukan aspek monitoring dan evaluating. Lebih jauh Parasurahman, dkk (1985) menyatakan bahwa pemberian suatu layanan harus mencakup ke lima aspek yaitu: Realiabilitas, daya tanggap, jaminan, empati dan bukti fisik.
Penutup
Fenomena komplain masyarakat terhadap penerapan kebijakan publik beserta pelayanannya seharusnya menjadikan sebuah pelajaran betapa pentingnya aspek monitoring, evaluating dan rewarding dalam penerapan kebijakan dan pelayan publik. Pemerintah daerah tingkat II juga harus dihadapkan pada persoalanan opini ”untuk apa masyarakat mebayar pajak bumi dan bangunan”. Karena selama ini opini yang berkembang dimasyarakat bahwa membayar pajak adalah beban dan bukan sebuah kewajiban sebagai warga negara untuk memperlancar pembangunan guna kesejahteraan bersama. Kurang adanya unsur keadilan membuat masyarakat kurang termotivasi untuk berpartisipasi dalam meningkatkan pembangunan dengan salah satu cara membayar pajak bumi dan bangunan. Selain masalah kurangnya manfaat yang diperoleh, adanya sebagian masyarakat menengah keatas yang cenderung kurang berkesadaran untuk membayar PBB. Karena diakui atau tidak, selama ini kebijakan publik yang telah dibuat tidak pernah menyentuh unsure keadilan dan kesejahteraan sosial (social walfare). Dan hanya merupakan sebuah kepentingan pribadi (self interest) bagi masyarakat yang mempunyai kekuasaan.

Penulis adalah Mahasiswa FEb Unair dan Kader Komisariat FEB Unair