28/06/11

EXIT STRATEGY

Adanya wacana untuk menghentikan sementara penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri terutama pekerja rumah tangga (Kompas 22/06/2011) agaknya perlu dikaji lebih dalam. Hal ini dikarenakan masih tingginya permintaan dan penawaran akan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Terlebih lagi tren demografi menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami “bonus demografi”. Apa artinya? Indonesia harus mempersiapkan lapangan kerja yang cukup untuk memenuhi kebutuhan akan bonus demografi tersebut. Jika tidak, maka akan terjadi peningkatan pengangguran dan beban ketergantungan yang semakin meningkat. Data international labour organization (ILO) menunjukkan bahwa rasio ketergantungan Indonesia tertinggi pada tahun 1970-an dimana rasio ketergantunggannya mencapai 87, yang artinya setiap 100 orang usia produktif harus menanggung 87 orang tidak produktif. Rasio tersebut telah menurun menjadi sekitar 46, yang berarti juga dapat diartikan perekonomian Indonesia lebih baik dari pada tahun 1970-an. Perhitungan proyeksi dari ILO juga menunjukkan bahwa angkatan kerja Indonesia pada tahun 2015 akan meningkat menjadi 124,4 juta. Jika proyeksi ILO mendekati kenyataan, maka dapat diharapkan akan ada penurunan tingkat pengangguran dikarenakan iklim dunia usaha yang cukup baik.
Artinya bahwa akan ada peningkatan permintaan akan tenaga kerja di pasar tenaga kerja, baik domestik maupun internasional. Lalu apakah kita akan mengabaikan potensi tersebut, dengan menerapkan kebijakan sementara menyetop pengiriman TKI ke luar negeri? jawaban pribadi saya, itu bukan solusi terbaik. Jika kebijakan tersebut benar diterapkan, maka Indonesia akan menambah satu persoalan baru, yaitu menghambat kesempatan kerja. Pendapat saya tersebut, bukan berarti saya setuju atau mendukung adanya kejadian ulangan penyiksaan para TKI kita. Penyiksaan terhadap TKI kita di luar negeri, tetap harus dicegah dan diminimalkan hingga titik paling rendah, karena ini menyangkut harga diri bangsa dan orang per orang warga negara Indonesia. Karena tanpa ada harga diri, maka kita akan dianggap rendah apa implikasinya, TKI kita hanya akan dibayar rendah dengan beban kerja yang berat.
Melihat Masa Depan
Proyeksi pada tahun 2015 menunjukkan bahwa angka pengangguran akan berada pada kisaran 11,5 juta jiwa dengan pekerja sebesar 115,3 juta jiwa. Dengan sektor penyerapan tenaga kerja dunia yang mempunyai prospek paling tinggi adalah sektor jasa. Dikarenakan sektor ini menunjukkan tren meningkat dari mulai tahun 1999 mempunyai share sebesar 38% dan pada tahun 2009 share terhadap tenaga kerja mencapai 43%. Artinya tingkat permintaan pembantu rumah tangga juga akan naik. Sedangkan kondisi demografi di negara-negara Asia akan mengalami penuaan, sehingga ini akan memperkuat faktor penarik untuk “mengimport” tenaga kerja kita. Perbadaan gaji yang ditawarkan juga mendukung proses import tersebut. Apa lagi terbentuknya ACFTA membuat mobilitas tenaga kerja semakin tinggi.
Pada tahun 2015 jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMU diperkirakan akan meningkat dan tenaga kerja berpendidikan SD akan menurun. Hal tersebut akan meningkatkan resiko tingkat pengangguran berpendidikan di Indonesia menjadi lebih tinggi. Selain itu Indonesia juga mengalami kualitas pendidikan yang agak tertinggal dengan negara-negara di dunia. Hasil tes intelegensi yang dilakukan lembaga internasional menunjukkan kinerja yang sedikit lebih rendah dari siswa di negara Cina, Taiwan, Thailand, Brasil dan beberapa negara berkembang lainnya. Hasil dari Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan bahwa kinerja siswa Indonesia sebesar 65,7% di bidang matematika, 61,6% dibidang pengetahuan umum dan 58,3% dibidang membaca sedikit dibawah negara-negara diatas. Dengan kondisi tersebut, apakah lalu kita merasa takut, sehingga “mengharamkan” TKI kita bekerja di luar negeri untuk sementara waktu.
Exit Strategy
Anjuran dari ilmu psikologi manusia adalah dalam keadaan apapun kita harus berfikir positif, karena berfikir positif akan meerangsang sel-sel dan hormon dalam diri kita membuat kinerja lebih baik dari pada berfikir negatif. Penyiksaan terhadap TKI di beberapa negara mungkin sebagian besar adalah kesalahan pemerintah. Namun kita juga ikut andil dalam mendorong kejadian tersebut. Kenapa? Karena kita tidak pernah benar-benar tulus membantu meningkatkan taraf hidup saudara-saudara kita yang kurang beruntung dari kita. Indikatornya, kita lebih senang menyebut hak milik pribadi dari pada hak milik bersama. Seperti “hak kekayaan intelektual”, lebih heboh mengurus kasus Bank Century dari pada kasus penyiksaan TKI. Kasus-kasus tersebut hanya dibahas sambil lalu, tanpa ada kajian lebih dalam, di bangku perkuliaan misalnya.
Langkah pemerintah untuk mengformalkan kembali pendidikan pancasila mungkin sudah tepat. Hal tersebut bisa menjadi exit strategy jangka panjang guna keluar dari masalah tersebut. Karena pancasila mengajarkan semangat “kekeluargaan” dan persatuan. Dua hal inilah yang akan memperkuat bargaining position kita dimata dunia internasional. Jangka pendeknya, perbaiki pola komunikasi dan informasi antar TKI di luar negeri serta perlindungan sosial yang memadai. Dan jangan ditinggalkan aktivitas ekonomi dalam negeri juga harus diperbaiki. Jika perekonomian negara ini kuat, tentu TKI kita tidak akan mengalami nasib yang menyedihkan.
Gigih Prihantono
Mahasiswa Ilmu Ekonomi Unair

06/06/11

MENGEMBALIKAN PENDIDIKAN PANCASILA PADA DUNIA PENDIDIKAN (Hasil Reportase Konggres Pancasila III)

Ditengah galaunya sebagian masyarakat tentang semakin berkurangnya nilai-nilai pancasila di kehidupan sehari-hari. Maka sebagian kecil masyarakat yang masih peduli aterhadap pancasila mengadakan konggres pancasila ketiga sebagai salah satu aksi agar pancasila kembali diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Konggres yang bertempat di Universitas Airlangga Surabaya ini dalam pelaksanaanya memakan waktu dua hari yaitu pada tanggal 31 mei-1 juni 2011. Konggres ini menghasilkan 5 butir deklarasi Surabaya. Yang menarik adalah pada butir keempat deklarasi yang berbunyi “Negara harus jelas dan tegas dalam menjalankan Politik Pendidikan Nasional berdasar Pancasila, untuk itu mata pelajaran Pancasila secara mandiri harus dimasukkan dalam kurikulum di seluruh jenis, jenjang, dan jalur pendidikan. Pendidikan Pancasila juga wajib dikembangkan dalam program yang bersifat kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra kurikuler. Oleh karena itu, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Th 2003 perlu segera dilakukan judicial review (hak uji materi) karena tidak mencantumkan subtansi Pendidikan Pancasila secara mandiri”.
Namun ditengah keinginan pengembalian nilai pancasila ke dunia pendidikan, timbul sebuah keresahan bahwa hanya sedikit generasi mudah yang mengikuti konggres dan sebagian besar pesarta konggres sudah berusia 50 tahun keatas. Maraknya kasus korupsi, tren globalisasi dan adanya gerakan-gerakan fundalisme seakan membuat para pemuda tidak merasa perlu memiliki sikap hidup pancasila. Pancasila dianggap usang dan tidak mempunyai nilai jual. Inilah yang disampaikan Linggar Dian dan Budi Santosa sebagai salah satu pembicara dalam konggres.
Bagaimana tidak dikuasai asing? import beras Indonesia mencapai 3 juta ton, import kedalai mencapai 3 juta ton dan import kedelai mencapai 1,5 juta ton. Import tersebut belum termasuk jeruk dari Cina, pepaya dari Thailand dan masih ada beberapa komoditas pertanian lain, ujar Budi Santosa dalam memaparkan persentasinya. Inilah ketidakberdayaan bangsa Indonesia dalam menghadapi arus globalisasi. Karena ketidakberdayaan inilah, sebagian bangsa Indonesia mulai meninggalkan semangat nasionalisme, kembalihnya keterjajahan dalam bidang akademis, kehidupan sosial-budaya serta perekonomian kita, ujar Prof Purihito dalam persentasinya.
Setelah mengalami debat yang panjang dalam sesion plenary pemaparan call for paper dan sidang komisi serta sidang pleno akhirnya peserta menyepakati bahwa pancasila harus kembali pada dunia pendidikan. Karena pancasila masih merupakan konsep ideologis dan belum diturunkan menjadi konsep operasional yang dapat diaplikasikan sehari-hari. Untuk dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, diperlukan sebuah saluran dan itu dimulai dari dunia pendidikan. Karena pendidikan akan memiliki Snowbaal efect yang besar terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat Indonesia. Harapannya dunia pendidikan mampu mendidik generasi muda bangsa ini agar cinta pancasila sehingga mencintai negaranya. Karena generasi muda adalah “api” masa depan Indonesia.
Deklarasi Surabaya merupakan sebuah langkah maju dalam mengembalikan pancasila pada dunia pendidikan. Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai generasi muda guna mendukung deklarasi tersebut? Mungkin hanya sebuah jawaban sederhana yang bisa penulis sampaikan: pancasila merupak sebuah tekad yang diwariskan kepada kita, tekad itulah yang diwariskan kepada kita untuk memperjuangkannya karena para leluhur yakin kita mampu. Atau barangkali kita memilih untuk menjadi api yang hampir padam sehingga kita terlalu kecil dihadapan pancasila atau pancasila yang terlalu besar dihadapan kita
Gigih Prihantono
Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB Unair

REPOSITIONING PANCASILA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

Enam puluh enam tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 1 Juni 1945 pancasila telah dilahirkan kembali sebagai pijakan yang nyata bagi terbentuknya negara Indonesia. Kenapa saya memberi pernyataan lahir kembali? Karena pancasila memang sudah ada sejak dulu, kemudian dilupakan oleh masyarakat sebelum jaman bung Karno dan dimunculkan kembali oleh masyarakat pada jaman bung Karno. Setelah itu, berangsung-angsur pancasila kembali dilupakan oleh masyarakat Indonesia. Mungkinkah, timbul dan tenggelamnya pancasila merupakan sebuah siklus sejarah yang tidak dapat dipatahkan? Sama dengan Indonesia yang dibentuk secara sengaja, pancasila juga merupakan pem-formalan khasanah hidup bangsa Indonesia yang dengan sengaja dimunculkan sebagai value masyarakat Indonesia. Namun kini value tersebut perlahan tapi pasti mulai dilupakan oleh masyarakat. Masyarakat mulai bergerak dari kompetisi berdasarkan persaudaraan bergerak menuju kompetisi berdasarkan individualisme. Masyarakat lebih mengagungkan hak milik pribadi daripada kewajiban sosial.
Berdasarkan data dari bank Indonesia, triwulan II diperkirakan eksport akan tumbuh sebesar 8% yang sebagian besar adalah komoditas pertanian, perkebunan dan pertambangan. Seiring dengan meningkatnya eksport, import Indonesia juga diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 8,3% yang sebagian besar adalah bahan baku dan modal hasil olahan eksport kita dari luar negeri. Inilah bentuk bahwa hak milik pribadi lebih diutamakan dari kewajiban sosial. Pasar eksport jelas lebih menguntungkan dari pada pasar domsetik, sehingg orang lebih suka mengeksport dari pada memenuhi kebutuhan domestik. Akibatnya pasar domestik dipenuhi barang-barang sepele seperti sepatu olahraga, paku, baju batik, sandal jepit semuanya barang import. Belum lagi bahan makanan seperti beras kita import 3 juta ton, kedelai kita import 3 juta ton dan jagung kita import 1,5 juta ton.
Jauh-jauh hari sebelumnya Muhammad Hatta telah mengingatkan bahwa “jangan memutar ujung dengan pangkal”, jangan beorientasi eksport sebelum kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Negara-negara yang sekarang maju, dahulu menerapkan kebijakan penguatan dalam negeri, artinya memenuhi kebutuhan dalam negeri baru kemudian melakukan eksport. Sebagai contoh, USA pencetus perdagangan bebas, menerapkan tarif import sampai 50% pada tahun 1875. Pada saat itu USA baru seperti bayi yang berjalan merangkat sehingga pasar dalam negeri benar-benar dilindungi. Pada tahun 1947 GATT dibentuk sebagai cikal bakal pembangunan globalisasi yang terjadi saat ini. Pada tahun 1950 USA sebagai pemrakasa GATT masih menetapkan tarif import yang cukup tinggi sebesar 15%, bahkan Inggris sebagai pendukungnya malah menerapkan tarif yang lebih tinggi sebesar 24%. Hasilnya, perusahaan negara-negara maju memiliki kepercayaan diri tinggi bahwa mereka mampu bersaing dan merasa ber-terima kasih kepada negara yang telah mendidik sehingga menjadi seperti sekarang, kuat, tangguh dan kompetitif.
Memikirkan Repositioning Pancasila
Data sejarah secara empiris, tidak pernah menunjukkan bahwa Indonesia benar-benar menghadirkan pancasila secara utuh pada perekonomian Indonesia. Baik pada saat orde lama, orde baru terlebih lagi orde setelah reformasi. Saat orde lama perekonomian lebih mengarah pada sentralistik ekonomi semua kegiatan ekonomi diambil oleh negara. Pada orde baru, negara mulai melakukan liberalisasi pada dua sektor vital, yaitu keuangan dan energi. Saat ini negara melepaskan seluruh kegiatan ekonomi pada mekanisme pasar yang artinya siapa yang punya uang dia yang mampu memenuhi kebutuhannya.
Ekonomi pancasila menciptakan adanya pemanfaatan sumber daya yang terbatas guna memenuhi kesejahteraan sosial dan bukan kesejahteraan orang per-orang. Yang artinya, meminimalkan ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin dengan berjalannya mekanisme kewajiban sosial dan pemenuhan hak sosial bagi bangsa Indonesia. Untuk mencapai berjalannya mekanisme tersebut, perlu diperhatikan dua faktor konstan yang selalu muncul. Dua faktor tersebut adalah daya dorong (Push) dan daya taril (Pull).
Mempengaruhi kehendak dan kemauan (Push) dapat berupa pembaruhan secara teoritik maupun aplikatif. Pancasila sebagai ilmu mungkin saat ini tidak pernah dikeritik secara keilmuan karena sudah dianggap sebagai kitab suci bangsa Indonesia. Kalau kitab suci tidak pernah dikritik mungkin tidak menjadi persoalan karena pasti benar, tapi pancasila merupakan sebuah pemikiran yang mungkin ada satu atau dua pemikiran yang sudah tidak pas sehingga bertentangan dengan kehendak dan kemauan masyarakat Indonesia serta kondisi perekonomian global. Faktor penarik (Pull) yang mungkin dapat dijadikan kekuatan untuk “me-repositioning” pancasila kembali adalah ancaman “penjajahan” produk asing terhadap pasar domestik. Sehingga bangsa Indonesia akan sadar perlunya penegakan ekonomi pancasila.
Daya pendorong dan penarik dalam merumuskan repositioning pancasila yang tetap itu adalah intensionalitas dan kesengajaan dalam mempengaruhi perekonomian. Liberalisme berkembang secara pesat dikarenakan adanya kesengajaan dan intensionalitas dari pemerintah, ilmuwan barat dan civil society-nya. Mereka mengadakan kajian secara teoritik, aplikatif, didukung pembuatan buku, aplikasi dilapangan, membuat organisasi-organisasi internasioanal yang mengarah pada pemikiran Adam Smith. Saat ini daya intensionalitas dan kesengajaan itu yang telah hilang entah kemana. Sehingga itulah yang menyebabkan hari ini positioning pancasila berada pada wilayah abu-abu alias tidak jelas. Dia dirindukan tetapi tidak pernah benar-benar diharapkan ada.

02/06/11

JALAN KETIGA KEMBALI KE EKONOMI PANCASILA

Kalau satu negara penuh dengan kekayaan alam, tetapi lemah semangat persatuan, lemah intelektual dan mempunyai mental babu, maka negara itulah yang akan jadi umpan atau makanan negara yang gagah perkasa (Tan Malaka,Madilog). Secara statistik dalam pandangan liberalisme, ekonomi Indonesia bergerak sesuai jalur yang benar. Hal ini bisa dilihat dari tahun 2001-2010 pertumbuhan ekonomi selalu mengalami peningkatan yang positif dan tingkat pengangguran pada tahun 2010 menurn dari 7,9% ke 7,14%. Namun yang disayangkan, pertumbuhan ekonomi yang positif membuat masyarakat Indonesia terkena gejala meningkatnya individualisme, semakin melemahnya rasa persatuan dan meningkatnya mental babu dikalangan intelektual Indonesia.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BKPM pada tahun 2010, investasi langsung asing di Indonesia mencapai Rp. 147 Trilliun. Dengan penempatan tertinggi masing-masing adalah Singapura, Inggris, USA, Jepang dan Belanda. Lima sektor yang menjadi prioritas asing secara berturut-turut adalah: 1. sektor pertambangan, 2. sektor listrik air dan gas, 3. sektor Transportasi dan telekomunikasi, 4. Tanaman pangan dan perkebuman serta 5. Industri makanan. Pada triwulan pertama tahun 2011 PMA merealisasikan investasinya sebesar Rp. 39,5 T dengan sumbangan realisasi nasional sebesar 73,8% sedangkan PMDN hanya sebesar 14,1 T atau sebesar 26,2%. Sebenarnya investasi asing di Indonesia tidak menjadi masalah, namun yang menjadi masalah besar adalah bagaimana investasi asing sampai menguasai 73,8% dari keseluruhan investasi yang menguasai hajat hidup rakyat Indonesia.
Meskipun ada statement dari pemerintah bahwa perusahaan asing hanya menyumbang 2,82% dari total PDB (kompas, 27 Mei 2011). Namun data BKPM menunjukkan bahwa investasi asing lebih besar dari investasi dalam negeri, apakah mungkin share investasi sebesar 73,8% menyumbangkan hasil yang hanya sebesar 2,82%? Banyak ahli ekonomi percaya bahwa memperbesar investasi akan memperlancar sistem mekanisme pasar. Jika mekanisme pasar berjalan sempurna, maka kebutuhan individu dari semua pelaku akan dapat terpenuhi sehingga terjadilah kesejahteraan sosial. Dengan kata lain pemenuhan kebutuhan pribadi sama dengan pemenuhan kebutuhan publik. Pertanyaanya apakah sistem yang terdiri atas beberapa pelaku yang bertindak secara pribadi maupun kolektif serta mengejar kepentingan pribadi, akan mampu menciptakan sebuah tatanan sosial yang adil?
Secara sederhana mekanisme pasar tidak akan pernah bisa mengatur yang namanya kesejahteraan sosial. Contoh mudahnya adalah, antara tahun 1975-1999 dunia memproduksi 1393 jenis obat. Namun hanya 16 jenis obat yang benar-benar diperuntukkan untuk masyarakat tidak mampu dalam ukuran ekonomi. Dunia pendidikan juga mengalami gejala yang hampir sama. Selain biaya yang ditanggung mahal, peserta didik dari SD sampai Perguruan tinggi diajarkan dan ditekankan pentingnya sebuah kompetisi individual dan tidak pernah diajarkan mengenai kerjasama berdasarkan kekeluargaan.
Jalan Ketiga Ekonomi Pancasila
Ekonomi pancasila sebagai jalan ketiga, tidak berada pada sisi liberal maupun Marxist, namun menekankan pentingnya rasa nasionalis untuk membangun perekonomian Indonesia. Ekonom Joan Robinson (1962) mengatakan bahwa ilmu ekonomi sebenarnya berakar pada nasionalisme. Sejalan dengan pemikiran Tan Malaka, ilmu ekonomi seharusnya menciptakan pemanfaatan sumber daya yang terbatas guna memenuhi kesejahteraan sosial dan bukan kesejahteraan orang per-orang. Pancasila mengajarkan akan sebuah nilai nasionalisme bangsa Indonesia, yang diaplikasikan dalam bidang ekonomi dengan mendistribusikan secara merata dan adil sumber daya yang terbatas untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun hari ini, ideology itu sudah hampir tidak berlaku lagi, karena kepentingan pribadi telah melebihi kepentingan sosial.
Pengajaran di dunia pendidikan, lebih menekankan hak milik pribadi tanpa mengajarkan adanya kewajiban sosial yang harus kita kerjakan. Contoh: Universiatas majumundur mempunyai sebidang tanah kosong. Tanah tersebut dimanfaatkan anak-nak kampung sekitar untuk bermain bola. Suatu hari universitas akan membuat lapangan futsal yang diperuntukkan untuk mahasiswa, konsekuensinya anak-anak kampung sekitar terpaksa mencari lapangan yang baru. Universitas berhak mendirikan lapangan futsal dan anak-anak kampung sekitar harus menghormatinya karena itu hak pribadi universitas. Universitas tidak ikut bertanggung jawab dalam memberikan sedikit lahan mereka untuk digunakan anak-anak kampung bermain bola guna melepas lelah. Jika anak-anak kampung ingin ikut menikmati, maka diwajibkan membayar dengan tarif yang sudah disediakan. Sungguh ironis!!!
Itulah mengapa ekonomi pancasila yang tidak pro pasar mulai hilang dalam benak masyarakat Indonesia. Prinsip ekonomi pancasila tidak menolak adanya hak milik, tetapi lebih menganjurkan bahwa didalam hak milik itu ada kewajiban sosial yang harus dipenuhi. Dalam prinsip ekonomi pancasila, persaingan bukan untuk menentukan menang dan kalah, tetapi menekankan yang kuat harus menolong yang lemah. Ekonomi pancasila tidak anti bisnis dan investasi. Tetapi, lebih mereduksi kekuasaan modal dengan memikirkan kewajiban sosial. Selama ini kewajiban sosial hanya dipahami pada pemberian dana CSR atau PKBL. Padahal dalam kenyataannya masih ada faktor A,B, C dan D yang masuk dalam tanggung jawab sosial. Jika demikian adanya masa depan kapal Indonesia akan seperti dikemudikan oleh orang buta dengan penumpang yang buta juga.