16/07/11

FENOMENA PENGULANGAN KRISIS1997/1998?

Fenomena adanya global imbalance semakin memperkuat kondisi kegiatan ekonomi di Indonesia bergeser dari oikonomia (pemenuhan kebutuhan) menjadi chrematistic (perdagangan uang). Hal tersebut dapat ditandai dengan semakin positifnya arah gerakan IHSG yang pada akhir 2010 bursa efek Indonesia (BEI) mencatatkan diri sebagai bursa efek dengan pertumbuhan tertinggi di kawasan Asia Pasifik (Kompas, 11 Juli 2011). Hal tersebut juga didukung oleh intervesi dari Bank Indonesia dengan salah satu instrument andalannya menetapkan suku bunga bank Indonesia (SBI) sedikit lebih tinggi dari negara-negara kawasan Asia Pasifik yakni dengan angka 6,75% (Kompas, 13 Juli 2011). Hal tersebut dilakukan oleh BI agar pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai angka 6,3-6,8%.
Untuk mencapai tingkat pertumbuhan diatas tidak hanya diperlukan investasi pada sektor keuangan saja namun juga sektor rill perlu lebih ditingkatkan sehingga peningkatan pembangunan di Indonesia tidak bersifat semu. Namun yang terjadi saat ini, investasi yang masuk ke Indonesia sebagian besar berasal dari pasar keuangan Indonesia dalam bentuk protofolio jangka pendek. Mengapa pasar keuangan Indonesia menjadi sangat menarik bagi investor? Hal ini dikarenakan imbal hasil atas portofolio cukup tinggi dibandingkan wilayah Eropa maupun Amerika dan beberapa negara-negara Asia lainnya atau jika berinvestasi dalam sektor rill. Selain suku bunga yang ditawarkan cukup tingi, portofolio yang masuk dalam pasar keuangan di Indonesia juga dipicu oleh semakin memburuknya kondisi pasar keuangan eropa akibat krisis Yunani yang kini mulai menular ke negara-negara Eropa dan juga diperkuat dengan adanya perang mata uang antara Cina dan USA.
Perang mata uang antara Cina dan USA memicu terjadinya over liquidty dollar di pasar keuangan dunia. Karena USA mencetak dollar lebih banyak, dan mendistribusikannya pada pasar keuangan dunia melalui mekanisme international system monetary. Kenapa USA melakukan itu? Agar komoditas eksport USA laku dipasaran, jika komoditasnya laku maka industri yang berorientasi eksport juga berkembang dan dampaknya akan menyerap tenaga kerja lebih besar. Laporan perkembangan ekonomi keuangan dan kerjasama internasional yang dirilis oleh Bank Indonesia menunjukkan menurunnya jumlah pengangguran di USA, yang semula pada kisaran angka 9,4% menjadi 8,8%.
Indonesia menikmati keuntungan dengan adanya fenomena tersebut dengan ditandai oleh penguatan nilai tukar rupiah. Sehingga harga barang import menjadi lebih murah. Inilah alasan mengapa negara ini pada awal tahun 2011 sampai sekarang kedapatan surplus barang import dipasaran, mulai dari produkCina sampai produk USA. Tentu banjirnya barang import murah, mengakibatkan masyarakat dapat dengan mudah terpenuhi kebutuhannya sehingga tingkat inflasi dapat ditekan pada level moderat antara 5-6 persen. Sekilas memang hal tersebut memberikan keuntungan bagi Indonesia. Namun kembali pada hipotesis awal, investasi pada sektor rill-lah yang mampu membuat Indonesia menjadi mandiri secara ekonomi. Sebuah sistem ekonomi yang kuat akan terjadi jika sektor rill menjadi leader yang kemudian didukung dengan sektor keungan. Kenyataan yang terjadi di Indonesia ternyata sebaliknya, sektor keuangan menjadi leader dalam sistem ekonomi kita. Banyak orang lebih senang menaruh uangnya untuk bermain di pasar saham dan portofolio.
Perekonomian Indonesia sebenarnya mempunyai titik keunggulan yang belum dimanfaatkan secara sungguh-sungguh. Titik keunggulan tersebut adalah Indonesia mempunyai pasar yang sangat besar didukung dengan pertumbuhan kelas menegah yang juga besar. Sehingga prospek membuka usaha apapun akan selalu mudah menemukan segmentasi pasarnya. Keunggulan lainnya, Indonesia dikarunia kekuatan alam yang begitu subur, sehingga dapat menghasilkan produk pertanian dan kelautan yang bisa bersaing di pasaran dunia. Karena tekanan modal asing-lah Indonesia tidak pernah bisa mengembangkan keunggulan-keunggulan tersebut. Indikator saham yang membaik dan meningkat tidak mencerminkan sebuah perbaikan kondisi di sektor rill. Karena itu, akan sedikit naïf jika ada anggapan semakin meningkatnya jumlah transaksi pada produk-produk finansial akan mengalirkan dananya pada sektor rill dengan berdirinya pabrik pengolahan ikan atau padi yang kemudian pengangguran akan berkurang.
Banyak penelitian yang menyatakan bahwa sektor financial seperti mempunyai sekat yang cukup lebar dengan sektor rill. Artinya, sektor financial hanya memberikan sedikit nilai tambah pada sektor rill. Entah saya harus merasa bangga atau kuatir dengan adanya penguatan nilai tukar rupiah dan meningkatnya indeks harga saham gabungan. Namun yang jelas, saya berharap gelembung keuangan pada pasar keuangan Indonesia tidak sampai pecah. Jika gelembung itu pecah, maka semakin lengkaplah penderitaan di Negeri ini.

01/07/11

MAU KEMANA ARAH GERAKAN BELI PRODUK INDONESIA

Gerakan beli produk (GBI) RI yang dideklarasikan pada hari minggu kemarin di kota Solo (kompas 27/06/2011) mencerminkan sebuah kekuatiran dan rasa prihatan pengusaha nasional akan preferensi konsumen terhadap produk buatan dalam negeri. Isi dari GBI adalah, menyadarkan kembali bahwa Indonesia mempunyai kekuatan civil society dalam menggerakkan perekonomian lokal dengan jalan membeli produk yang dihasilkan perusahan lokal. Isu besar yang diusung untuk menggerakkan civil society adalah rasa persaudaraan dan nasionalisme karena tanpa hal tersebut maka mustahil civil society akan bergerak. Nah pertanyaannya, sanggupkan GBI ini menggerakkan isu besar tersebut tanpa harus tergantung pada isu tersebut? Dalam kalimat lebih pendek, kualitas barang dan jasa pengusaha lokal juga layak untuk dibeli serta dihargai.
Jantung Perkera
Mengapa sih kita tidak atau kurang suka memakai produk dari Indonesia? Sampai-sampai 412 pengusaha dari 17 kota harus berkumpul sampai harus membuat gerakan GBI. Tentu jawabannya akan beraneka ragam. Mulai dari kualitas, harga, pelayanan sampai pada gaya hidup. Belum lagi ketakutan akan persaingan dari luar, Cina misalnya. Dalam banyak hal bisa dikatakan bahwa, kita sebenarnya berulang kali mengulang sejarah meskipun dalan kasus yang berbeda secara permukaan namun sama dalam hal substansi. Contoh, jaman Majapahit dengan kekuasaan yang begitu besar, ternyata sistem nilai tukarnya banyak dipengaruhi oleh sistem nilai tukar Cina. Ini mengartikan bahwa masyarakat lebih tertarik mengkonsumsi barang Cina dari pada barang hasil produk sendiri. Ini artinya sikap kita lebih cinta asing dari pada negara sendiri memang sudah membudaya. Contoh lainnya, kita dari dulu tahu bahwaperlakuan yang diterima beberapa TKI pembantu rumah tangga mendapatkan perlakuan yang buruk dari majikan, seperti diperkosa, dipukuli, tidak dibayar sampai dikenakan hukuman mati dan pemerintah selalu telat merespon hal tersebut. Bahkan sampai detik ini pemerintah selalu mengulang kesalahan yang sama. Kitapun juga sudah tahu dari awal bahwa produk lokal kurang mampu bersaing pada pasaran internasional. Seperti industri tekstil, industri sepatu bahkan sampai industri migas kita. Namun kesalahan yang dibuat hanya berputar-putar disekitar situ. Memang mekanisme perekonomian kita dari dulu lebih dirancang untuk berkecendurungan menyingkirkan perkembangan bisnis lokal.
Apakah masalahnya sesederhana itu? Jawabannya tidak, tetapi dari kacamata kita sebagai orang awam, pasti akan bersikap sederhana terhadap permasalahan tersebut. Visi Indonesia pada tahun 2025 kedepan adalah meningkatkan porsi sektor sekunder dan tersier. Dengan fokus mengundang FDI dalam skala besar. Jika benar begitu, maka pemerintah lebih memporsikan dirinya lebih besar untuk menarik FDI dari pada mengembangkan daya saing pengusaha lokal. Kecenderungan mekanisme perekonomian Indonesia sejak orde baru lebih diorientasikan pada mekanisme pasar.. Padahal USA sendiri pada tahun 1820-1950 memberikan proteksi hambatan non tarif sebesar 40% dan sampai saat ini USA masih menerapkan hal tersebut dengan bentuk yang berbeda, seperti perang mata uang maupun pelarangan suatu produk dengan alasan tidak memenuhi standard. Apakah mekanisme pasar jelek? Tidak mekanisme pasar tidak jelek, namun fluktuasi dari mekanisme pasar itulah yang harus dikontrol. Kalau dianalogikan, fluktuasi pasar seperti kuda liar tanpa pawang. Dan selama ini, kebijakan yang dibuat kurang bisa mmenjadi pawang yang baik bagi kuda liar tersebut.
Prinsip mekanisme pasar adalah: bagaimana menciptakan sebuah kondisi mendekati persaingan sempurna. Artinya free exit dan free enter semakin tinggi. Dimana perusahaan yang sanggup bertahan harus memiliki superior teknologi dan manajemen. Sehingga mampu menghasilkan produk berbiaya rendah, kualitas bagus maupun mampu menggugah hasrat berbelanja lewat iklan. Inilah jantung masalah daya saing kita. Bagaimana cara melawan? Pepatah mengatakan jika hanya sebatang lidi maka mudah dipatahkan, namun beda cerita jika sebatang lidi itu terikat jadi satu akan sulit untuk dipatahkan.
Senjata Penyangga
Kondisi saat ini memang tidak memungkinkan untuk kita memberikan proteksi pada produk dalam negeri dalam bentuk hambatan tarif. Namun rasa nasionalisme itulah yang masih bisa kita harapkan memberikan solusi. The Root of Economics is Nasionalism itulah kesimpulan dari Prof Joan Robinson guru besar ekonomi Cambridge. Gerakan GBI ini merupakan tanda bagus untuk menuju gerakan civil society guna mempengaruhi preferensi konsumen. Namun yang patut digarisbawahi adalah janganlah kita terlupa pada pengembangan perusahaan. Karena bagaimanapun kualitas dalam diri itu merupakan modal paling utama bagi kita. Lebih baik lagi jika GBI memberikan wadah kelembagaan dalam bentuk koperasi. Sehingga ada sebuah perubahan dari ekonomi kompetisi zero sum game menjadi ekonomi kekeluargaan. Karena akan menjadi percuma gerakan beli produk RI jika tidak dilembagakan.
Penyakit utama kita adalah mudah lupa atau amnesia terhadap sejarah. Koperasi adalah soko guru nasional, kita sering lupa terhadap hal tersebut. Koperasi adalah kumpulan orang yang menjadi pelanggan dan pemilik sekaligus. Dari sinilah semangat menolong diri sendiri secara bersama-sama memperoleh wujud awal. Dari sinilah wujud nasionalisme bisa dikembangkan kembali. Banyak alasan mengapa GBI harus dilembagakan dalam bentuk koperasi. Namun cukuplah satu alasan yang mewakili semua: Karena koperasi merupakan senjata penyangga bagi keberlanjutan gerakan beli produk RI (GBI) .
Gigih Pringgondani Mahasiswa FEB Unair