11/08/11

IN-EQUITY NASIONALISME

Nasionalisme, topik yang hangat untuk selalu diperbincangkan, baik bagi kalangan akademisi, politisi maupun masyarakat biasa meskipun dengan sebutan yang cukup berbeda. Namun kebanyakan pokok pembicaraan tersebut selalu mengkaitkan nasionalisme Indonesia sebagai paham yang diciptakan para founding father kita. Bukan bermaksud menggurui, namun nasionalisme tidak pernah dilahirkan dalam proses pemikiran seseorang maupun kelompok. Nasionalisme merupakan pergulatan panjang perpaduan nilai-nilai antar struktur sosial yang ada di Indonesia. Meminjam opini Daniel Dhakidae, Nasionalisme tidak pernah dilahirkan tetapi merupakan proses panjang hasil dialektika antara ruang, waktu, dan kelompok sosial dan politik yang mengolahnya. Dalam konteks inilah kita perlu merenung kembali sisa-sisa nasionalisme yang masih hidup didalam diri kita.
Ernes Gelner dalam sebuah bukunya pernah berpendapat, bahwa gejala nasionalisme merupakan sebuah fakta yang unik. Bahwa nasionalime terbentuk dikarenakan ada sebuah kekuatan yang menarik ikatan antar manusia yang kemudian diformalkan menjadi bentuk negara-bangsa. Tanggal 17 Agustus 1945 itulah, hari dimana ikatan nasionalisme kita diformalkan. Dengan ditandatangani oleh atas nama bangsa Indonesia (Sukarno-Hatta) secara de fakto negara Indonesia lahir setelah lahirnya bangsa Indonesia. Ya memang sebuah keunikan tersendiri Indonesia merupakan sebuah negara yang Bangsanya tercipta lebih dahulu. Ya, Bangsa Indonesia lebih dahulu ada sebelum berdirinya Negara Indonesia.
Eksternal dan Internal
Di dunia yang semakin datar dan tanpa batas, ikatan formal nasionalisme tersebut kembali diuji. Kalau dulu jaman sebelum tahun 1945, formalisasi nasionalisme menghadapi tantangan eksternal berupa penjajah dan internal berupa hambatan geografi dan budaya untuk menyatukan bangsa Indonesia di bawah bendera negara republik Indonesia. Kini, tantangan tersebut telah berubah, pada sisi eksternal tantangan nasionalisme menghadapi globalisasi ekonomi. Sedangkan dalam sisi internal terbentuknya moral hazard yang semakin membesar.
Pada posisi eksternal nasionalisme Indonesia dihadapkan pada ancaman daya saing produk ekonomi. Saat ini banyak para pengusaha Indonesia lebih senang untuk menjalankan roda bisnisnya pada sektor non-tradedeble. Padahal antara tahun 1984-1996 saat Indonesia dijuluki macan Asia pertumbuhan ekonomi banyak disokong sektor riil (pertanian dan industri), namun saat ini periode 2006-2010 sumber pertumbuhan ditopang oleh sektor non-tradeable (telekomunikasi, keuangan, jasa, perdagangan, dan lainnya). Akibatnya akumulasi keuangan semakin menumpuk pada suatu heriarki sosial tertentu sehingga menyebabkan disparitas kekayaan ekonomi semakin melebar. Apa hubungannya dengan memudarnya semangat nasionalisme? Dalam teori equity terdapat dua hal yang mendasari motivasi yang menimbulkan perpecahan. 1) Kondisi yang mendasari perasaan equity maupun inequity adalah suatu persepsi individu, bukan kondisi objektif yang terjadi. Seperti terjadinya isu korupsi pada si A atau lembaga A. 2) Perasaan inequity biasanya terjadi jika individu melihat individu lain melakukan usaha minimal dan mendapatkan hasil maksimal. Dalam 2 kondisi tersebutlah individu atau warga negara Indonesia merasa kehilangan rasa persaudaraannya. Karena tak dapat dipungkiri rasa persaudaraan itulah yang menimbulkan nasionalisme.
Pada posisi internal nasionalisme Indonesia dihadapkan pada berbagai peristiwa moral hazard. Seperti, Korupsi, perasaan di anak tirikan warga Indonesia yang berada di perbatasan, fundamentalisme agama kesemua itu jika boleh saya simpulkan mengarah pada ketimpangan ekonomi. Artinya banyak warga negara yang merasa inequity saat seseorang atau saudaranya melakukan usaha minimal dan memperoleh hasil maksimal, sehingga berkembanglah self ego-nya. Dalam bahasa sederhana, kita akan bersedih jika saudara kita mendapatkan musibah atau kegagalan, namun akan bertambah sedih lagi jika saudara kita mendapatkan hasil yang melebihi kita. Berangkat dari inilah dapat dijelaskan mengapa kasus-kasus besar yang mengarah pada disequilibrium sosial selalu menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan.
Penutup
Persoalannya pada beberapa kajian, hanya menyangkut-pautkan kebaikan dan keburukan nasionalisme atau penting dan tidaknya nasionalisme. Namun satu yang membuat kita kembali memikirkan ulang sisa api nasionalisme kita ada pada pertanyaan, masih butuhkah kita terhadap negara Indonesia? Jika jawabannya iya, maka merawat bunga nasionalisme adalah kata kuncinya. Bukan hanya dari sisi ekonomi saja, seperti menyempurnakan skema kebijakan moneter dan fiskal, namun juga dari sisi psikologi kemanusiaan dan memperkenalkan kembali sejarah bangsa. Namun hari ini, akibat adanya keletihan ideologis mungkin sebagian dari kita bilang nasionalisme tidak diperlukan lagi. Sehingga saat ini yang diperlukan adalah bagaimana diri sendiri secara pribadi mampu memenagi persaingan global. Jika secara individu berhasil, akan ada mekanisme tangan tak tampak yang pada akhirnya mengangkat seluruh negara menjadi unggul. Sayangnya, mekanisme tersebut tidak pernah terjadi. Individu yang berbakat mungkin mampu memenangi sebuah pertandingan global, namun hanya lewat sebuah tim yang hebatlah kita akan memenangkan perlombaan secara global. Karena hari ini yang kita hadapi bukan Indonesia versus Negara A namun Indonesia versus kartel internasional A. Dan Kemenangan Indonesia ditentukan oleh seberapa jauh rasa persatuan dan kesatuan masyarakat. Untunglah sampai hari ini, sebagaian besar masyarakat masih mempunyai harapan yang cukup besar pada Negara untuk merawat nasionalisme, namun ada titik kesabaran untuk menunggu terwujudnya harapan tersebut. Jika harapan tersebut hilang, maka Indonesia tinggal sejarah mungkin menjadi kenyataan.
Gigih Prihantono