21/01/12

PEJABAT IBLIS

Puji Tuhan saya ditakdirkan menjadi rakyat Indonesia. Alhamdulilah pemimpin-pemimpin Indonesia didalam hati dan pikirannya penuh rakyat. Bagaimana tidak? para pemimpin itu mengerti bahwa dasar dari sebuah ekonmi pertama-tama adalah urusan mata pencarian. Atas dasar tersebutlah, para pemimpin kita ini sering ribut tentang persoalan-persoalan rakyat, seperti etis atau tidakkah jika renovasi ruang banggar menghabiskan dana sampai Rp 20 M atau bagaimana mencari formulasi yang tepat untuk mengoptimalkan penurunan subsidi BBM agar rakyat tidak merasa terluka maupun kecewa. Penyebabnya bukan karena mereka takut jika rakyat kecewa dan terluka lalu melakukan gerakan people power sehingga keselamatan jiwa masing-masing pejabat dan keluarganya menjadi terancam, tidak mereka tidak takut itu. Mereka tidak takut dengan hal yang remeh-remeh seperti itu, yang mereka takuti hanya bagaiman pertanggung jawabannya jika mereka mati kelak dan anak-cucu beserta keluarganya tidak bisa menikmati kekayaan Indonesia.
Itulah mengapa saya sebut para pejabat-pejabat kita itu seperti Iblis. Iblis itukan secara hakikatnya sengaja meletakkan diri sebagai musuh utama umat manusia. Nah, filosofi iblis inilah yang dipakai oleh para pejabat kita dalam mengambil berbagai kebijakan-kebijakan untuk bangsa. Tujuannya agar rakyat Indonesia ini terlatih bermental kuat dengan kondisi yang serba terjepit dan nantinya akan keluar sebagai pemimpin dunia. Itulah sebenarnya tujuan mulia dari iblis-iblis tersebut. Contoh kebijakan apa yang menggunakan filosofi iblis? tentu kalau kita urai satu per satu akan terasa panjang dan membosankan. Maka dapatlah kita urai dan elaborasi satu-dua kebijakan yang lagi hot dibicarakan di media massa.
Pertama Pembatasan Subsidi BBM
Akar permasalahan dari pembatasan subsidi ini adalah pemerintah merasa berdosa memberi subsidi kepada rakyat. Kenapa merasa berdosa? tentu banyak bermacam-macam alasannya. Ada yang karena jika minyak kita ini dijual dipasaran yang sekarang harganya mencapai 111,8 dollar AS per barel, tentu uang-nya bisa kita pakai untuk membiaya kekurangan infrastruktur atau pendidikan dan lagian pendapatan per kapita kita sudah naik. Alasan kedua mungkin pemerintah merasa menjadi pemimpin dzalim karena subsidi bbm kita membengkat 103,3% dari kuota APBN-P 2011 sehingga alokasi dana untuk hal lain menjadi terkurangi. Yang ketiga karena pemerintah ber-filosofi seperti iblis maka dicarilah opsi bagaimana membatasi bbm tetapi tidak membebani rakyat dan mereka tidak berlaku dzolim. Tercetuslah ide agar masyarakat hijrah dari bbm ke gas. Harga gas per liter Rp, 4100 lebih murah dari harga bbm bersubsidi.
Nah, untuk merealisasikan hal tersebut pemerintah menyiapkan dana sebesar Rp 3 triliun untuk “mengimport” alat konversi bbm ke gas yang rencananya dibagikan kepada angkutan umum secara gratis. Okey, karena kita bangsa yang besar tidak masalah kita “shodaqoh” pada negara lain karena-toh kita sudah naik peringkat secara pendapatan per kapita. Sampai disitu kecintaan pemerintah kepada rakyat-nya ternyata tidak. Karena pemerintah kita mempunyai filosofi iblis, ada beberapa elemen yang termasuk pakarnya seperti menteri ESDM untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut. Yang ditakutkan adalah keribetan atau pelaksanaan teknis di lapangan dalam menggunakan alat converter kit tersebut belum lagi SPBG (stasiun pengisian bahan bakar gas) yang belum ada. Bahkan ada perhitungan bahwa saat program tersebut diterapkan pada tanggal 1 April diperediksikan terjadi kelangkaan BBM subsidi di SPBU. Ah, tapi rakyat Indonesia adalah rakyat yang acuh tak acuh terhadap dirinya sendiri. Rakyat Indonesia adalah rakyat yang ahli krisis, sehingga krisis apa-pun selalu bisa dilawan oleh rakyat Indonesia. Coba kalau masyarakat luar negeri atau katakana-lah rakyat Nigeria misalnya, pasti terheran-heran dan bertanya rakyat anda kok kuat? dengan penderitaan seperti ini. Rakyat kami harga bbm kami naikkan dua kali lipat saja langsung mengadakan gerakan people power turun ke jalan. Disini kok tidak? bahkan dengan akibat ikutan yang hampir tidak jauh berbeda dengan Nigeria.
Kedua Masalah Renovasi Ruangan Banggar
Okey, kita tinggalkan masalah bbm dan segala keruwetannya. Mari masuk pada renovasi ruangan DPR. Sebenarnya rakyat Indonesia tidak ada masalah jika ruangan banggar itu direnovasi. Karena akan menjadi masalah jika kinerja wakil-wakil rakyat terganggu hanya karena masalah sepele ini. Karena rasa cinta rakyat Indonesia yang begitu besar terhadap wakil-wakilnya sehingga rakyat mengijinkan untuk merenovasi ruangan banggar tersebut. Namun karena filosofi iblis yang dipakai, sehingga wakil-wakilnya ini memintah rasa cinta rakyat Indonesia terlalu besar sehingga bisa dikatakan kebacut. Namun karena rakyat Indonesia maha pemaaf dan memahami dialektika sosial-politik sehingga hal diatas hanya dianggap sebagai sarana menempa diri untuk menjadi pemimpin dunia. Jangankan masalah banggar yang kalaupun jadi dibangun dengan anggaran sebegitu besarnya tidak akan berdampak langsung terhadap kehidupan mereka. Masalah yang berdampak langsung terhadap kehidupan mereka saja, rakyat Indonesia ini acuh tak acuh-kok. Namun yang sangat disayangkan mengapa wakil rakyat malu untuk mengakui kiriman cinta rakyat-nya? Bahkan cenderung menolak dan sengaja melempar bingkisan cinta tersebut, dari ketua DPR dan BURT ke sekjen DPR ke ketua Banggar sampai bullet seperti benang kusut
Didalam dialektika teologi beserta kebudayaan, kondisi-kondisi diatas tentu sangat disenangi oleh rakyat Indonesia. Ini berarti hasil cinta rakyat Indonesia mengantarkan mereka lebih dekat ke pintu surga. Karena dalam teologi-kebudayaan surga, orang yang tertindas adalah yang paling dekat dengan surga. Itulah mengapa saya sangat bersyukur hidup di Indonesia. Maka dalam sanubari saya diam-diam berkata “ah wakil rakyat” penolakan cintamu semoga tidak menjadikan Indonesia ini mendapatkan sebuah bayangan semu utopia kesejahteraan. Dan semoga kita dapat dipertemukan didalam Surga.

SUPPORT PT INKA SEKARANG ATAU HANCUR

Indonesia merupakan negara yang amat kaya raya, bahkan menjadi mitos yang tidak ada habisnya untuk dikutip. Namun selama ini, kekayaan tersebut hanya menjadi beban karena sulitnya mengubah kekayaan yang bersifat pasif, menjadi sebuah modal kekayaan yang bersifat aktif sehingga diperlukan adanya revolusi yang bersifat masif. Ekonom Amerika Henry George mengatakan bahwa revolusi kekayaan hanya bisa dibuat ketika kekayaan tersebut ditransformasikan menjadi sebuah modal dengan segala sistem produksi-nya. Karena itu, kunci untuk gerakan perubahan ini adalah kinerja manusia. Maka tepat-lah bahwa manusia hidup harus kerja, kerja dan kerja.
Hasil kerja tersebut saat ini nampaknya mulai muncul sinar kemilaunya. Salah satu sinar kemilau dari hasil kerja tersebut adalah terciptanya program Mendikbud dalam mengembangkan perakitan mobil yang dirakit oleh anak SMK. Seperti hal-nya sebuah iklan yang membutuhkan endoser untuk memasarkannya. Hasil perakitan mobil yang diberi nama Esemka ini beruntung mempunyai endoser bereputasi bagus, yaitu Jokowi wali kota Solo. Yang lebih membuat sinar kemilau keberhasilan dari etos kerja, kerja dan kerja adalah mulai bangkitnya PT INKA. Seperti yang dikatakan oleh Dahlan Iskan (Jawa pos,16-01-2012) bahwa PT INKA saat ini mulai melangkah dengan pasti walau masih dalam tahap membangun kembali reputasi bisnisnya yang hancur pada tahun 1998.
Remah-remah Sejarah
Tulisan dari Dahlan Iskan membuat saya menegok ke belakang melihat sejarah BUMN. Cikal bakal BUMN adalah adaya periodesasi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada tahun 1957 yanng kemudian di buat aturan legal melalui peraturan pemerintah (Pp) tahun 1960. Namun yang sangat disayangkan gerak laju yang positif tersebut tidak diimbangi dengan dipersiapkannya Nahkoda-nahkoda handal beserta Abk yang handal untuk mengendarai BUMN-BUMN tersebut. Akibatnya seperti yang sering kita dengar BUMN-BUMN tersebut sebagian besar mengalami kerugian tak terkecuali PT INKA.
Gagasan awal mendirikan PT INKA adalah untuk mendukung pembangunan infrastruktur serta memperlancar mobilitas masyarakat. Atas dasar tersebut sekitar tahun 1981 PT INKA lahir untuk menjawab tantangan tersebut. Apa lagi pada saat itu Pemerintah sedang giat-giat-nya menggalakkan pembangunan ekonomi di segala bidang. Maka tentu posisi PT INKA sangat strategis dalam mendukung pembangunan perekonomian bangsa. Dalam perjalan sejarahnya, produk PT INKA sudah diakui oleh dunia Internasional. Namun pada tahun 1996 Bank Dunia mencetuskan Proyek Efisiensi Perkeretaapian (PEP) sehingga menghilangkan kekuatan produksi PT INKA apa lagi ditambah dengan badai krisis ekonomi 1998. PEP mensyaratkan penggunaan sarana dan prasarana perkeretaapian dari negara-negara kreditor utama Bank Dunia. Syarat ini meliputi penggunaan gerbong dari Jepang dan Jerman, sistem persinyalan dari Belanda, dan jembatan dari Australia. Inilah yang tertinggal dari remah-remah sejarah perkerata Apian kita.
Bunuh Diri dan Melahirkan Diri Yang Baru
Tepat kiranya jika Dahlan Iskan memberikan masukan bahwa PT INKA yang baru keluar rumah sakit akibat kebijakan “bunuh diri” PEP perlu melahirkan diri yang baru yang fokus terhadap core business-nya yaitu membuat kereta api. Dengan diri yang baru ini, PT INKA diharapkan mampu memberikan solusi-solusi cerdas dalam menyelesaikan keruwetan kondisi infrastruktur di Indonesia. Sehingga sektor rill dapat bergerak lebih cepat dan perputaran uang seperti yang diformulasikan oleh Irving Fisher juga ikut berputar lebih cepat.
Dalam kacamata ilmu ekonomi, setiap investasi di sektor riil memiliki efek ganda (multiplier effect). Melalui ketersediaan sarana perkeretaapian yang diproduksi oleh PT. INKA, mampu menimbulkan efek ganda bagi kegiatan produksi ekonomi nasional. Sehingga hasil produk PT INKA mampu mendrive perputaran ekonomi Nasional. Selain itu dengan menjatuhkan pilihan memproduksi sarana perkeretaapian di dalam negeri, dapat menyediakan lapangan kerja yang besar dan menggerakkan perekonomian secara riil. Ini merupakan dampak ikutan dari penyediaan komponen sarana perkeretaapian, mulai dari komponen-komponen teknis sampai komponen interior kereta yang tidak seluruhnya bisa ditangani oleh PT. INKA, dapat disub-kontrakkan kepada koperasi dan usaha kecil-menengah di Indonesia. Dengan sendirinya, pilihan untuk tidak memakai produk sarana perkeretaapian dalam negeri menghilangkan peluang efek ganda bagi pengembangan perekonomian nasional. Serta jangan sampai kita mengulangi kebodohan kita di tahun 1996.

03/01/12

EKONOMI MAZHAB NASIONALISME

Setiap kali mendengar pertanyaan perekonomian kita bagus yang didasari data BPS serta Bank Indonesia pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1% (2010) laju inflasi sebesar 7,0 (2010) serta arus investasi masuk sebesar US$ 13,304 Miliar (2010) tapi mengapa bangsa ini tidak maju-maju? Saya sebagai mahasiswa ilmu ekonomi selalu terteror. Rasa terteror tersebut semakin meningkat mana kala pertanyaan tersebut selalu dilontarkan dari tahun ke tahun, dari seminar ke seminar bahkan terakhir dari seorang sahabat saya. Setelah saya buka beberapa literatur lama dan coba untuk mencocok-cocok-kan jawaban atas pertanyaan tersebut maka tidak ada kalimat pembuka yang pas selain kalimat pembuka dari almarhum Ernest Gallner, satu dari seorang ahli yang mendalami teorisasi nasionalisme:
“Nasionalisme merupakan sebuah gejala ajaib dimana tidak sepenuhnya jelas penyebabnya mengapa gejala ini terjadi. Mengapa manusia lama yang terikat pada sarang sempit primordialnya diganti bukan oleh ajaran filsafat pencerahan tentang manusia universal, melainkan oleh manusia khusus yang lolos dari ikatan lamanya, dan kemudian menghidupi mobilitas dalam batas-batas yang kini ditetapkan secara formal, yaitu sebuah kultur dalam lingkup negara-bangsa”.
Mengapa kalimat tersebut saya pilih sebagai pembuka? karena saya yakin seyakin-yakinnya bahwa nasionalisme merupakan akar dari sebuah ekonomi suatu bangsa (hal senada juga disampaikan oleh ekonom Joan Robinson). Membicarakan masalah ekonomi yang umumnya dipahami sebagai urusan meningkatnya pertumbuhan, memainkan tingkat suku-bunga, kemudahan keluar-masuk investor atau juga ketakutan akan penurunan indeks saham, ekonomi mazhab nasionalisme pasti merasa asing dengan sebutan diatas. Apa lagi ditambah data kenaikan penjualan mobil yang berkisar antara 400-600 unit/hari menambah sederetan keterasingan jika bicara tentang ekonomi mazhab nasionalisme. Rasa asing terebut berubah menjadi sebuah hambatan yang akhirnya menjadi sebuah apriori untuk memelajari ekonomi mazhab nasionalisme. Dan ketika kita memperbincangkan ekonomi mazhab nasionalisme dibenturkan dengan masalah globalisasi atau masyarakat ekonomi Asean 2015 tentunya akhirnya turun ke pertanyaan kemungkinan dan ketidakmungkinan, sehingga menimbulkan berlapis-lapis kesulitan adalah satu kepastian.
Komunitas Konsumen
Kapital, tenaga kerja dan teknologi didalam ilmu ekonomi disebut fungsi produksi cobb-douglass yang menjadi alat analisis popular dalam studi serta penelitian ekonomi. Kaitan ketiganya bersifat intrinsik, dalam arti hanya dengan kaitan mutual ketiganya proses produksi terjadi. Pola itu berlaku pula untuk berbagai barang/jasa yang kita konsumsi. Selanjutnya barang dan jasa ditawarkan kepada pasar untuk kemudian produsen mendapatkan imbal hasil berupa laba. Barang dan jasa yang telah dilempar ke pasaran tidak otomatis laku seperti yang dikatakan oleh Hukum Say “production creates its own demand”.
Namun pemikiran tersebut hendaknya perlu direvisi ulang. Perkembangan pasar dunia modern telah menciptakan berbagai derivative iklan yang ditawarkan. Sehingga hukum say yang ditolak dan dianggap tidak relevan kini mulai sedikit menemukan sebuah kerelevanan di jaman modern. Beberapa tahun yang lalu tepatnya pada tahun 2003, Harry B Priono pernah menulis sebuah opini di harian kompas yang menceritakan bahwa permintaan tidaklah bersifat alami. Permintaan dapat dibuat dengan menggunakan kecanggian sebuah iklan dengan sasaran mempengaruhi tiga insting manusia yaitu: nafsu kepemilikan, sifat privilese dan memainkan daya tarik romantisme-sensualitas. Sama seperti sebuah negara yang tidak serta muncul menjadi negara akibat mekanisme pasar tetapi hal tersebut tercipta dari sebuah kesengajaan.
Sepanjang sejarah perekonomian modern Indonesia jarang sekali mengalami underconsumption selalu terjadi overconsumption. Sebagai contoh, data historis dari BPS antara tahun 2007-2009 konsumsi masyarakat Indonesia mengalami peningkatan berturut dari 5% , 5,3% dan 4,9% atas dasar harga konstan 2000. Maka benarlah statemen wakil Menteri Keuangan dan wakil Menteri Perdagangan bahwa konsumsi domestik yang tinggi merupakan penopang perekonomian dalam negeri. Namun dari data makro yang dipaparkan, kita tidak tahu apakah konsumsi masyarakat yang tinggi merupakan bagian dari normal consumption atau merupakan Konsumerisme? Normal consumption merupakan pembelian barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan sedangkan konsumerisme merupakan sikap yang bermewah-mewahan atau berlebih-lebihan bahkan masuk menjadi sebuah ideology baru emo ergo sum (saya shoping maka saya ada). Nah, sifat konsumerisme inilah yang dibidik oleh perancang iklan dan perusahaan-perusahaan dari Jepang, Cina dan India atau singkatnya multinational corporation (MNC).
Premis Ekonomi Mazhab Nasionalisme
Jantung pemikiran ekonomi mazhab nasionalisme adalah ekonomi pertama-tama merupakan sebuah urusan matan pencaharian (livelihood). Mata pencarian adalah sebuah usaha (effort) untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mungkin ini terdengar sederhana namun sering kita lupakan. Salah satu sebabnya adalah mengartikan sebuah ekonomi dengan mekanisme pasar. Hal tersebut bukan berarti mekanisme pasar tidak berguna bagi ekonomi, tetapi mengartikan ekonomi sama dengan mekanisme pasar adalah sebuah kesesatan yang sangat sesat. Lantaran diartikan sebagai mekanisme pasar, ekonomi tidal lagi diartikan berurusan dengan mata pencarian tetapi pada sebuah akumulasi (value added). Itulah mengapa istilah ekonomi selalu dikaitkan dengan bisnis sehingga terbentuk mainframe bagaimana mengubah 5 miliar, menjadi 100 miliar kemudian menjadi 1500 miliar dengan atau tanpa mempedulikan tumbuh atau tidaknya mata pencarian.
Salah satu contoh nyata dapat kita lihat pada buku saku dari A. Prasetyanko, bahwa hari ini urusan pangan telah berubah dari urusan moral-ekonomi menjadi sebuah bisnis murni. Hari ini petani lebih senang untuk menanam jagung, kelapa sawit karena mempunyai prospek lebih menguntungkan dari pada menanam padi. Maka tidak-lah kita tergaket-kaget bahwa kita selalu import meskipun ada juga unsur kesengajaan diluar itu. Persoalan menjadi semakin rumit apa bila yang dimaksud petani di buku tersebut bukan-lah petani secara orang per-orang, tetapi industri pertanian yang amat besar seperti: Monsanto, DuPont, Dow Agriscinces dan Syngenta. Maka tidaklah mengherankan untuk dapat melayani dan menjaga akumulasi tersebut tetap ada, maka diterbitkan sebuah wacana-wacana didalam media-media untuk tetap memelihara kelupaan kita tentang urusan mata pencarian tersebut.
Sungguh sebuah ilusi jika kesesatan tersebut merubah Negara ini menjadi lebih baik. Dalam konteks tersebut, ilusi juga bermetamorfosis menjadi sebuah ambisi. Seluruh ambisi tersebut tertuang dalam format rencana jangka panjang pembangunan nasional 2011-2025 yang satu dan lain hal kita sekali lagi terjebak dengan dongeng dari wacana-wacana lembaga luar negeri. Bahkan ilusi tersebut semakin menjadi dengan timbulnya wacana bahwa jika mayoritas negara kita berhasil memperoleh skor Toefl sebesar 600 maka akan menjadi sebuah negara maju. Ilusi tersebut akan dengan sendirinya memudar jika kita bandingkan persentase kemampuan berbahasa Inggris orang Cina, Korsel, Rusia bahkan Jepang.
Dibalik ilusi tersebut pemikiran mazhab nasionalisme bekerja berdasarkan gagasan anti-naturalistik yang berjalan diantara ketegangan abadi antara kehendak bebas individualitas dan keterjeratan sosialitas. Ketegangan tersebut jangan serta merta dicabut dari akarnya yang tentu akan menciptakan sebuah ilusi baru. Dalam kondisi saat ini, mungkin visi ekonomi mazhab nasionalisme terlalu menyilaukan. Namun, ijinkan saya untuk menurunkan sinar kemilaunya hanya pada tingkatan seandainya jika tulisan ini mampu menyentuh hati dan pikiran saja pada para pembaca merupakan sebuah mukjizat besar. Selebihnya, apa kita terlalu kerdil dengan pemikiran ekonomi mazhab nasionalisme atau Ekonomi mazhab nasionalisme terlalu besar bagi kita.