18/07/12

PERLUKAH INDONESIA MENGHUTANGI IMF ? (SEBUAH ANALISA EKONOMI-POLITIK)

Pertama kali saya mendengar Rencana President Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan dana bantuan sebesar US$ 1 Miliar atau kurang lebih Rp.9,475 Triliun kepada IMF yang diambil dari cadangan devisa kita sebagai bentuk komitmen Indonesia sebagai bagian kelompok G20 untuk membantu menyeimbangkan neraca keuangan negara-negara di Eropa, pikiran saya langsung melayang pada sebuah problematik ingatan masa lalu. Atas problematik tersebut maka hampir dapat dipastikan pikiran kita langsung melayang pada memori krisis ekonomi tahun 1998 dimana IMF dianggap sebagai “kambing hitam” yang menyebabkan kondisi perekonomian kita semakin memburuk. Beberapa ingatan kita yang lain memperlihatkan bahwa jumlah hutang kita hingga saat ini mencapai Rp. 2100 Triliun, dengan perincian Rp. 700 Triliun merupakan utang luar negeri dan Rp. 1400 Triliun merupakan utang dalam negeri. Dimana sekitar 30% surat utang dalam negeri dikuasai oleh investor asing.

Hal pertama lebih terkait dengan masalah politik dan hal kedua lebih condong ke masalah trauma “Ekonomi-politik” dengan menambahkan kata ekonomi. Hal pertama mengandaikan bahwa IMF merupakan vampire penghisap darah perekonomian Indonesia, sehingga saat IMF membutuhkan supply darah kita tidak perlu memberikannya karena-toh pada tahun 1997/1998 darah kita telah dihisap habis oleh mereka. Hal kedua, istilah “hutang” lebih merupakan “trauma” bangsa Indonesia terhadap rezim Orde Baru dikarenakan kebijakan perekonomiannya dianggap membohongi masyarakat Indonesia dengan menggunakan istilah “anggaran berimbang” padahal faktanya terjadi defisit. Secara teoritis hutang merupakan salah satu bentuk capital untuk digunakan dalam memutar proyek-proyek pembangunan agar lebih produktif yang akan membawa pada kebaikan bersama (common good). Namun dalam prakteknya, kebijakan berhutang yang dilakukan hanya mengekspresikan kepentingan suatu kelompok dan tidak mencakup kebaikan bersama (common good). Sketsa kecil ini membangun sebuah argumentasi bahwa kebijakan Presiden SBY dalam memberikan hutang merupakan sebuah langkah positif ditengah sekian langkah negatif selama ini. Ada dua alasan yang mendasari sketsa kecil ini mengapa hal tersebut merupakan langkah positif dan kedua alasan tersebut berada pada sasaran jangka panjang sehingga membuka peluang untuk terjadinya perdebatan.

Membangun Ekonomi

Alasan mendasar mengapa setiap negara melakukan “hutang” adalah untuk melakukan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi mempunyai fungsi sebagai penjabaran dari proses transformasi berupa pemecahan (breakthrough) dari keadaan ekonomi yang terhenti (stagnan) kesuatu pertumbuhan kumulatif yang bersifat terus menerus guna menuju kebaikan bersama (common goods). Dalam proses membangun tersebut, berlaku hukum ekonomi. Hukum ekonomi secara sederhana menggambarkan, bahwa hal yang mempengaruh kecepatan pertumbuhan perekonomian suatu Negara ditentukan oleh seberapa cepat pertambahan produksi barang dan jasa yang dihasilkan. Artinya; jika setiap periode terjadi perubahan pertambahan produksi barang dan jasa pada suatu Negara secara berkelanjutan maka dapat dikatakan perekonomian Negara tersebut secara rill bagus. Untuk mencapai hal tersebut, fungsi utama pendorong percepatan pertumbuhan barang dan jasa adalah fungsi investasi.

Perubahan investasi yang dilakukan sekarang, baik tinggi maupun rendah akan berimplikasi pada pertambahan produksi barang dan jasa. Setelah barang dan jasa pada suatu negara diproduksi tentu diperlukan sebuah pasar untuk menampung barang dan jasa tersebut. Secara garis besar, pasar yang ada didunia hanya ada dua yaitu pasar dalam negeri dan pasar luar negeri. Atas pijakannya inilah kita memasuki argumentasi yang pertama. Pertama selama dekade tahun 1900 sampai sekitar 1980-an terjadi pergeseran bekerjanya lingkup ekonomi dari rumah-tangga individual menuju rumah tangga masyarakat. Siapa yang bertanggung jawab atas keterlaksanaan dan keberhasilan kinerja ekonomi-politik? Tanggung jawab tersebut tidak lagi berada di pundak kepala keluarga, namun bergeser kepada para pemangku kebijakan dalam sebuah Negara (aspek politik). Sekitar tahun 1980-an sampai sekarang terjadi sebuah pergeseran dari lokus kinerja ekonomi suatu Negara ke ekonomi global. Artinya, perencanaan pembangunan ekonomi di suatu Negara harus melibatkan lebih dalam faktor-faktor eksternal didalam kondisi perekonomian global. Hal inilah yang mungkin menjadi alasan pertama ada dibenak pemikiran Pak SBY beserta seluruh staf-nya.

Riding To The Wave

Sama dengan kebaikan dan kejahatan yang merupakan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Pemberian pinjaman kita kepada IMF bisa kita pandang positif atau negatif tergantung dari caranya memandang. Namun dalam ilmu ekonomi yang saya pelajari, bahwa seusuatu kegiatan entah itu dilakukan oleh individu atau negara selalu menghasilkan sebuah keuntungan dari setiap kesempatan (opportunity gain). Data menunjukkan selama beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa negara-negara eropa mengalami fluktuasi dalam neraca pembayarannya yang saat ini malah semakin menjadi parah.

Namun disisi lain cadangan devisa kita yang berjumlah US$ 111,52 miliar atau setara dengan Rp. 1056,652 Triliun masih belum produktif. Jumlah bantuan kita pada IMF sebesar US$ 1 miliar tentu tidak akan mengganggu stabilitas perekonomian kita secara significan. Dimana peluang yang bisa dipakai oleh Indonesia? Sama dengan moto hidup Provinsi Jawa timur Jer Basuki Mawa Bea (Jika ingin memancing ikan besar, maka siapkan umpan yang bagus). Tentunya dengan kita mengulurkan tangan kepada saudara-saudara kita di Eropa kita sudah menyiapkan sebuah umpan yang bagus. Atau saya lebih suka menggunakan istilah bahwa kita sedang menyimpan ”deposito” kepada IMF. Namun tentu saja umpan yang bagus tersebut akan menjadi percuma, jika kita lupa mempersiapkan strategi lanjutannya seperti kualitas dan kuantitas barang serta jasa yang dihasilkan oleh Industri kita. Maka lokus perdebatan yang saya ajukan untuk mengakhiri sketsa kecil ini bukan terletak pada apakah kita setuju atau tidak setuju pada pemberian hutang? tetapi lebih pada cara terbaik seperti apakah yang harus kita siapkan untuk menaiki gelombang peluang yang datang. Karena gelombang ekonomi masa depan dunia berpusat pada benua Asia namun juga tidak bisa meninggalkan benua Eropa dan Amerika sebagai partner bisnisnya.

Lalu apa langkah konkrit yang dapat kita lakukan untuk mendukung kebijakan tersebut ? Pertama, mengerahkan seluruh sumber daya dan upaya yang ada untuk membentuk koordinasi strategis antar badan pemerintah. Langkah tersebut bukan masalah teknis melainkan menyangkut kemampuan kita dalam berdiplomasi sehingga dapat menerebos pasar-pasar di Eropa. Kedua, yaitu memantapkan strategi dan merampungkan PR besar tentang tegangan-tegangan yang terjadi antara program master plan ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). Tentu diatas itu semua, sebagaimana sketsa kecil ini berangkat dari maksud baik yang merupakan syarat mutlak harus dimiliki oleh para pengambil kebijakan; Tanpa itu semua kepadanya tidak bisa diharapkan terobosan visi dan kreativitas strategi dalam menaiki gelombang peluang yang datang.

Bagaimana Pendapat Anda ?