19/10/11

MEMBANGUN INDONESIA 2050

Tulisan buya Maarif di harian kompas (17/10/11) tentu patut menjadi sebuah perenungan bersama bagi kita yang masih berfikir jangka panjang untuk Indonesia. Didalam tulisan beliau, buya menyampaikan kekuatirannya akan ancamannya over population yang akan dialami Indonesia. Kekuatiran utama bukan karena pada tahun 2050 jumlah penduduk kita menjadi terbesar ketiga didunia, tetapi lebih pada kekuatiran menurunnya crayingg capacity dari alam Indonesia untuk mensuplai kebutuhan makanan. Gambaran suram tersebut kian diperkuat dengan ketimpangan ekonomi yang terjadi pada beberapa daerah di Indonesia. Perekonomian Indonesia hanya dibagi menjadi dua, yaitu jawa dan luar jawa. Gerak perekonomian jawa menyumbang sekitar 62% dari total GDP di Indonesia, sedangkan sisanya sebesar 38% disumbang oleh wilayah di luar jawa. Wilayah luar jawa tersebut terdiri dari Sumatera menyumbang sekitar 23%, Kalimantan menyumbang sekitar 8-9%, Sulawesi menyumbang sekitar 4%, Papua menyumbang sekitar 1%, Maluku menyumbang sekitar 0,25% dan Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara menyumbang sekitar 1% dari total GDP nasional. Ketimpangan ekonomi antar jawa dan luar jawa baru merupakan sebuah permasalahan internal, belum lagi kita bicara masalah eksternal yang bersiap mengancam eksistensi Indonesia.
Kritik Terhadap Dualisme
Sudah lama kita tinggalkan sebuah paham sentralisasi pembangunan, atau dalam sebuah pengambilan kebijakan disebut top-down. Berganti menjadi paham desentralisasi atau yang disebut kebijakan bottom-up. Berakhirnya era sentralisasi menyebabkan sebagian besar orang menganggap bahwa desentralisasi merupakan pilihan terbaik, atau sama halnya ketika kita memandang bahwa paham liberalisme merupakan pilihan terbaik dari pada paham sosialisme. Secara teoritis kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan, output dari kebijakan sentralisasi dan desentralisasi tidak akan pernah lepas dari yang namanya strukturalisme. Karena pusat tidak mungkin ada tanpa pinggir dan pinggir tidak mungkin ada tanpa pusat. Jika pusat terlalu kuat maka pusat akan menjadikan pinggir sebagai daerah eksploitasi. Begitu juga sebalikknya jika pinggir terlalu kuat maka pusat hanya terlihat sebagai budak. Dan hari ini real politik Negara kita memperlihatkan bahwa pinggir lebih kuat dari pada pusat, sehingga untuk menetapkan sebuah kebijakan, pusat terkesan ragu dan lambat.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah: mana yang lebih baik antara kebijakan sentralisasi ataukah desentralisasi? Disinilah timbul masalah yang selalu dibicarakan setiap orang, yaitu bagaimana mencapai keseimbangan pusat dan daerah atau sama dengan bagaimana mencari keseimbangan pasar dan negara. Hal tersebut bisa kita jawab jika kita mengetahui apa akar dari dualisme antara sentralisasi dan desentralisasi. Menurut Gidden, terletak pada cara pandang kita dalam melihat posisi objek, apakah sentralisasi ataukah desentralisasi? Hal tersebut bisa dijembatani lewat titik temu diantara keduanya. Titik temu tersebut diimplementasikan kedalam praktik sosial yang berulang dan berpola. Praktik sosial tersebut bisa berupa terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme maupun sebuah persepsi umum bahwa mahasiswa yang pandai adalah mahasiswa yang mempunyai nilai IPK diatas 3,00 lebih-lebih menyandang gelar cum laude. Inilah akar permasalahan mengapa kebijakan yang dipilih baik sentralisasi maupun desentralisasi hampir selalu menimbulkan permasalahan yang sama yaitu: meningkatnya kemiskinan disuatu daerah dan disisi lain meningkatnya kesejahteraan ekonomi pada daerah yang lain. Inilah mungkin yang akan ditakutkan oleh buya Safii Maarif tentang gambaran suram Indonesia 2050.
Ancaman Middle Income Trap
Kita bergeser dari dualisme strukturisasi kebijakan pembangunan dalam negeri untuk sedikit menengok kondisi perekonomian di luar Indonesia. Dalam world economic forum yang diselenggarakan oleh Indonesia kemarin, Asian Development Bank (ADB) memberikan prediksi bahwa: Indonesia, Cina, India, Jepang, Korsel, Malaysia dan Thailand akan memimpin perekonomian global di tahun 2050. Estimasi dari ADB menunjukkan bahwa pada tahun 2050, jumlah populasi di 7 negara tersebut akan turun, sedangkan PDB akan meningkat hingga 90%. Lebih dalam lagi, data investasi asing langsung ke Indonesia pada tahun 2010 mencapai titik tertinggi jika dibanding tiga tahun sebelumnya yaitu sebesar 13,304(US$ mill) atau terbesar kedua dibanding Singapura untuk tahun yang sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih mempunyai prospek ekonomi yang positif secara makro untuk beberapa tahun ke depan.
Fakta-fakta yang menggembirakan tersebut bukan tanpa resiko. Resiko yang paling tampak membayangi adalah Indonesia terancam terjangkat penyakit yang disebut middle income trap. Middle income trap adalah sebuah situasi dimana suatu negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang tinggi ditunjang dengan peningkatan aliran investasi yang masuk sehingga meningkatkan predikat sebuah negara yang semula low income menjadi negara middle income, namun setelah itu negara tersebut tidak mampu bertransformasi menjadi negara dengan pendapatan tinggi. Negara-negara yang gagal melewati middle income trap adalah negara-negara di Amerika latin, sedangkan negara yang berhasil melewatinya adalah Jepang dan Korsel. Gambaran positif selanjutnya bila Indonesia bisa melewati middle income trap, diprediksi Indonesia akan menjadi pusat perekonomian di Asia. Faktor utama yang menentukan keberhasilan tersebut adalah tingkat modal intelektual yang ada pada negara tersebut, selain kemauan dari institusi negara dan politik untuk mendukung kebijakan fight to middle income trap.
Penutup
Gambaran suram yang dikemukakan oleh buya Maarif mungkin akan menjadi kenyataan pada 2050 nanti bila kondisi real sosial-politik masih dipenuhi oleh dualisme. Ancaman terjadinya middle income trap menambah suramnya masa depan Indonesia. Apakah sudah tidak ada harapan? Harapan tersebut masih ada, jika dan hanya jika praktik sosial dan ekonomi masyarakat mengalami sebuah perubahan. Tentu saja sebuah perubahan perilaku sosial dan ekonomi tidak dapt muncul dengan sendirinya jika ingin menggapai kesejahteraan bersama, harus melewati sebuah mekanisme institusi yang berperan untuk mengarahkan gerak perubahan tersebut. Institusi yang dimaksud adalah institusi pendidikan, namun apa bila institusi pendidikanmasih terjebak dalam paradigma dualisme mungkin gambaran suram yang diramalkan buya Maarif akan benar-benar terwujud.. Namun jika institusi pendidikan dapat mengubah pola pendidikannya, maka kita dapat berharap 2050 Indonesia akan menjadi sebuah negara yang tangguh dan ramalan buya Maarif bisa kita harapkan tidak terjadi.