21/11/09

BERLAGAK MENJADI AHLI DALAM MENGANALISA RENCANA PEMBANGUNAN JEMBATAN SELAT SUNDA

Masih sangat segar dalam ingatan kita pembangunan jembatan Suramadu, yang menelan biaya sebesar ± 100 Triliun, dengan jangka waktu pembangunan 5 tahun. Sekarang pemerintah mempunyai rencana gawe yang setara dengan pembangunan jembatan suramadu, yaitu pembuatan jembatan selat Sunda yang dananya kurang lebih juga 100 Triliun. Proyek pembangunan jembatan ini dengan perkiraan dana investasi sebesar yang saya sebutkan diatas, akan mulai ditawarkan oleh pemerintah melalui buku Private Public Partnership( Proyek yang dimiliki oleh pemerintah dan swasta) dan berarti masuk dalam kerangka kerja sama antara pemerintah dan swasta.
Hal ini seperti diungkapkan oleh seketarias kementrian Negara perencanaan pembangunan Nasional/Bappenas Syahrial Loetan. Buku PPP( Private Public Partnership) yang merupakan paduan investor untuk memilih proyek infrastruktur mana yang menjadi prioritas. Dalam hal ini pemerintah menawarkan 87 proyek senilai $ 34,139 miliar atau setara dengan 375,529. Wow sebuah angka yang sengat fantastis ditengah kekacauan financial republik tercinta ini.
Kepala Unit Kerja President Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto menegaskan Menteri Pekerjaan Umum diwajibkan menyiapkan surat keputusan mengenai penunjukan Tim Nasional yang merupakan gabungan dari orang-orang di Jawa dan Sumatera dalam menyiapkan proyek ini. Selain Pembangunan jembatan Selat Sunda, pemerintah juga mempunyai Alternatif lain yaitu, pembanguanan Terowongan bawah laut atau atas laut, seperti yang dilakukan Prancis dan Inggris. Jika opsi kedua imi yang dipilih maka perkiraan dana dan umur pakai proyek adalah 49 triliun dan sekitar 20 tahun masa pemakaian.
Data direktorat Bina Teknik, Ditjen Bina Marga Departemen PU, menunjukkan tahun 2050 akan ada lalu lintas yang tidak tertampung sebanyak 57.600 kendaraan per hari jika Sumatera-jawa masih tergantung feri, maka akan terjadi sebuah kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas yang semakinparah. Hal ini dikarenakan kapasitas Feri sekarang hanya 18.000 kendaraan per hari(Kompas,10-11-2009). Wah, hal ini sangat menarik untuk kita diskusikan bersama, sebagai bahan obrolan yang menyenangkan untuk mengisi waktu senggang. Mari kita mulai acara Ngedobosnya, ojok lali ngombene ambek camilane.

Dalam tulisan Ngedobos yang berjudul “ Meningkatkan peranan pertanian Indonesia sebagai sektor primer penggerak perdagangan Indonesia” disitu sudah ngedobos jelaskan bahwa sektor pertanian merupakan sebuah sektor dasar untuk membangun sebuah bangsa yang lebih maju dan lebih besar. Sayangnya di tulisan yang terdahulu ngedobos tidak bisa menampilkan Tabel dan Kurva untuk melengkapi data tulisan ngedobos tentang hal tersebut ( maafkan karena ngedobos baru belajar Ngeblog ). Dalam hal ini ngedobos akan lebih menyoroti tentang sisi kelautannya. Kalau dalam tulisan ngedobos yang berjudul “membangun karekter nasional dengan semangat bahari dan konsep manuggaling kawulo gusti” bahwa semangat bahari merupakan dasar untuk membangun bangsa ini, maka dalam tulisan ini, mari kita agak berpikir lebih dalam mengapa hal tersebut sangat penting.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Negara ini 70% wilayahnya adalah laut, maka itu Indonesia disebut Negara maritime. Tapi mengapa? Indikasi ke-arah penghilangan kaekter asli bangsa ini terus berjalanan. Hal ini diperparah oleh sifat anak-anak muda bangsa ini yang tidak pwduli bahwa kita akan dihancurkan secara pelan-pelan. Nanti kalau sudah terjadi kita akan berbicara “ loh kok jadi begini ya?oh ini gara-gara si A, si B, atau siapa-lah” wah kalau begitu terus maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang sangat bodoh, danlebih bodoh lagi karena menyepelekan sejahrah dan tidak mengetahui jati dirinya sendiri. Lagi-lagi saya jadi teringat dengan tulisan jadul dari Pak Mochtar Buchori yang berjudul “ Adakah Masa Depan untuk Indonesia” disitu beliau bercerita tentang, anak-anak muda bangsa Indonesia yang sangat cerdas dan pintar. Mereka bekerja di dunia pelayanan jasa keuagan di perusahaan internasional, yang merencanakan untuk merangkai kawasan-kawasan seluruh Indonesia melalui sistem jaringan komunikasi dan distribusi, dan membuat Indonesia menjadi suatu mata rantai yang kokoh dalam jaringan dengan dunia usaha di Asia Tenggara.
Yang lebih membuat beliau miris adalah: bisnis apa yang akan mengalir tidak menjadi soal, entah itu minyak, gas, air atau sumber daya alam lain tidak masalah. Yang penting adalah jaringan komunikasi dan distribusi ini terbentuk. Dan kalau bisa jaringan ini dikuasai oleh modal yang diwakili perusahaan tempat mereka bekerja. Apa perusahaan itu bekerja dengan modal CINA, EROPA, USA tidak menjadi masalah. Dan lebih menyedihkan lagi. Anak-anak muda yang sangat cerdas ini tidak memiliki kepedulian untuk bangsa dan negaranya. Apakah Indonesia akan terpuruk atau bangkit keatas tidak menjadi soal, “ They just don’t care”.
Untuk memahami masalah ini, mari kita mulai dulu ke ujung pulau Madura, ada apakah disana? Sebuah kandungan minyak yang sangat besar di ujung pulau Madura tepatnya di Kabupaten Sumenep. Kabupaten bekas kerajaan Madura ini, memiliki sumber daya alam minyak yang sangat potensial dan saat ini sudah mulai direncanakan untuk dibangun. Mari kita bergeser di kabupaten Bangkalan, tanah-tanah di daerah tersebut sudah dibeli oleh pengembang-pengembang besar, pemain bisnis property skala internasional. Meskipun Madura mempunyai tanah yang tandus, tapi disitu memiliki potensi Garam berkualitas yang sangat luar biasa, dan cadangan sumber daya alam yang bak bisa dianggap remeh. Sebuah pangsa pasar yang besar telah menanti di pulau eksotis ini.
Kita bergeser ke kota Surabaya tercinta, sebuah kota maritim, yang telah hilang semangat kemaritimannya. Mari kita lihat ada apa di kota tercinta ini? 1. Jelas sebuah pusat bisnis. 2. Pangkalan armada timur. 3. Pusat pemerintahan Provinsi Jawa Timur. 4. Salah satu barometer pendidikan nasional. 5. Salah satu pusat sejarah yang sangat penting bagi Indonesia.
Sebagai pusat bisnis, para pengusaha pasti ingin melebarkan jaringan usaha-nya. Entah itu mebeli perusahaan lain atau marger. Yang terpenting adalah memperkuat dan meperluas jaringan. Dengan adanya akses jalan Suramadu dan pembangunan MerII-C hal ini sangat memungkinkan untuk terjadi-nya hal diatas. Hal ini sangat menguntungkan perekonomia-an Indonesia, dengan adanya perluasan berarti ada kegiatan ekonomi, ada kegiatan ekonomi berartia ada transaksi ekonomi, ada transaksi berarti ada jual beli dan ujungnya kenaikan pendapatan. Nah disinilah permulaan permasalahannya. Sudah menjadi hal umum jika pemerataan pendapatan ekonomi di Negara ini sangat timpang dan yang lebih penting lagi adalah kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkan akibat kegiatan ekonomi diatas.
Ketimpangan ekonomi di Surabaya sangat terasa jika kita berjalan kaki menyusuri kampung- kampung di daerah sekitar pusat perbelanja-an Surabaya. Bagaimana terjadinya sebuah paradox ekonomi sangat terlihat jelas. Setelah itu kita bergeser di daerah pesisir Surabaya, semakin parah saja paradox itu terjadi. Seperti yang di gambarkan oleh A. Lewis ( tulisan Ngedobos tentang stren kali jagir) Bahwa sektor formal(Industri-perbelanjaan) akan sangat diminati dari pada sektor perikanan/kelautan. Mari kita lihat nasib para nelayan dan para pengusaha feri. Sangat tidak jelas dan jarang ada media yang mau jujur membahas masalah ini. Terlebih lagi masalah pembangunan Suramadu dan Merr-IIC. Hal tersebut semakin memperparah paradigma bangsa lautan, yang telah hilang semangat lautnya.
Bergeser ke-arah pendidikan, sudah sangat jelas jurusan-jurusan yang menyinggung ke-lautan sangat tidak diminati oleh anak muda atau generasi penerus bangsa. Ini akan menjadi masah jangka panjang, bahkan sekarang-pun menjadi masalah, dikarenakan kita akan kekurangan tenaga-tenaga ahli untuk mengelola laut kita. Selain masalah pendidikan, kekuatan laut bangsa ini sudah sangat parah untuk menjaga kedaulatan Negara ini. Bagaimana bisa kita mengejar kapal-kapal asing yang mempunyai kecepetan begitu luar biasa dengan kapal butut kita? Entah sudah berapa kali tulisan-tulisan yang membahas masalah ini, tetapi pemerintah tidak mau peduli, dan sibuk mengurusi pertandingan cicak vs buaya. Inikah yang dinamakan jaman kegelapan(The Dark Age)?
Surabaya yang bertempat di muara sungai dan terkenal dengan kegiatan perdagangan lautnya, baik jaman keraja-an, penjajahan sampai sekarang. Akan-kah itu hilang? Ngedobos kira tidak akan hilang, tetapi hanya dinikmati oleh orang itu-itu saja, sehingga apa yang terjadi? Sebuah negeri penjahat dan kerajaan kegelapan yang berkuasa. Dan pembangunan Jembatan Suramadu memperkokoh hal itu.
Terus apa hubungan-nya dengan pembangunan jembatan selat sunda? Hubungan-nya? Sebentar-sebentar coba saya jawab-ya. Kalau melihat masalah ini, kita harus melihat secara keseluruhan ada potensi apa saja di daerah Jawa, Sumatera dan Bali(di buka ya petanya). Pertama ada yang namanya blok cepu dan blok bojonegoro, sebuah pusat pertambangan minyak, dan dihubungkan dengan jalur pantura. Hal ini masih disambung dengan blok Sumenep yang juga mempunyai kandungan minyak yang sangat besar. Jelas pembangunan jembatan selat sunda sangat menguntungkan untuk jalur pendistribusian, belum lagi perekonomian-perekonomian yang dilalui-nya, yang nantinya akan berpusat di Jakarta. Komomditas hasil tambang tetap akan memegang peranan dalam permasalahan ini.
Kita lihat di Sumatera ada apa saja di sana? Sangat banyak dan menggiurkan, mulai gas alam sampai batu bara, kelapa sawit semua ada disana. Jika pembangunan jembatan itu jadi dilaksanakan, maka pendistribusian barang-barang diatas akan semakin cepat dan menurunkan biaya. Kita bergeser ke Bali. Loh kenapa di Bali? Bali merupakan tempat pariwisata yang sangat terkenal di dunia intrnasional. Dengan adanya jalur-jalur yang menghubungkan diatas, maka yang akan mempercepat pertumbuhan bisnis pariwisata disana. Apa lagi rencana pembangunan jalan trans jawa, yang akan melewati hutan lindung alas purwo, wow akan semakin hebat lagi Negara ini.
Permasalahannya
Setelah panjang lebar menjelaskan kondisi jaringan-jaringan di Jawa, Sumatera dan Bali. Kita masuki masalah-masalah yang akan timbul. 1. Masalah pertanian, fakta sejarah sudah berbicara bahwa: tidak ada suatu Negara-pun di dunia ini yang maju tanpa didukung oleh sektor pertanian-nya. Sudah jelas Negara Indonesia adalah Negara agraris dan Negara maritime kenapa dua hal ini ditinggalkan? 2. Ketimpangan pembangunan, sudah sangat jelas pembangunan Negara kita miring ke “barat” tetapi kenapa masih diteruskan? Alangkah lebih baik jika dana sebesar 100 trilliun itu digunakan untuk membangun daerah Indonesia timur. Sangat berbahaya-loh jika daerah ini kita tinggalkan. 3. Kerusakan lingkungan, sudah jelas pembangunan jembatan-jembatan itu akan merusak habitat-habitat laut yang ada. Sebelum dibangun jembatan itu sudah rusak, apa lagi dibangun jembatan malah akan merusak habitat-habitat disana. Selin itu sara pendukung jalur penyatuan Sumatera, Jawa dan Bali yang akan melewati kawasan-kawasan konservasi, akan menimbulkan demegage yang besar untuk lingkungan. Kawasan konservasi kok mau dibuat jalan raya? 4. Tergusurnya sektor informal, jika hal ini terjadi maka pengangguran akan menigkat dan akhirnya bangsa kita akan menjadi BABU di negeri sendiri. Sungguh sangat ironis Negara kayak ok penduduknya jadi BABU. 5. Hilangnya semangat BAHARI, jika semangat ini hilang, maka sudah dipastikan Negara ini HANCUR. Betapa tidak, sudah jelas luas wilayah laut lebih besar dan sangat besar dari pada wilayah darat, tapi mengapa ditinggalkan? Bukan-kah rejeki bangsa ini terletak dilautan? Mulai dari hasil tambang, wisata, pertanian, sampai transportasi.
Penutup
Yah, setelah sekian lama kita Ngedobos dan berlagak menjadi seorang ahli. Akhirnya sampai pada sebuah penutup dari tulisan ini. Apakah ini yang dimaksud-kan pembangunan jaringan seperti yang dimaksudkan oleh Pak Mochtar Buchor? Wallhuallam. Kita adalah Negara muslim yang dikarunia-I oleh sumber daya alam yang sangat luar biasa sampai membuat iri Negara-negara di dunia. Tapi mengapa kita selalu salah dalam mengelolanya? Masalah kelautan selalu kita tinggalkan. Kita selalu ingin cara yang praktis, yaitu ingin menikmati kekaya-an tanpa perlu bekerja keras. Pembangunan jembatan-jembatan itu mungkin akan sangat berguna dalam jangka pendek, tapi dalam jangka panjang-nya ya tinggal menghitung hari saja. Cobah-lah kita berhitung dengan metode analisis dan biaya sosial, yang telah saya tulis sebelumnya. Coba kita hitung secara benar-benar, apakah proyek itu layak atau tidak?
Sungguh sangat ironi kalau bangsa yang 70% wilayahnya adalah laut, eh malah meninggalkan lautnya. Ngedobos jadi teringat perkataang Guru Ngedobos, Rasulluah bersabda: Umat Islam harus menguasai 3 hal, yaitu Laut, Pasar dan Masjid , saying ngedobos lupa hadist riwayat siapa. Berpedoman dari hadis diatas. Maka laut merupakan akses yang sangat penting dan sumber Rizki yang sangat luar biasa. Di laut, berbagai macam kebutuhan hidup ada, tinggal kita sendiri yang mau atau tidak untuk mengambilnya. Ngedobos hanya bisa berdoa semoga pembangunan jembatan itu tidak jadi, dan semoga dana sebesar 100 Triliun itu, digunakan untuk mebangun Indonesia bagian timur. Silakan para pembaca berpikir secara bebas, still at freedom mind. Semoga bangsa ini dituntun Gusti Allah menuju ke-arah yang lebih baik. Amin

18/11/09

MEREDUKSI KERUSAKAN LINGKUNGAN DAN PENGEMBANGAN ENERGI DENGAN METODE PENDEKATAN ANALISIS MANFAAT DAN BIAYA EKONOMI DALAM MELAKUKAN KEGIATAN EKONOMI

PENDAHULUAN
Di dalam ilmu ekonomi, sumber daya alam dan lingkungan di pandang sebagai gabungan dari berbagai asset yang menyediakan sumber daya ekonomi. Lingkungan adalah asset yang sangat istimewa dikarenakan, lingkungan merupakan komponen utama dalam sistem kehidupan manusia. Tanpa lingkungan, manusia tidak akan pernah bisa hidup.
Lingkungan menyediakan berbagai sumber daya ekonomi dalam bentuk bahan mentah. Manusia mentransformasikan bahan mentah tadi, sehingga terbentuklah nilai ekonomis dari barang tersebut. Hubungan antara manusia dengan lingkunganpun di kondisikan dengan hukum fisika , hukum termodinamika 2 yang berbunyi: Setiap pemakaian suatu bentuk atau unit energi tidak pernah tercapai efisiensi 100%. Dalam suatu proses tertentu, perubahan satu bentuk energi menjadi energi yang lain selalu menghasilkan sisa yang tidak terpakai pada proses itu. Sisa energi yang tidak terpakai itu disebut ENTROPI.
Berangkat dari hukum termodinamika inilah masalah lingkungan dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi terjadi. Yaitu terjadi entropi atau residu. Dimana saat kegiatan ekonomi dilakukan selalu terbentuklah entropi ini. Entropi ini ada yang bisa langsung diserap oleh alam dan ada yang tidak bisa atau lama terurai. Bentuk entropi/residu yang kedua inilah yang menjadi pokok permasalahan kehidupan manusia sekarang ini.
Hal ini semakin diperparah dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan ekonomi yang sangat tidak menghiraukan kondisi lingkungan sekitar, sehingga menimbulkan residu berupa polusi dan limbah yang sangat berbahaya bagi lingkungan sekitar. Peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah sudah cukup banyak, tapi apa yang terjadi? Kenyataannya peraturan hanya tinggal diatas kertas tanpa implikasi yang nyata, baik dari aparatur pemerintahan maupun dari pelaku ekonomi sendiri.
Ketika perluasan industri mengakibatkan tumbuhnya ekonomi secara pesat, ketenagakerjaan, menaikkan pendapatan dan meningkatkan ekspor, pemusatan limbah industri di kawasan perkotaan memiliki pengaruh yang serius dan melahirkan bahaya terhadap kesehatan dan kehidupan penduduk perkotaan di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, masyarakat miskin perkotaan merupakan yang paling mudah terkena penyakit sebagai akibat/efek dari lingkungan yang berbahaya. Desakan penduduk perkotaan mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian. Lahan terbuka, lahan gambut dan ekologi lainnya serta mengancam kebudayaan dan nilainilai kehidupan masyarakat perkotaan (World Bank, 2003).
Sebenarnya untuk mengerem laju perumbuhan industri, pemerintah sudah membuat Undang-undang untuk membatasi masalah diatas. Yaitu undang-undang UU 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, pembangunan regional yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dapat didefinisikan sebagai “upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, kedalam proses pembangunan kawasan untuk memjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa datang” (Askary,2003).
Selain masalah residu/entropi yang tidak terurarai, masalah penting lain yang menyangkut dalam ekonomi sumber daya alam dan lingkungan, adalah masalah ketersediaan energi. Seperti kita tahu, dalam pasal 33 UUD 1945 pasal 2 dan pasal 3, yang intinya semua hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan di gunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Rakyat yang ditunjuk oleh pasal 33 UUD 1945 adalah seluruh rakyat Indonesia, bukan segelintir rakyat Indonesia. Mari kita lihat implikasi dari pasal 33 diatas, terutama kebijakan pemerintah dalam bidang energy.
Kebijakan energi nasional bertujuan untuk menjamin keamanan pasokanenergi dalam mendukung perekonomian Negara. Sebagai Negara besar yang banya penduduknya, pemerataan penduduk yang diikuti oleh pemerataan kesempatan untuk mendapatkan energi merupakan hal yang sangat utama. Hal tersebut sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah untuk tetap memprioritaskan pemanfaatan energi dalam negeri beserta sumber daya alam yang ada.
Berangkat dari pernyataan diatas, maka pemerintah harus secara cermat, teliti dan bijaksana dalam mengola dan menyalurkan energi kepada rakyat Indonesia. Tapi kenyataan yang kita lihat sekarang? Energi yang diperlukan untuk pembangunan Negara ini, malah dibuat untuk “pembangunan Negara lain”. Masih ingat kasus yang baru-baru ini terjadi, meskipun tidak seheboh kasus “pertarungan antara cicak melawan buaya”, tapi kasus ini sungguh sangat memprihatinkan dan bagi kami kasus ini lebih penting dari pertarungan cicak melawan buaya. Yaitu kasus pemadaman listrik bergilir yang di alamai oleh berbagai daerah di Jawa. Berepa besar kerugian yang didapat masyarakat dengan adanya kebijakan “pemadaman bergilir”? Belum, lagi rencana diliberalkan penjualan bahan bakar, belum lagi pengolahan sumber-sumber energi kita yang semuanya dikuasai asing. Itukah implikasi dari kebijakan pemerataan kesempatan untuk mendapatkan energi?
Mari kita kembali kepada substansi dasar sebenarnya apa tujuan dasar dalam pengolahan sumber daya energi? Tujuan awalnya adalah: memenuhi kebutuhan dalam negeri, memberikan kesempatan kerja di sektor energi dan meningkatkan penghasilan untuk devisa dan melestarikan lingkungan hidup.
Dalam propenas 2001-2005 ditetapkan dalam rangka untuk menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan(sustainable growth), pelaksanaan pembangunan harus didasarkan pada daya dukung sumber daya alam, lingkungan hidup, dan karakter sosial. Konsep pembangunan berkelanjutan terus mengalami perubahan sejak diperkenalkan pada tahun 1970. Pada tahun tujuh puluhan konsep pembangunan berkelanjutan didominasi oleh dimensi ekonomi yang dipicu adanya krisis minyak bumi pada tahun 1973 dan tahun 1979. Harga minyak dunia melambung yang mengakibatkan resesi di negara-negara maju khususnya di negara pengimpor minyak.
Dimensi lingkungan mulai mendapat perhatian pada tahun delapan puluhan. Earth Summit di Rio de Janeiro pada tahun 1992 merupakan titik tolak dipertimbangkannya dimensi sosial dalam pembangunan berkelanjutan. Salah satu hasil penting dalam konferensi ini adalah pembentukan komisi pembangunan berkelanjutan (CSD – Commission on Sustainable Development). Komisi ini telah menghasilkan kesepakatan untuk mengimplementasikan konsep pembangunan berkelanjutan seperti yang tertuang dalam Agenda 21. Kesetaraan akses akan sumber daya bagi semua lapisan sosial dan memberantas kemiskinan juga menjadi agenda penting dalam konferensi ini (Sugiyono,2004).
Pertemuan Earth Summit di Rio de jeneiro terus ditindak lanjuti oleh berbagai Negara-negara didunia. Hingga yang terbaru adalah konfrensi lingkungan di Bali Indonesia, yang menghasilkan keputusan yaitu terbitnya bali roadmap. Memang permasalahan dan kualitas lingkungan dan energi harus diberi perhatian yang lebih besar dan khusus. Untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan(sustainable growth) dalam konteks pembangunan nasional, khususnya dimasa yang akan datang. Sebagaimana kita mengenal istilah Globallisasi, maka kita harus menanamkan dalam mind set kita global environment quality.
Sekarang mari kita sedikit melihat dua perbadaan mendasar tentang ekonomi sumber daya alam dan lingkungan, jika kita tinjau dari dua aliran ekonomi yaitu: ekonomi konvensional dan ekonomi kontenporer. Ekonomi konvensional(klasik) yang tujuan adalah memaksimumkan keuntungan tanpa mempertimbangkan dimensi waktu. Sedangkan ekonomi kontenporer tujuan utamanya adalah menciptakan kondisi kesejahteraan manusia(human walfere) dengan mempertimbang factor dimensi waktu.
Sebagai suatu kesatuan antara pertumbuhan perekonomian, kualitas lingkungan dan energi, maka secara implicit kita memperlakukan barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam dan lingkungan dapat dinilai secara moneter. Dengan kata lain, barang dan jasa yang dihasilkan tersebut, seperti ikan, kayu, air bahkan pencemaran sekalipun, bisa kita hitung nilai rupiahnya atau nilai ekonominya karena kita asumsikan bahwa pasar itu eksis(Marked based), sehingga transaksi barang dari sumber daya alam tersebut dapat dilakukan. Jika hal itu dilakukan tanpa memperhitungkan dampak dan akibatnya sesuai dengan hukum termodinamika 2, baik dalam jangka pendek maupun panjang, maka keseimbangan alam ini akan terganggu.
Pertanyaan yang kemudian timbul dalam mencermati fenomena diatas adalah:
1.Bagaimana mereduksi dampak kegiatan ekonomi bagi lingkungan?
2.Bagaimana meningkatkan pasokan energi sebagai dasar untuk melanjutkan pembangunan dan mensejahterakan masyarakat.
Maka berdasarkan rumusan permasalahan diatas. Kami akan mencoba menjawab dan menganalisa permasalahan diatas dengan menggunakan metode pendekatan analisis biaya dan manfaat dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. Dan juga untuk mengembangkan kemungkinan alternatif pengembangan energi untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Kriteria Pengambilan Keputusan
Suatu prinsip yang ideal dalam kebijaksanaan penggunaan barang sumber daya alam adalah membuat pengeluaran-pengeluaran bagi setiap tujuan sedemikian rupa sehingga manfaat (benefit) dari pengeluaran satuan rupiah yang terakhir lebih besar daripada dengan hilangnya manfaat dari kegiatan-kegiatan lain karena pengeluaran tersebut.
Jika kita melihat pada table diatas, maka kita bisa langsung memastikan bahwa rencana terbaik dari beberapa proyek diatas, adalahn proyek pembangunan waduk sedang. Analisa ini kita gunakan untuk mengambil keputusan proyek mana yang harus dijalankan. Tapi yang harus diingat adalah, sering kali kenyataan yang ditemui berbeda dengan rencana-rencana yang dibuat berdasarkan ramalan. Yang penting dan harus diingat adalah kita harus mengetahui besarnya manfaat dan biaya dari proyek tersebut.

Teknik Nilai Pasar
Teknik ini biasanya dipakai untuk meneliti pengaruh pembangunan terhadap sistem alami seperti pada perikanan, kehutanan, pertanian. Kualitas lingkungan disini adalah factor produksi. Perubahan kualitas lingkungan menjurus pada perubahan dalam produktivitas dan biaya produksi, sehingga harga-harga serta tingkat hasil juga berubah dan ini dapat diukur.
Contoh dari penggunaan teknik adalah: perbaikan kualitas air irigasi dapat meningkatkan produktivitas tanaman, tambahan hasil kali harga hasil merupakan manfaat perbaikan kualitas air. Polusi udara dari pabrik kimia dapat berakibat buruk pada produktivitas pertanian sekitar pabrik, nilai ekonomis hasil pertanian yang hilang dapat menjadi ukuran manfaat yang mestinya diperoleh bila tidak terjadi polusi atau bila polusi dapat dikurangi.
Dari contoh diatas kita bisa memformulasikan bahwa nilai tenaga kerja seseorang adalah penghasilan seseorang pada waktu yang akan dating, dinilai sekarang. Adapun formulasinya adalah: L1=∑Yt PT(t) (1+r)-(t-T)
Yt= penghasilan bruto yang diharapkan diperoleh atau nilai tambah selama nilai tahun T
PT(t)= Probabilitas sekarang (t) oran itu hidup selama t
R= Tingkat bunga social tahun t
Ket tambahan tanda ( ) berarti pangkat.

Analisis Net Present Value(NPV)
NPV = t=1(n) ( Bt-Ct) Ket: ( ) kecil menunjukkan pangkat
(1+r)(t)
Sebenarnya pendekatan ini tidak terlalu jauh berbeda dengan pendekatan B/C ratio. Hanya saja dalam NPV suatu proyek akan dinyatakan layak (feasible) bila NPV>0 dan tidak layak bila NPV<0.
Namun dalam pertimbangan biaya dan manfaat perlu ditambahkan perhitungan biaya dan manfaat eksternal. Jadi biaya suatu kegiatan terdiri dari: C = Cp+Ct+Ce
Di mana: C = Biaya sosial
Cp = Biaya Privat
Ct = Biaya treatment (pengolahan limbah)
Ce = Biaya eksternal
Demikian pula manfaat sosial (C) sekarang terdiri dari
B = Bp + Be
Di mana:
B = manfaat sosial
Bp = manfaat privat
Be = manfaat eksternal
Jadi proyek dinyatakan layak selain NPV > 0 harus memenuhi syarat B > C

Wilingness To Accept Consept
Konsep willingness to accept adalah sebuah konsep dimana jumlah minimun pendapatan seseorang untuk mau menerima penurunan sesuatu. Dalam praktik pengukuran nilai ekonomi, WTP lebih sering digunakan daripada WTA(willingness to pay), karena WTA bukan pengukuran yang berdasarkan insentif sehingga kurang tepat jika dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia (behavioral model). Maka WTP bisa kita ukur melalui pendekatan permintaan Hicks hal ini dikarenakan harga daerah di bawah kurva Hicks relavan untuk pengukuran kompensasi. Maka bisa kita asumsikan terjadinya perubahan harga dari Po ke P’ akibat perubahan lingkunagan maka WTP bisa kita tuiskan sebagai berikut:

WTP = ∫(Po-P’) X(h) (P,u) dP
= M (P’,u)- M (Po, u)
Dimana M (P’, u) adalah pendapatan setelah terjadi perubahan dengan utilitas konstan dan M (Po, u) adalah pendapatan awal. Persamaan diatas mengatakan bahwa WTP merupakan daerah (digambarkan dengan tanda intergral) di bawah kurva permintaan Hicks yang di batasi oleh harga pada kondisi Po dan harga akibat perubahan P. berdasarkan teori ekonomi klasik, ini setara dengan selisi pendapatan M yang dibutuhkan agar utilitas seseorang tetap setelah adanya perubahan
Didalam pengukuran WTP, Haab dan McConnel(2002) menyatakan bahwa pengukuran WTP yang dapat diterima (reasonable) harus memenui beberapa syarat:
1.WTP tidak memiliki batas bawah yang negative.
2.Batas atas WTP tidak boleh melebihi pendapatan.
3.Adanya konsistensi antara keacakan pendugaan dan keacakan perhitungan.
Maka kondisi 1 dan 2 dapat kita tulis :
0 ≤ WTP ≤ M
Kelemahan dari WTP adalah pengukuran keinginan membayar. Misalnya, kita sangat sulit untuk mengukur nilai dari keindahan alam, sehingga pemerintah akan sangat sulit untuk menarik biaya WTP kepada masyarakat dan keinginan membayar mereka juga sangat sulit untuk diketahui. Yang terpenting disini adalah pengukuran seberapa besar kemampuan membayar masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa dari sumber daya. Kita juga dapat mengukur dari sisi lain, yakni seberapa besar masyrakat harus diberi kompensasi atas hilangnya barang dan jasa dari sumber daya dan lingkungan.

Penentuan Harga Energi
Penentuan harga energi sangatlah kompleks, apabila harga yang “optimal”. Banyak factor yang perlu diperhatikan: tujuan yang ingin dicapai, putusan mengadakan investasi, kendala yang ada, dampak yang timbul yang tidak diinginkan, dan lain-lain.
Teori permintaan neoklasik memperkirakan bahwa kenaikan pada tingkat harga energi relatif terhadap harga lain akan mengurangi konsumsi dan bahwa kenaikan relatif suatu bahan bakar akan mengurangi bagiannya dalam pasar energi. Bila harga energi terlalu tinggi maka konsumsi energi akan sangat rendah begitu juga sebaliknya, bila harga energi terlalu rendah maka konsumsi energi akan sangat tinggi. Contoh paling mudah dalam masalah ini adalah saat terjadinya krisis minyak pada tahun 1982-1983.
Berdasarkan kebijaksanaan harga yang berbeda berdampak berbeda pada alokasi sumber daya alam. Anggapan dasar adalah dalam masalah ini adalah efisiensi dalam alokasi sumber daya. Efisiensi yang kami maksud dalam artian Pareto Optimum, bahwa suatu alokasi sumber daya itu efektif bila sumber daya tersebut tidak dapat dialokasikan kembali kembali untuk mensejahterakan masyarakat tanpa menimbulkan kerugian pada masyarakat. Dengan demikian agar alokasi sumber daya yang berbeda itu efisien diperlukan serangkaian tujuan yang sama.
Di bawah ini kami akan mencoba memformulasikan saran agar harga energi itu dikaitkan dengan biaya sosial marjinal dengan tujuan efisiensi tadi :
Wmax = TR + S - TC
Dimana W = kesejahteraan sosial netto
TR = pendapatan total
S = surplus konsumen
TC = biaya total
Dan bila persamaan diatas kita turunkan maka :
W = D ( TR + S) – d ( TC)
Q dQ dQ
Maka jika kita masukkan variable harga P (Q) dan kita sama dengankan nol W/Q maka formulanya berubah menjadi TR + S = P(Q) dQ maka turunan terhadap Q adalah
d/dQ ( TR + S) = d/dQ fP (Q) dQ
= P (Q)
Karena P (Q) adalah hrga dan d/dQ (TC) adalah biaya marginal, maka P – MC = 0, sehingga kesejahteraan maksimum akan terjadi.

Nilai Ekonomi Total
Konsep dari nilai ekonomi total dari suatu sumberdaya lingkungan memiliki fondasi dalam kesejahteraan ekonomi. Konsep dari nilai ekonomi menitik beratkan dalam ekonomi kesejahteraan masyarakat, oleh karenanya istilah “Nilai Ekonomi” dan “Perubahan Kesejahteraan” dapat dipakai bergantian. Nilai ekonomi total (TEV) dapat dinyatakan sebagai berikut :
TEV = UV + NUV
Dimana : UV adalah Nilai yang digunakan yang terdiri dari (DUV +IUV + OV) dan NUV adalah Nilai yang tidak digunakan terdiri dari ( XV + BV ), maka nilai ekonomi total dapat dinyatakan sebagai :
TEV = (DUV + IUV+ OV) + (XV + BV )
Dimana : DUV = Nilai langsung yang didapat
IUV = Nilai tidak langsung yang didapat
OV = Nilai opsi
XV = Nilai exsistensi
BV = Nilai warisan

Dalam kondisi Negara Indonesia pada saat sekarang ini, dimana negara kita masih melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan ( Sustainable development) terutama dalam dimensi spasial hanya mendapatkan sedikit perhatian. Pentingnya elemen spasial didapat dari hubungan timbal-balik yaitu (1) proses lokal mempengaruhi global dan (2) trend global akan mempengaruhi lokal. Contohnya kerusakan ekosistem pada satu wilayah mempunyai efek yang besar dalam mempengaruhi kondisi klimatologi secara global dan siklus geokemikal. Struktur ekonomi dan lingkungan yang spesifik dalam suatu wilayah
menentukan sensitifitas dari suatu daerah terhadap kekuatan ekonomi dan lingkungan eksternal (Bergh and Nijkamp, 1999).
Maka untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan akibat eksploitasi diperlukan adanya sebuah metode yang dapat mengkontrol/merduksi kerusakkan alam akibat kegiatan ekonomi diatas. Maka pendekatan dengan penghitungan analisis biaya dan manfaat merupakan salah satu alternative untuk mereduksi dan meminimalkan kegiatan ekonomi yang berpotensi merusak lingkungan. Penggunaan metode analisis biaya dan manfaat yang konvensional sering tidak mampu menjawab permasalahan diatas, hal ini dikarenakan konsep CBA yang konvensional sering tidak memasukkan manfaat ekologis di dalam analisisnya ( Fauzi, 2000; Fauzi dan Anna, 2003). Maka untuk itulah kami menggunakan konsep valuasi ekonomi sebagai dasar teori kami untuk menjebatani kelemahan-kelamahan yang terdapat pada metode analisis biaya dan manfaat yang konvensional.
Perubahan mazhab( School of Thought) ekonomi dan kesadaran akan terhadap kualitas lingkungan mengakibatkan terjadinya pergeseran bahkan perubahan paradigma( paradigm shift and change) tentang keterkaitan lingkungan dan pembangunan. Perubahan kearah keserasian anatara pembangunan ekonomi dengan manajemen lingkungan, mengakibatkan timbulnya model konservasi kawasan( conservation regional ). Disinilah letak peran penting dari konsep valuasi beserta hitungan-hitungannya untuk mengetahui nilai rill dari sebuah sumber daya alam yang akan digunakan. Sehingga manfaat sosial harus lebi besar dari biaya sosial yang akan dikeluarkan B > C.

Interaksi antara ekonomi dan lingkungan
Kita akan mengambil sebuah contoh kasus tentang penggunaan konsep valuasi ekonomi diatas. Kasus yang akan kami angkat adalah sumber daya lahan basah, yang mudah dipengaruhi oleh keputusan yang salah. Daerah lahan basah adalah daerah multi fungsi karena tidak saja sebagai tempat sumber kebutuhan hidup manusia, tetapi juga sebagai fungsi ekologi yang mendukung kigiatan ekonomi bagi manusia. Banyak produk yang terdapat pada lahan basah tidak dipasarkan tetapi memberikan kegiatan ekonomi secara tidak langsung karena itu sering dilupakan terutama lahan basah yang ada pada daerah tropis yang ada di Indonesia .
Daerah lahan basah dapat menjadi tidak bernilai (berada dibawah nilai kelayakan) yang disebabkan oleh hak kepemilikan (property rights) yang diterapkan oleh pemerintahan yang menguasai akses dan penggunaan daerah tersebut. Memberikan nilai dibawah kelayakan pada daerah lahan basah merupakan ancaman yang serius, karena pengembangan dan konversi yang akan dilakukan selalu memberikan output yang dapat dipasarkan, sementara mempertahankannya cenderung untuk mempertahankan barang yang tidak dapat dipasarkan. Diokotomi ini sering menimbulkan opsi untuk pengembangan lahan tersebut, sebagai contoh konversi dari lahan basah ke pertanian, kolam ikan dan bangunan pemukiman yang akan memberikan sumbangan pendapatan untuk pemerintah.
Mari kita analisa kasus diatas dari berbagai teori yang telah kami tuliskan diatas. Pertama-tama kita mulai dari penerapan teori penerapan pengambilan keputusan. Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan sebelum mengambil sebuah keputusan apakah memberikan konversi lahan basah ke suatu proyek. 1. Tidak dapat diperbaharuinya sumberdaya alam apabila sudah mengalami kepunahan. 2. Masa depan penuh ketidakpastian, jangan sampai hasil konversi lahan basah ini malah menimbulkan biaya dan masalah yang lebih besar lagi di masa yang akan datang. 3. Adanya keunikan dan studi empiris mencoba menghitung nilai keberadaan dengan mengaitkan flora dan fauna langka maupun pemandangan yang unik.
Analisis yang ketiga kita kaitkan dengan NPV yang akan terjadi. Proyek akan diterima jika [ B-C ] > 0, NPV > 0 Proyek harus dianalisa dengan menggunakan rumus NPV diatas dan dihitung juga besarnya manfaat dan biaya yang akan ditanggung.
Jika proyek ditolak [ B-C ] < 0, NPV < 0 . Maka kita tidak usah melanjutkan penghitungan berapa besar nilai konpensasi yang harus diterima.ditanggung. Jika dari hasil perhitungan menyatakan proyek diterima [ B-C ] < 0, NPV < 0. Maka kita lanjutkan penghitungan kompensasinya kepada konsep WTP, dimana persyaratannya adalah 0 ≤ WTP ≤ M. Setelah dihitung dengan menggunakan formula diatas, maka sampailah pada kesimpulan berapa kompensasi yang harus dibayar dan ditanggung. Dengan begitu kerusakan lingkungan yang terjadi bisa diminimalkan.

Interaksi Kebutuhan Energi dan Ekonomi
Saat ini Indonesia belum diwajibkan untuk mengurangi emisinya, tapi kebijakan ini akan berpengaruh besar terhadap Indonesia terutama terhadap sektor energinya. Penduduk Indonesia mengkonsumsi 3,9 quadrillion Brithis Thermal Untit energi, yang 95%nya adalah bahan bakar fosil (DGEED, 2000). Selain itu Indonesia memiliki banyak cadangan kekayaan energi yang cukup berarti, terutama batubara yang menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor bahan bakar beremisi karbon tersebut. Sehingga sektor energi merupakan faktor utama dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Ekspor gas dan minyak bumi memberikan kontribusi penting dalam pendapatan negara. Hal ini menjadikan Indonesia rentan terhadap kebijakan iklim internasional, termasuk kebijakan pengurangan emisi (Susandi, 2004).
Jika hal ini tidak segera di berikan alternative jalan keluar atau paling tidak pertahanan ketahan energi maka bisa dipastikan pembangunan perekonomian Indonesia akan mendapat masalah besar. Seperti yang kami tuliskan diatas, bahwa kenaikan pada tingkat harga energi yang tinggi akan mengurangi konsumsi energi, dan ini akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Maka salah satu cara untuk mengantisipasinya adalah memperhitungkan berapa kesejahteraan netto yang bisa didapat (Wmax). Sehingga Harga yang berlaku haruslah mencerminkan biaya marginalnya ( P – MC = 0). Sehingga kesejahteraan maksimum dapat tercapai.
Yang harus diingat lagi adalah, permintaan akan barang dan jasa termasuk energi juga tergantung terhadap beberapa factor selain harga. Kita misalkan produksi industry, tingkat pemakaian bahan bakar substitute ( batu bara untuk minyak ), kondisi politik dunia, usaha-usaha konservasi dan faktor- faktor lainnya, yang tidak dimasukkan dalam rumus diatas akan coba kami fungsikan dalam fungsi permintaan dibawah ini:
D = f (P, X, Y, Z, ………)
Dimana p = harga tiap satuan dan X, Y, Z,….. adalah faktor selain harga yang mempengaruhi permintaan. Bila faktor X, Y, Z…. dianggap konstan maka permintaan hanya dipengaruhi oleh harga saja dan perubahan hanya menggerakkan kurva permintaan. Dan apabila faktor yang lain itu ikut berubah, maka kurva permintaan akan melakukan penggeseran.

Perubahan Iklim di Indonesia
Menurut penelitian, suhu udara di Indonesia meningkat sebesar 0,30C sejak tahun 1900, peningkatan suhu ini terjadi sepanjang musim. Dan terjadi peningkatan curah hujan disatu wilayah, sedangkan di wilayah lain terjadi pengurangan curah hujan sebesar 2-3%. (Hulme and Sheard, 1999). Selain siklus harian dan musiman keragaman iklim di Indonesia juga ditandai dengan siklus beberapa tahun antara lain siklus fenomena global ENSO (El Nino Southern Oscillation). ENSO mempunyai siklus 3 - 7 tahun, tapi setelah dipengaruhi perubahan iklim diduga siklus ENSO menjadi lebih pendek antara 2 - 5 tahun (Ratag, 2001).
Melihat betapa pentingnya peranan energi di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Maka pemerintah harus segera menyiapkan dan merealisasikan rencana tentang Target energi Mix dan Energi yang rendah emisi, dimana rencana tersebut akan dilaksanakan pada tahun 2025.


Usaha untuk pengembangan energy rendah emisi agar dapat bersaing secara komersil, energy rendah emisi masih menghadapi berbagai macam kendala. Seperti kurangnya dukungan industry, kebijakan investasi, pengembangan pasar, insentif/subsidi maupun pola investasi untuk mendorong partisipasi swasta dan koperasi.
Pemgembangan energi rendah emisi di Indonesia sangat berpotensi untuk usaha mitigasi perubahan iklim global yang terjadi. Pengembangan energi rendah emisi di Indonesia harus dikembangkan dan diseriusi, sehingga akan mencapai titik optimal dan memenui target program energi mix tahun 2025. Peran teknologi dan kemudahan dalam pengembangan energi rendah emisi melalui kebijakan-kebijakan khusus akan menjadikan tambahan penguatan dan pengembangan energi rendah emisi di Indonesia.

Kesimpulan
Pembangunan perekonomian Indonesia haruslah menguba paradigma yang telah ada. Dari sebuah paradikma mengejar pertumbuhan ekonomi bergeser kepada paradigm kesejahteraan bersama(walfare state). Dimana dalam konsep kesejahteraan ini, factor lingkungan sudah dimasukkan sebagia factor yang sangat penting guna menunjang pembagunan yang berkelanjutan.
Factor lingkungan yang selama ini diabaikan haruslah dimasukkan kedalam perhitungan perekonomian. Dengan menerapkan metode analisis biaya dengan pendekatan valuasi ekonomi diharapkan dampak kerusakan lingkungan bias diminamilisir. Dengan penghitungan analis biaya yang benar dan tepat, kita bias tahu apa yang akan terjadi jika suatu proyek dijalankan bagi lingkungan dan sumber daya alam.
Selain lingkungan energi memerankan peranan yang sangat penting dalam menopong pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 ayat 2 dan 3 negara harus menyediakan kebutuhan energy dan menyalurkannya secara adil bagi seluruh warga negaranya.
Dengan adanya penurunan persediaan energy dan perubahan iklim. Maka Negara Indonesia dituntut untuk menerapkan program energy mix dan rendah emisi. Meskipuin banyak hambatan dan kendala dalam pelaksanaannya. Pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia harus mendukung program ini, agar terciptanya ketahan energy dan perbaikan kualitas lingkungan, untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Metode analisa manfaat dan biaya dengan pendekatan valuasi ekonomi. Adalah alat yang digunakan untuk mengestimasi nilai barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam yang sudah termasuk manfaat social dan biaya social. Atau lebih mudanya valuasi ekonomi adalah menghitung dan mengestimasi semua nilai dan biaya yang terkandung didalam suatu sumber daya alam.
Saran
Setelah melihat hasil dari pembahasan diatas maka kami memiliki beberapa saran uyang mungkin berguna dalam masalah ini.
1.Negara Indonesia harus kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 terutama pasal 33. Kenapa? Dengan menyadari bahwa kita ini adalah mahluk Allah yang hanya diberi amanat untuk menjaga dan melestarikan lingkungan maka kita tidak mungkin melakukan pengerusakan alam. Dengan kita kembali kepada pasal 33 terutama ayat 2 dan 3, maka akan terciptalah pikiran kreatif dan sikap mental untuk mensejahterakan bangsa dan Negara.
2.Analisis Biaya dan Manfaat harus dilaksanakan dan dihitung dengan cermat dan teliti. Jika analisis biaya menyatakan proyek tidak diterima, ya harus di patuhi. Jangan dimanupulasi dan diakali. Jika itu terjadi maka kerusakan alam akan semakin parah, dan biaya yang ditanggung masyarakat akan semakin besar.
3.Dukung pengembangan energy alternative yang rendah emisi. Selain berharga murah, juga tidak terlalu merusak lingkungan.
4.Perubahan cara pandang dari mengejar kekayaan atau profit, menjadi pandangan kesejahteraan bersama harus dilakukan mulai dari sekarang. Dimana mulai awal harus ditanamkan kepada generasi-generasi muda, salah satunya melalui system pendidikan.
5.Dukung pembuatan teknologi yang ramah lingkungan dan hemat energy, agar terciptanya ketahanan energi di Negara Indonesia.
6.Memasukkan perhitungan biaya lingkungan kedalam PDB atau lebih dikenal dengan sebutan PDB hijau (Green PDB)

Demikian ulasan dari kami, tentang mereduksi kerusakan lingkungan dan peningkatan energi dengan metode pendekatan analisis biaya dan manfaat dalam kegiatan ekonomi. Semoga berguna bagi para pembacanya dan bias sedikit menyumbangkan manfaat untuk Negara tercinta kita. Satu kata penutup dari kami, kita semua harus ingat akan tiga prinsip untuk menjalani kehidupan. 1. Meng-Allahkan-Allah, 2. Memanusiakan-manusia, 3. Meng-alamkan-alam. Semoga Negara ini bisa lebih sejahtera, maju dan diberkati oleh ALLAH yang Maha kuasa. Amin

Daftar Pustaka
Armi Susandi. Pengembangan energi rendah emisi untuk kepentingan mitigasi, Jurnal kelompok keahlian sains kajian atmosfer, ITB Bandung.
Erlangga dan Wirya. Kerangka pembangunan regional dalam agenda 21: Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, Jurnal MPRA.
Fachrudin, Kemas. Pendekatan analisis cost benefit sebagai alat pengambilan keputusan dalamkonservasi menentukan lahan basah, Makalah pribadi, IPB
Fauzi, Akhmad. ESDAL , Jakarta: Gramedia pustaka utama, 2004
Irwani dan Susandi, Perkembangan kebijakan ekonomi Indonesia sebagai dampak kebijakan iklim global, Jurnal ITB.
Ningsih. Analisis sistem penghitungan PDB yang berwawasan lingkungan, Jurnal Bappenas.
Suparmoko. ESDAL edisi 3, Yogyakarta: BPFE, 1997
Sukanto,Brodjonegoro. Ekonomi Lingkungan edisi kedua, Yogyakarta: BPFEF, 2000.
Sukanto. Ekonomi energi, Yogyakarta : PAU STUDI Ekonomomi UGM, 1988
Randall,Alan. Resource Economic Edisi 2, New york: John Wiley & Son, 1987.
Titenberg,tom. Environmental Natural Resouerce Economic edisi 7, USA: Pearson, 2004.

16/11/09

MENINGKATKAN PERANAN PERTANIAN INDONESIA SEBAGAI SEKTOR PRIMER PENGGERAK PERDAGANGAN INDONESIA

Pendahuluan
Sebagai suatu bangsa dan negara yang besar, di dukung dengan sumber daya alam yang melimpah. Indonesia mempunyai kekayaan alam yang begitu besar, bahkan ada sebuah anekdot yang mengatakan bahwa: kayu dilemparpun di tanah Indonesia bisa berubah menjadi sesuatu yang menghasilkan. Dari anekdot diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa keunggulan bangsa ini terletak pada kekayaan akan sumber daya alamnya. Salah satunya terletak pada sektor pertaniannya. Namun sayangnya, sumber daya pertanian pertanian belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat Indonesia.
Kesalahan fundamental yang dibuat oleh para pemimpin dan masyarakat Indonesia ini adalah: bahwa dalam alam pikiran mereka tidak memandang bahwa produksi pertanian, sebagai usaha di sektor industry tapi merupakan usaha diluar industry. Sudah terlanjur dalam alam pikiran kita, bahwa Industri adalah sebuah sejenis usaha yang proses produksinya menggunakan mesin dan serba modern. Padahal jika kita tinjau dari makna sebenarnya, industry itu berarti kerajinan dan kegiatan. Dari definisi ini, berarti sudah sangat salah jika kita menganggap bahwa pertanian bukan merupakan sector industry. Dan juga sangat salah jika kita mengabaikan sector pertanian. Jika kita berkaca pada teori perdagangan internasionalnya Heckscher-Ohlin yang mengatakan bahwa: komoditi-komoditi yang dalam produksinya memerlukan factor produksi(yang melimpah)dan factor produksi(yang langka) diekspor untuk ditukar dengan barang-barang yang membutuhkan factor produksi dalam proporsi sebaliknya. jadi bisa disimpulkan bahwa factor produksi yang melimpah diekspor dan factor produksi yang langkah di import(Ohlin, 1933, hal 92).
Berangkat dari teori Heckscher-Ohlin, sudah seharusnya sector pertanian menjadi sebuah alat penggerak primer bagi perekonomian Indonesia. Atau kalau Kwik kian gie menuliskan sebagai prime mover pembangunan ekonomi nasional. Sebenarnya usaha-usaha produktif tidak semestinya diukur nilainya menurut bekerja dengan mesin atau tidak, melainkan menurut kebutuhan masyarakat, kondisi daerah dan waktu.
Melihat kondisi waktu sekarang, kita tidak bisa mengabaikan sebuah perjanjian di dalam WTO yaitu perjanjian Pertanian( Agreement on Agriculture). Sebuah perjanjian internasional yang isinya adalah: 1. Akses pasar(Market Acses), 2. Subsidi domestik( Domestic support), 3. Subsidi eksport( Export Subsidies). Yang di Indonesiakan kedalam UU No. 7 tahun 1994. Dengan ratifikasi ini Indonesia wajib memenuhi semua perjanjian yang terkandung didalamnya.
Sejak awal perjanjian ini memiliki beberapa cacat fundamental. Apa saja cacat fundamental itu? Mari kita lihat satu-per satu: 1. Akses pasar dinegara maju relative sulit bagi negera berkembang, karena sejak awal telah memiliki “initial tariff rate” yang jauh lebih tinggi. 2. Kekuatan kapital, dengan kekuatan capital Negara maju yang besar mereka telah menyediakan subsidi eksport dan subsidi domestik yang tinggi, untuk mendorong eksport dari surplus produksi pertanian yang mereka miliki. 3. Dalam perjanjian diatas tidak terdapat fleksible tarif, yang memadai bagi Negara-negara berkembang untuk melakukan penyesuaian tarif, yang sejalan dengan perkembangan permasalahan dan lingkungan strategis perdagangan di Negara tersebut. Dalam kondisi yang demikian Negara-negara berkembang termasuk Indonesia tidak akan bisa memaksimalkan keunggulan competitivenya di sector pertanian.
Melihat kenyataan diatas, hal tersebut bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Dimana disitu jelas-jelas mengemanatkan bahwa pembangunan ekonomi haruslah menggunakan sumber daya yang dimiliki atau dikuasai oleh rakyat banyak( rakyat Indonesia) dan bukan segelintiran orang saja. Pertanian yang merupakan keunggulan komparatif dan kompetitif bangsa Indonesia harus di optimalkan. Tapi hal ini akan sangat sulit sekali karena kita sudah terlanjur menandatangani perjanjian dengan WTO.
Mari kita lihat sedikit data bagaimana seharusnya sector yang sangat istimewa ini, sengaja di anak tirikan oleh bangsa Indonesia. Indonesia mengalami penurunan import pangan sejak diberlakukannya liberalisasi oleh pemerintah atas tekanan IMF. Tingkat ketergantungan import pangan kita kita meningkat dua kali lipat, yaitu beras sebesar 10%, jagung 20%, kedelai 55%, dan gula 50%(Sawit, 2003). Padahal komoditas-komoditas pangan ini menyerap masing-masing 23 juta, 9 juta, 2,5 juta dan 1 juta rumah tangga, atau sekitar 69% rumah tangga Indonesia. Dengan demikian, import pangan yang dilakukan semenjak tahun 1998, telah meningkatkan jumlah dan memiskinkan para petani Indonesia.
Dengan demikian globalisasi dan perdagangan bebas telah memberikan dampak pada seluruh aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali para petani. Yang menjadi masalah adalah dampak yang diterima oleh para petani lebih banyak bersifat merugikan dari pada menguntungkan. Sekarang pertanyaan kita adalah bagaimana bangsa Indonesia ini bisa lebih mengoptimalkan dalam memanfaatkan keunggulan kompetitivenya dan membuat sektor pertanian menjadi sector penggerak didalam perdagangan internasional Indonesia. Perlu digaris bawahi bahwa, pertanian disini tidak hanya pekerjaan produksi yang dilakukan di sawah-sawah, tapi juga mencakup perkebunan, perhutanan dan perikanan.

INTEGRASI SUMBER-SUMBER KEUNGGULAN
Untuk mengoptimalkan keunggulan komperative di sector pertanian, kita terlebih harus mengintegrasikan faktor-faktor apa saja yang menjadi sumber-sumber keunggulan. Faktor-faktor penting itu adalah: 1. Sumber daya manusia, 2. Teknologi produksi, 3. Organisasi pertanian, 4. Akses pasar dan 5. Kultur pertanian. Ke lima hal inilah yang menurut penulis merupakan sumber-sumber yang sangat penting untuk mengembangkan keunggulan kompetitive di sektor pertanian.
Sumber daya manusia: Kita semua sepakat, untuk mengelola sumber daya alam terutama sector pertanian yang merupakan kunci dari keunggulan kompetitif mengoptimalkan sumber daya manusia yang ada. Persoalannya adalah bagaimana membentuk kompetensi dan komitmen para petani, baik secara individu maupun kelompok guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan produksi pertanian dan mengintegrasikan kompetensitersebut ke dalam proses bisnis dan sistem manajemen yang dijalankan dalam sektor pertanian. Kualitas dan karakteristik petani yang diperlukan oleh sector ini pada hakikatnya tidak terlepas dari tantangan-tantangan bersaing yang akan dihadapi oleh organisasi, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang.
Teknologi produksi: teknologi yang digunakan untuk sektor ini haruslah sesuai dengan kebutuhan para petani di Indonesia. Jangan hanya terpakau dengan kecanggian alat produksi lalu kita meniggalkan alat-alat tradisional yang sebenarnya masih cukup berguna. Contoh yang paling sederhana adalah penggunaan cangkul syukur-syukur kalau para petani mempunyai kerbau atau sapai. Mengapa ini harus dipertahankan: dikarenakan hasil yang diperoleh akan lebih optimal dari pada penggunaan traktor dan mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak. Selain itu rasa beras yang dihasilkan sangat jauh berbeda dengan beras yang dihasilkan oleh full mekanisasi. Selain alat untuk mengerjakan pertanian, hal terpenting lain adalah teknologi pengairan. Ini sangat penting untuk menunjang sektor pertanian untuk melakukan proses produksi. Bibit unggul dan ketersediaan pupuk dan pestisida juga ikut menunjang dalam proses kegiatan tersebut.
Organisasi pertanian: Sudah tidak jamannya lagi para petani bekerja sendiri-sendiri untuk memperoleh hasil maksimum. Hal ini dikarenakan keterbatasan informasi dan teknologi lebih besar dihadapi oleh individu-individu, dari pada organisasi. Dengan membentuk suatu organisasi para anggota bisa saling bertukar informasi, memperkuat kedudukan dan lebih mudah mengatasi masalah. Kilmann mengemukakan lima faktor sukses organisasi, yaitu kultur, manajemen, keahlian, team building, struktur, dan sistem kompensasi. Sebaliknya, McKinsey memperkenalkan tujuh elemen organisasi, yaitu strategi, struktur, sistem, staf, gaya (style), keahlian, dan tujuan-tujuan (Peter dan Waterman, 1982).
Akses pasar: Dalam rangka pengembangan pasar, khususnya akses pasar eksport memiliki beberapa langkah strategik: Pengembangan komoditas pertanian, penetapan komoditas unggulan, fasilitas dan penyerdehanaan prosedur eksport, pemasaran produk pertanian di luar negeri dan ketapatan waktu pengiriman. Selain hal diatas, akses pasar internasional sangat tergantung pada ketersedian informasi pasar dan peranan pemerintah dalam melobby pemerintah Negara-negara tujuan eksport. Di dalam akses pasar ini-lah terletak kunci keberhasilan pertanian Indonesia. Apakah akan Berjaya atau akan menemui ajalnya.
Kultur pertanian: Pembetukan sebuah kultur pertanian tidak boleh dianggap remeh. Kenapa? Karena sebuah kultur pertanian merupakan kumpulan nilai yang harus menjadi pegangan bagi para petani Indonesia. Untuk memahami tindakan yang dipertimbangkan untuk diterima dan yang tidak diterima dalam proses produksi. Implementasinya dalam bisnis pertanian, terbentuklah komitmen yang kuat dalam diri petani terhadap value chain dalam memuaskan kebutuhan pasar. Komitmen ini dibangun melalui pembentukan nilai-nilai, seperti menghargai orang lain, kerja keras, dan solidaritas sosial yang tinggi.

Beberapa strategi pokok
Sektor pertanian tidak akan pernah lepas dari fungisnya sebagai sumber utama untuk penyediaan bahan pangan. Produksi pertanian merupakan cabang usaha bangsa kita yang dikenal dan dikerjakan sejak jaman purbakala. Dalam zaman kolonial Belanda produksi pertanian kita sanggup membuat bangsa ini mengalami self supporing/ swasembada pangan (1940). Tetapi sejak kemerdekaan dan sampai sekarang tiap tahun kita selalu mengimport hasil pertanian. Bahkan tiap tahun semakin bertambah besar.
Segala upaya selama 64 tahun setelah proklamasi kemerdekaan peningkatan produksi pertanian masih terus menjadi masalah utama. Meskipun revolusi hijau dan social engineering di bidang produksi telah berhasil mengejar tingginya pertumbuhan penduduk. Dengan semakin maraknya import hasil-hasil pertanian sebagai akibat dari perjanjian Pertanian( Agreement on Agriculture) dengan WTO membuat sektor pertanian dalam negeri semakin terjepit. Maka strategi pengendalian dari sisi pola konsumsi menjadi semakin penting. Dengan demikian konsumsi barang importlah yang diperlambat sambil terus meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri.
Sementara ketahanan pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi sektor pertanian untuk dapat menumbuhkan sumber daya manusia dan generasi muda untuk dapat melanjutkan pembangunan yang berkelanjutan. Maka masih ada 3 sumber daya alam di sektor pertanian yang masih harus dikembangkan. Sehingga secara komersial akan bernilai tambah tinggi, sehingga dapat menjadi sektor primer penggerak perdagangan internasional Indonesia. Pertama adalah indistrialisasi sektor pertanian, kedua kehutanan dan ketiga adalah perikanan dan kelautan.
Dari ketiga hal diatas penulis tertarik untuk membahas sektor kehutanan. Sektor kehutanan merupakan sumber pendapatan yang sangat potensial dan belum dikembangkan oleh Negara Indonesia. Yaitu pengolahan yang terkait dengan eksploitasi jasa lingkungan. Baik yang bersifat lokal maupun global. Yang bersifat global adalah sifat hutan yang mampu menangkap emisi karbon(carbon sequestration) yang dihasilkan dari berbagai industry, baik yang ada di Indonesia maupun di Negara lain. Industri-industri ini, telah menghasilkan emisi karbon yang sangat berlebihan, sehingga menimbulkan efek rumah kaca(green house effect) yang dapat membahayakan kelangsungan hidup umat manusia. Hal ini akan menciptakan pasar bagi perdagangan karbon(carbon trade) dan posisi Indonesia sebagai penjual jasa dalam hal carbon sequestration ini akan sangat besar mengingat kemungkinan mengembangkan hutan-hutan tanaman dimasa yang akan dating.
Jasa lingkungan dari hutan yang bersifat local dan tak kalah pentingnya adalah: dalam bentuk penyedian air bagi kepentingan pembangkit listrik dan Industri. Selama ini jasa lingkungan selama ini sudah dikompesasikan dengan menggunakan dana hibah Global Environmental Fund(GEF), namun kita tidak tahu apakah dana tersebut cukup untuk mebangun system perhutanan Negara kita.

Akses pasar produk-produk pertanian: Standar ganda Negara maju
Potensi penuh untuk menyetarakan pembangunan ekonomi antara Negara berkembang dan Negara maju dapat diwujudkan jika Negara-negara berkembang mempunyai akses pasar terhadap Negara maju. Tapi sangat disayangkan pemerintahan negara maju menciptakan hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional. Dampaknya komoditi pertanian Negara-negara berkembang sulit sekali menembus pasar Negara maju.
Saat petani kecil memasuki pasar dunia, mereka menghadapi hambatan-hambatan impor yang besarnya empat kali lipat dari produsen Negara-negara maju. Pembatasan perdagangan oleh Negara maju, membebani Negara-negara berkembang hingga mencapai $100 Milyar/tahun. Biaya jangka panjang yang berhubungan dengan hilangya peluang investasi dan hilangnya dinamika ekonomi tentunya lebih besar lagi.
Membaiknya akses pasar dapat menjadi alat yang ampuh bagi pemberantasan ketidaksetaraan pembangunan antara Negara maju dan Negara berkembang. Terutama jika dikaitkan dengan strategi domestik untuk memperluas kesempatan Negara-negara berkembang. Beberapa prioritasnya adalah sebagai berikut:
1.Akses bebas pajak dan bebas kuota bagi Negara-negara berkembang
2.Penurunan tariff yang dibebankan untuk eksport, sehingga tariff yang dikenakan oleh Negara berkembang tidak lebih dari 5%.
3.Larangan yang bersifat komprehensifterhadap subsidi eksport dan restrukturisasi subsidi pertanian yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan dan sosial, bukanya untuk peningktan out-put hasil produksi.
4.Pengakuan hak atas Negara berkembang terhadap system pertanian mereka untuk mewujudkan ketahan pangan Negara-negara berkembang.
Perubahan-perubahan diatas akan menciptakan lingkungan kondusif dalam perdagangan internasional. Perubahan-perubahan tersebut akan menimbulkan peluang-peluang baru bagi Negara sedang berkembang untuk meningktakan produksi komoditas pertanian mereka. Tapi harus diingat, bahwa membaiknya akses pasar hanya merupakan salah satu persyratan dalam memperbaiki hubungan perdagangan antara Negara maju dan berkembang. Banyak negera-negara sedang berkembang yang kekurangan infrastruktur untuk menunjang produksi komoditas eksport pertanian mereka.
Penutup
Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional secara berkelanjutan dan menjadikan sektor pertanian sebagai sektor primer penggerak perdagangan Indonesia. Maka mau-tidak mau, solusinya adalah mendekati dua sisi, yaitu sisi permintaan dan sisi produksi, termasuk perdagangan(eksport-Import).
Dari sisi produksi, masalah yang harus diselesaikan adalah semakin menyempitnya lahan pertanian, terutama di Jawa akibat pembangunan yang perencanaannya kurang baik. Dengan memindahkan sentra produksi di luar jawa atau membatasi pembangunan di Jawa mungkin bisa menjadi salah satu alternatif yang bisa di pakai. Dari segi penciptaan lapangan kerja juga harus diperhatikan. Bukankah lapangan kerja yang menyerap pekerja paling banyak adalah sektor pertanian? Ini juga harus dipecahkan secara bersama.
Masalah kedua adalah penurunan produktifitas pertanian. Bisa kita lihat dari data-data diatas, komoditas yang paling stabil hanyalah komoditas CPO, lain dari itu semua mengalami gejala mandeknya produktifitas yang sangat berarti. Jika kita mundur lebih kebelakang, pada awal REPELITA I(1969) produktifitas padi mencapai 2,25 ton per hektar, dan setelah 20 tahun (1989) mencapai 4,25 ton atau naik 2 kali lipat. Maka pada tahun-tahun berikutnya kenaikan itu meningkat secara menurun(diminishing return) bahkan cenderung mandek. Mahalnya harga sarana produksi pertanian, rendahnya intensitas penyuluhan kepada petani, kurangnya akses pasar merupakan sebagian factor mengapa hal di atas bisa terjadi.
Dari sisi konsumsi pertanian, ada beberapa hal yang penting dan perlu dipertanyakan, antara lain soal konsumsi pangan kita. Berdasarkan perhitungan neraca bahan pangan, yang diambil penulis dari tulisan Dibyo Prabowo. Beliau menuliskan bahwa, pada tahun 2000 total konsumsi per kapita per tahun adalah 149 Kg per tahun. Adapun perhitungannya adalah: total konsumsi sama dengan total produksi dikurangi 11% benih, pakan, ditambah import. Total konsumsi(31,446 juta ton), total produksi(31,647 ton), 11 persen kehilangan(3,47 juta ton), dan import (3,33 juta ton). Dengan penduduk 210,5 juta, konsumsi per kapita sama dengan 149 Kg per tahun.
Jika yang dituliskan pak Dibyo benar maka konsumsi pangan harian masyarakat Indonesia sebesar 0,41 Kg. Mari kita lihat data lain, yang akan penulis ambilkan dari data Susenas di tahunyang sama. Pada tahun itu jumlah beras import adalah 3,33 juta ton.Dengan produksi sebesar 31,647 juta ton dikurangi 11 persen untuk bibit, pakan dan kehilangan, maka produksi bersih adalah 28,166 juta ton atau 28,2 juta ton. Maka didapatlah surplus 2,4 juta ton.
Maka pertanyaannya, mengapa kita masih mengimport? Padahal produksi dalam negeri sudah mengalami surplus. Berapa devisa yang terbuang percuma? Mungkin saja perhitungan dan data diatas kurang akurat. Tapi satu hal yang terlihat jelas, bahwa produksi pertanian merupakan keunggulan komperatif dan kompetitif bangsa ini untuk bersaing di dunia Internasional. Mungkinkah sektor pertanian ini bisa menjadi sektor penggerak dalam perdagangan Indonesia? Hanya bangsa ini yang bisa menjawabnya. Sebagai penutup ijinkan penulis untuk menuliskan sebuah fakta sejarah yang tak bisa dipungkiri, yaitu: “Tak ada satupun negeri yang kini menjadi Negara industry maju tanpa didahului dan diiringi dengan kemajuan sektor pertaniannya”. Penulis berharap tulisan ini bisa sedikit memberikan manfaat untuk yang membacanya dan untuk menuju Negri Indonesia kita menjadi lebih baik. Amin.

Daftar pustaka
Bank Indonesia, “ Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012” Integrasi ekonomi ASEAN dan Prospek perekonomian nasional.
Daniel, Moehar. Pengantar ekonomi pertanian,Medan: Bumi aksara, 2004
Hermanto. Perdagangan intra-industri Indonesia di pasar dunia, Jurnal ekonomi pembangunan vol 7, no 1, 2002
Kwik Kian Gie. Kebijakan dan strategi pembangunan nasional: sektor pertanian sebagai “prime mover” pembangunan ekonomi nasional, Majalah perencanaan, edisi 34 tahun 2003.
Lindert,dan Kindleberger. Ekonomi Internasional edisi delapan, Jakarta: Erlangga, 1988
Malian, Husni. Kebijakan perdagangan internasional komoditas pertanian Indonesia, Juni 2004.