16/11/09

MENINGKATKAN PERANAN PERTANIAN INDONESIA SEBAGAI SEKTOR PRIMER PENGGERAK PERDAGANGAN INDONESIA

Pendahuluan
Sebagai suatu bangsa dan negara yang besar, di dukung dengan sumber daya alam yang melimpah. Indonesia mempunyai kekayaan alam yang begitu besar, bahkan ada sebuah anekdot yang mengatakan bahwa: kayu dilemparpun di tanah Indonesia bisa berubah menjadi sesuatu yang menghasilkan. Dari anekdot diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa keunggulan bangsa ini terletak pada kekayaan akan sumber daya alamnya. Salah satunya terletak pada sektor pertaniannya. Namun sayangnya, sumber daya pertanian pertanian belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat Indonesia.
Kesalahan fundamental yang dibuat oleh para pemimpin dan masyarakat Indonesia ini adalah: bahwa dalam alam pikiran mereka tidak memandang bahwa produksi pertanian, sebagai usaha di sektor industry tapi merupakan usaha diluar industry. Sudah terlanjur dalam alam pikiran kita, bahwa Industri adalah sebuah sejenis usaha yang proses produksinya menggunakan mesin dan serba modern. Padahal jika kita tinjau dari makna sebenarnya, industry itu berarti kerajinan dan kegiatan. Dari definisi ini, berarti sudah sangat salah jika kita menganggap bahwa pertanian bukan merupakan sector industry. Dan juga sangat salah jika kita mengabaikan sector pertanian. Jika kita berkaca pada teori perdagangan internasionalnya Heckscher-Ohlin yang mengatakan bahwa: komoditi-komoditi yang dalam produksinya memerlukan factor produksi(yang melimpah)dan factor produksi(yang langka) diekspor untuk ditukar dengan barang-barang yang membutuhkan factor produksi dalam proporsi sebaliknya. jadi bisa disimpulkan bahwa factor produksi yang melimpah diekspor dan factor produksi yang langkah di import(Ohlin, 1933, hal 92).
Berangkat dari teori Heckscher-Ohlin, sudah seharusnya sector pertanian menjadi sebuah alat penggerak primer bagi perekonomian Indonesia. Atau kalau Kwik kian gie menuliskan sebagai prime mover pembangunan ekonomi nasional. Sebenarnya usaha-usaha produktif tidak semestinya diukur nilainya menurut bekerja dengan mesin atau tidak, melainkan menurut kebutuhan masyarakat, kondisi daerah dan waktu.
Melihat kondisi waktu sekarang, kita tidak bisa mengabaikan sebuah perjanjian di dalam WTO yaitu perjanjian Pertanian( Agreement on Agriculture). Sebuah perjanjian internasional yang isinya adalah: 1. Akses pasar(Market Acses), 2. Subsidi domestik( Domestic support), 3. Subsidi eksport( Export Subsidies). Yang di Indonesiakan kedalam UU No. 7 tahun 1994. Dengan ratifikasi ini Indonesia wajib memenuhi semua perjanjian yang terkandung didalamnya.
Sejak awal perjanjian ini memiliki beberapa cacat fundamental. Apa saja cacat fundamental itu? Mari kita lihat satu-per satu: 1. Akses pasar dinegara maju relative sulit bagi negera berkembang, karena sejak awal telah memiliki “initial tariff rate” yang jauh lebih tinggi. 2. Kekuatan kapital, dengan kekuatan capital Negara maju yang besar mereka telah menyediakan subsidi eksport dan subsidi domestik yang tinggi, untuk mendorong eksport dari surplus produksi pertanian yang mereka miliki. 3. Dalam perjanjian diatas tidak terdapat fleksible tarif, yang memadai bagi Negara-negara berkembang untuk melakukan penyesuaian tarif, yang sejalan dengan perkembangan permasalahan dan lingkungan strategis perdagangan di Negara tersebut. Dalam kondisi yang demikian Negara-negara berkembang termasuk Indonesia tidak akan bisa memaksimalkan keunggulan competitivenya di sector pertanian.
Melihat kenyataan diatas, hal tersebut bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Dimana disitu jelas-jelas mengemanatkan bahwa pembangunan ekonomi haruslah menggunakan sumber daya yang dimiliki atau dikuasai oleh rakyat banyak( rakyat Indonesia) dan bukan segelintiran orang saja. Pertanian yang merupakan keunggulan komparatif dan kompetitif bangsa Indonesia harus di optimalkan. Tapi hal ini akan sangat sulit sekali karena kita sudah terlanjur menandatangani perjanjian dengan WTO.
Mari kita lihat sedikit data bagaimana seharusnya sector yang sangat istimewa ini, sengaja di anak tirikan oleh bangsa Indonesia. Indonesia mengalami penurunan import pangan sejak diberlakukannya liberalisasi oleh pemerintah atas tekanan IMF. Tingkat ketergantungan import pangan kita kita meningkat dua kali lipat, yaitu beras sebesar 10%, jagung 20%, kedelai 55%, dan gula 50%(Sawit, 2003). Padahal komoditas-komoditas pangan ini menyerap masing-masing 23 juta, 9 juta, 2,5 juta dan 1 juta rumah tangga, atau sekitar 69% rumah tangga Indonesia. Dengan demikian, import pangan yang dilakukan semenjak tahun 1998, telah meningkatkan jumlah dan memiskinkan para petani Indonesia.
Dengan demikian globalisasi dan perdagangan bebas telah memberikan dampak pada seluruh aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali para petani. Yang menjadi masalah adalah dampak yang diterima oleh para petani lebih banyak bersifat merugikan dari pada menguntungkan. Sekarang pertanyaan kita adalah bagaimana bangsa Indonesia ini bisa lebih mengoptimalkan dalam memanfaatkan keunggulan kompetitivenya dan membuat sektor pertanian menjadi sector penggerak didalam perdagangan internasional Indonesia. Perlu digaris bawahi bahwa, pertanian disini tidak hanya pekerjaan produksi yang dilakukan di sawah-sawah, tapi juga mencakup perkebunan, perhutanan dan perikanan.

INTEGRASI SUMBER-SUMBER KEUNGGULAN
Untuk mengoptimalkan keunggulan komperative di sector pertanian, kita terlebih harus mengintegrasikan faktor-faktor apa saja yang menjadi sumber-sumber keunggulan. Faktor-faktor penting itu adalah: 1. Sumber daya manusia, 2. Teknologi produksi, 3. Organisasi pertanian, 4. Akses pasar dan 5. Kultur pertanian. Ke lima hal inilah yang menurut penulis merupakan sumber-sumber yang sangat penting untuk mengembangkan keunggulan kompetitive di sektor pertanian.
Sumber daya manusia: Kita semua sepakat, untuk mengelola sumber daya alam terutama sector pertanian yang merupakan kunci dari keunggulan kompetitif mengoptimalkan sumber daya manusia yang ada. Persoalannya adalah bagaimana membentuk kompetensi dan komitmen para petani, baik secara individu maupun kelompok guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan produksi pertanian dan mengintegrasikan kompetensitersebut ke dalam proses bisnis dan sistem manajemen yang dijalankan dalam sektor pertanian. Kualitas dan karakteristik petani yang diperlukan oleh sector ini pada hakikatnya tidak terlepas dari tantangan-tantangan bersaing yang akan dihadapi oleh organisasi, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang.
Teknologi produksi: teknologi yang digunakan untuk sektor ini haruslah sesuai dengan kebutuhan para petani di Indonesia. Jangan hanya terpakau dengan kecanggian alat produksi lalu kita meniggalkan alat-alat tradisional yang sebenarnya masih cukup berguna. Contoh yang paling sederhana adalah penggunaan cangkul syukur-syukur kalau para petani mempunyai kerbau atau sapai. Mengapa ini harus dipertahankan: dikarenakan hasil yang diperoleh akan lebih optimal dari pada penggunaan traktor dan mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak. Selain itu rasa beras yang dihasilkan sangat jauh berbeda dengan beras yang dihasilkan oleh full mekanisasi. Selain alat untuk mengerjakan pertanian, hal terpenting lain adalah teknologi pengairan. Ini sangat penting untuk menunjang sektor pertanian untuk melakukan proses produksi. Bibit unggul dan ketersediaan pupuk dan pestisida juga ikut menunjang dalam proses kegiatan tersebut.
Organisasi pertanian: Sudah tidak jamannya lagi para petani bekerja sendiri-sendiri untuk memperoleh hasil maksimum. Hal ini dikarenakan keterbatasan informasi dan teknologi lebih besar dihadapi oleh individu-individu, dari pada organisasi. Dengan membentuk suatu organisasi para anggota bisa saling bertukar informasi, memperkuat kedudukan dan lebih mudah mengatasi masalah. Kilmann mengemukakan lima faktor sukses organisasi, yaitu kultur, manajemen, keahlian, team building, struktur, dan sistem kompensasi. Sebaliknya, McKinsey memperkenalkan tujuh elemen organisasi, yaitu strategi, struktur, sistem, staf, gaya (style), keahlian, dan tujuan-tujuan (Peter dan Waterman, 1982).
Akses pasar: Dalam rangka pengembangan pasar, khususnya akses pasar eksport memiliki beberapa langkah strategik: Pengembangan komoditas pertanian, penetapan komoditas unggulan, fasilitas dan penyerdehanaan prosedur eksport, pemasaran produk pertanian di luar negeri dan ketapatan waktu pengiriman. Selain hal diatas, akses pasar internasional sangat tergantung pada ketersedian informasi pasar dan peranan pemerintah dalam melobby pemerintah Negara-negara tujuan eksport. Di dalam akses pasar ini-lah terletak kunci keberhasilan pertanian Indonesia. Apakah akan Berjaya atau akan menemui ajalnya.
Kultur pertanian: Pembetukan sebuah kultur pertanian tidak boleh dianggap remeh. Kenapa? Karena sebuah kultur pertanian merupakan kumpulan nilai yang harus menjadi pegangan bagi para petani Indonesia. Untuk memahami tindakan yang dipertimbangkan untuk diterima dan yang tidak diterima dalam proses produksi. Implementasinya dalam bisnis pertanian, terbentuklah komitmen yang kuat dalam diri petani terhadap value chain dalam memuaskan kebutuhan pasar. Komitmen ini dibangun melalui pembentukan nilai-nilai, seperti menghargai orang lain, kerja keras, dan solidaritas sosial yang tinggi.

Beberapa strategi pokok
Sektor pertanian tidak akan pernah lepas dari fungisnya sebagai sumber utama untuk penyediaan bahan pangan. Produksi pertanian merupakan cabang usaha bangsa kita yang dikenal dan dikerjakan sejak jaman purbakala. Dalam zaman kolonial Belanda produksi pertanian kita sanggup membuat bangsa ini mengalami self supporing/ swasembada pangan (1940). Tetapi sejak kemerdekaan dan sampai sekarang tiap tahun kita selalu mengimport hasil pertanian. Bahkan tiap tahun semakin bertambah besar.
Segala upaya selama 64 tahun setelah proklamasi kemerdekaan peningkatan produksi pertanian masih terus menjadi masalah utama. Meskipun revolusi hijau dan social engineering di bidang produksi telah berhasil mengejar tingginya pertumbuhan penduduk. Dengan semakin maraknya import hasil-hasil pertanian sebagai akibat dari perjanjian Pertanian( Agreement on Agriculture) dengan WTO membuat sektor pertanian dalam negeri semakin terjepit. Maka strategi pengendalian dari sisi pola konsumsi menjadi semakin penting. Dengan demikian konsumsi barang importlah yang diperlambat sambil terus meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri.
Sementara ketahanan pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi sektor pertanian untuk dapat menumbuhkan sumber daya manusia dan generasi muda untuk dapat melanjutkan pembangunan yang berkelanjutan. Maka masih ada 3 sumber daya alam di sektor pertanian yang masih harus dikembangkan. Sehingga secara komersial akan bernilai tambah tinggi, sehingga dapat menjadi sektor primer penggerak perdagangan internasional Indonesia. Pertama adalah indistrialisasi sektor pertanian, kedua kehutanan dan ketiga adalah perikanan dan kelautan.
Dari ketiga hal diatas penulis tertarik untuk membahas sektor kehutanan. Sektor kehutanan merupakan sumber pendapatan yang sangat potensial dan belum dikembangkan oleh Negara Indonesia. Yaitu pengolahan yang terkait dengan eksploitasi jasa lingkungan. Baik yang bersifat lokal maupun global. Yang bersifat global adalah sifat hutan yang mampu menangkap emisi karbon(carbon sequestration) yang dihasilkan dari berbagai industry, baik yang ada di Indonesia maupun di Negara lain. Industri-industri ini, telah menghasilkan emisi karbon yang sangat berlebihan, sehingga menimbulkan efek rumah kaca(green house effect) yang dapat membahayakan kelangsungan hidup umat manusia. Hal ini akan menciptakan pasar bagi perdagangan karbon(carbon trade) dan posisi Indonesia sebagai penjual jasa dalam hal carbon sequestration ini akan sangat besar mengingat kemungkinan mengembangkan hutan-hutan tanaman dimasa yang akan dating.
Jasa lingkungan dari hutan yang bersifat local dan tak kalah pentingnya adalah: dalam bentuk penyedian air bagi kepentingan pembangkit listrik dan Industri. Selama ini jasa lingkungan selama ini sudah dikompesasikan dengan menggunakan dana hibah Global Environmental Fund(GEF), namun kita tidak tahu apakah dana tersebut cukup untuk mebangun system perhutanan Negara kita.

Akses pasar produk-produk pertanian: Standar ganda Negara maju
Potensi penuh untuk menyetarakan pembangunan ekonomi antara Negara berkembang dan Negara maju dapat diwujudkan jika Negara-negara berkembang mempunyai akses pasar terhadap Negara maju. Tapi sangat disayangkan pemerintahan negara maju menciptakan hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional. Dampaknya komoditi pertanian Negara-negara berkembang sulit sekali menembus pasar Negara maju.
Saat petani kecil memasuki pasar dunia, mereka menghadapi hambatan-hambatan impor yang besarnya empat kali lipat dari produsen Negara-negara maju. Pembatasan perdagangan oleh Negara maju, membebani Negara-negara berkembang hingga mencapai $100 Milyar/tahun. Biaya jangka panjang yang berhubungan dengan hilangya peluang investasi dan hilangnya dinamika ekonomi tentunya lebih besar lagi.
Membaiknya akses pasar dapat menjadi alat yang ampuh bagi pemberantasan ketidaksetaraan pembangunan antara Negara maju dan Negara berkembang. Terutama jika dikaitkan dengan strategi domestik untuk memperluas kesempatan Negara-negara berkembang. Beberapa prioritasnya adalah sebagai berikut:
1.Akses bebas pajak dan bebas kuota bagi Negara-negara berkembang
2.Penurunan tariff yang dibebankan untuk eksport, sehingga tariff yang dikenakan oleh Negara berkembang tidak lebih dari 5%.
3.Larangan yang bersifat komprehensifterhadap subsidi eksport dan restrukturisasi subsidi pertanian yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan dan sosial, bukanya untuk peningktan out-put hasil produksi.
4.Pengakuan hak atas Negara berkembang terhadap system pertanian mereka untuk mewujudkan ketahan pangan Negara-negara berkembang.
Perubahan-perubahan diatas akan menciptakan lingkungan kondusif dalam perdagangan internasional. Perubahan-perubahan tersebut akan menimbulkan peluang-peluang baru bagi Negara sedang berkembang untuk meningktakan produksi komoditas pertanian mereka. Tapi harus diingat, bahwa membaiknya akses pasar hanya merupakan salah satu persyratan dalam memperbaiki hubungan perdagangan antara Negara maju dan berkembang. Banyak negera-negara sedang berkembang yang kekurangan infrastruktur untuk menunjang produksi komoditas eksport pertanian mereka.
Penutup
Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional secara berkelanjutan dan menjadikan sektor pertanian sebagai sektor primer penggerak perdagangan Indonesia. Maka mau-tidak mau, solusinya adalah mendekati dua sisi, yaitu sisi permintaan dan sisi produksi, termasuk perdagangan(eksport-Import).
Dari sisi produksi, masalah yang harus diselesaikan adalah semakin menyempitnya lahan pertanian, terutama di Jawa akibat pembangunan yang perencanaannya kurang baik. Dengan memindahkan sentra produksi di luar jawa atau membatasi pembangunan di Jawa mungkin bisa menjadi salah satu alternatif yang bisa di pakai. Dari segi penciptaan lapangan kerja juga harus diperhatikan. Bukankah lapangan kerja yang menyerap pekerja paling banyak adalah sektor pertanian? Ini juga harus dipecahkan secara bersama.
Masalah kedua adalah penurunan produktifitas pertanian. Bisa kita lihat dari data-data diatas, komoditas yang paling stabil hanyalah komoditas CPO, lain dari itu semua mengalami gejala mandeknya produktifitas yang sangat berarti. Jika kita mundur lebih kebelakang, pada awal REPELITA I(1969) produktifitas padi mencapai 2,25 ton per hektar, dan setelah 20 tahun (1989) mencapai 4,25 ton atau naik 2 kali lipat. Maka pada tahun-tahun berikutnya kenaikan itu meningkat secara menurun(diminishing return) bahkan cenderung mandek. Mahalnya harga sarana produksi pertanian, rendahnya intensitas penyuluhan kepada petani, kurangnya akses pasar merupakan sebagian factor mengapa hal di atas bisa terjadi.
Dari sisi konsumsi pertanian, ada beberapa hal yang penting dan perlu dipertanyakan, antara lain soal konsumsi pangan kita. Berdasarkan perhitungan neraca bahan pangan, yang diambil penulis dari tulisan Dibyo Prabowo. Beliau menuliskan bahwa, pada tahun 2000 total konsumsi per kapita per tahun adalah 149 Kg per tahun. Adapun perhitungannya adalah: total konsumsi sama dengan total produksi dikurangi 11% benih, pakan, ditambah import. Total konsumsi(31,446 juta ton), total produksi(31,647 ton), 11 persen kehilangan(3,47 juta ton), dan import (3,33 juta ton). Dengan penduduk 210,5 juta, konsumsi per kapita sama dengan 149 Kg per tahun.
Jika yang dituliskan pak Dibyo benar maka konsumsi pangan harian masyarakat Indonesia sebesar 0,41 Kg. Mari kita lihat data lain, yang akan penulis ambilkan dari data Susenas di tahunyang sama. Pada tahun itu jumlah beras import adalah 3,33 juta ton.Dengan produksi sebesar 31,647 juta ton dikurangi 11 persen untuk bibit, pakan dan kehilangan, maka produksi bersih adalah 28,166 juta ton atau 28,2 juta ton. Maka didapatlah surplus 2,4 juta ton.
Maka pertanyaannya, mengapa kita masih mengimport? Padahal produksi dalam negeri sudah mengalami surplus. Berapa devisa yang terbuang percuma? Mungkin saja perhitungan dan data diatas kurang akurat. Tapi satu hal yang terlihat jelas, bahwa produksi pertanian merupakan keunggulan komperatif dan kompetitif bangsa ini untuk bersaing di dunia Internasional. Mungkinkah sektor pertanian ini bisa menjadi sektor penggerak dalam perdagangan Indonesia? Hanya bangsa ini yang bisa menjawabnya. Sebagai penutup ijinkan penulis untuk menuliskan sebuah fakta sejarah yang tak bisa dipungkiri, yaitu: “Tak ada satupun negeri yang kini menjadi Negara industry maju tanpa didahului dan diiringi dengan kemajuan sektor pertaniannya”. Penulis berharap tulisan ini bisa sedikit memberikan manfaat untuk yang membacanya dan untuk menuju Negri Indonesia kita menjadi lebih baik. Amin.

Daftar pustaka
Bank Indonesia, “ Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012” Integrasi ekonomi ASEAN dan Prospek perekonomian nasional.
Daniel, Moehar. Pengantar ekonomi pertanian,Medan: Bumi aksara, 2004
Hermanto. Perdagangan intra-industri Indonesia di pasar dunia, Jurnal ekonomi pembangunan vol 7, no 1, 2002
Kwik Kian Gie. Kebijakan dan strategi pembangunan nasional: sektor pertanian sebagai “prime mover” pembangunan ekonomi nasional, Majalah perencanaan, edisi 34 tahun 2003.
Lindert,dan Kindleberger. Ekonomi Internasional edisi delapan, Jakarta: Erlangga, 1988
Malian, Husni. Kebijakan perdagangan internasional komoditas pertanian Indonesia, Juni 2004.

Tidak ada komentar: