01/07/11

MAU KEMANA ARAH GERAKAN BELI PRODUK INDONESIA

Gerakan beli produk (GBI) RI yang dideklarasikan pada hari minggu kemarin di kota Solo (kompas 27/06/2011) mencerminkan sebuah kekuatiran dan rasa prihatan pengusaha nasional akan preferensi konsumen terhadap produk buatan dalam negeri. Isi dari GBI adalah, menyadarkan kembali bahwa Indonesia mempunyai kekuatan civil society dalam menggerakkan perekonomian lokal dengan jalan membeli produk yang dihasilkan perusahan lokal. Isu besar yang diusung untuk menggerakkan civil society adalah rasa persaudaraan dan nasionalisme karena tanpa hal tersebut maka mustahil civil society akan bergerak. Nah pertanyaannya, sanggupkan GBI ini menggerakkan isu besar tersebut tanpa harus tergantung pada isu tersebut? Dalam kalimat lebih pendek, kualitas barang dan jasa pengusaha lokal juga layak untuk dibeli serta dihargai.
Jantung Perkera
Mengapa sih kita tidak atau kurang suka memakai produk dari Indonesia? Sampai-sampai 412 pengusaha dari 17 kota harus berkumpul sampai harus membuat gerakan GBI. Tentu jawabannya akan beraneka ragam. Mulai dari kualitas, harga, pelayanan sampai pada gaya hidup. Belum lagi ketakutan akan persaingan dari luar, Cina misalnya. Dalam banyak hal bisa dikatakan bahwa, kita sebenarnya berulang kali mengulang sejarah meskipun dalan kasus yang berbeda secara permukaan namun sama dalam hal substansi. Contoh, jaman Majapahit dengan kekuasaan yang begitu besar, ternyata sistem nilai tukarnya banyak dipengaruhi oleh sistem nilai tukar Cina. Ini mengartikan bahwa masyarakat lebih tertarik mengkonsumsi barang Cina dari pada barang hasil produk sendiri. Ini artinya sikap kita lebih cinta asing dari pada negara sendiri memang sudah membudaya. Contoh lainnya, kita dari dulu tahu bahwaperlakuan yang diterima beberapa TKI pembantu rumah tangga mendapatkan perlakuan yang buruk dari majikan, seperti diperkosa, dipukuli, tidak dibayar sampai dikenakan hukuman mati dan pemerintah selalu telat merespon hal tersebut. Bahkan sampai detik ini pemerintah selalu mengulang kesalahan yang sama. Kitapun juga sudah tahu dari awal bahwa produk lokal kurang mampu bersaing pada pasaran internasional. Seperti industri tekstil, industri sepatu bahkan sampai industri migas kita. Namun kesalahan yang dibuat hanya berputar-putar disekitar situ. Memang mekanisme perekonomian kita dari dulu lebih dirancang untuk berkecendurungan menyingkirkan perkembangan bisnis lokal.
Apakah masalahnya sesederhana itu? Jawabannya tidak, tetapi dari kacamata kita sebagai orang awam, pasti akan bersikap sederhana terhadap permasalahan tersebut. Visi Indonesia pada tahun 2025 kedepan adalah meningkatkan porsi sektor sekunder dan tersier. Dengan fokus mengundang FDI dalam skala besar. Jika benar begitu, maka pemerintah lebih memporsikan dirinya lebih besar untuk menarik FDI dari pada mengembangkan daya saing pengusaha lokal. Kecenderungan mekanisme perekonomian Indonesia sejak orde baru lebih diorientasikan pada mekanisme pasar.. Padahal USA sendiri pada tahun 1820-1950 memberikan proteksi hambatan non tarif sebesar 40% dan sampai saat ini USA masih menerapkan hal tersebut dengan bentuk yang berbeda, seperti perang mata uang maupun pelarangan suatu produk dengan alasan tidak memenuhi standard. Apakah mekanisme pasar jelek? Tidak mekanisme pasar tidak jelek, namun fluktuasi dari mekanisme pasar itulah yang harus dikontrol. Kalau dianalogikan, fluktuasi pasar seperti kuda liar tanpa pawang. Dan selama ini, kebijakan yang dibuat kurang bisa mmenjadi pawang yang baik bagi kuda liar tersebut.
Prinsip mekanisme pasar adalah: bagaimana menciptakan sebuah kondisi mendekati persaingan sempurna. Artinya free exit dan free enter semakin tinggi. Dimana perusahaan yang sanggup bertahan harus memiliki superior teknologi dan manajemen. Sehingga mampu menghasilkan produk berbiaya rendah, kualitas bagus maupun mampu menggugah hasrat berbelanja lewat iklan. Inilah jantung masalah daya saing kita. Bagaimana cara melawan? Pepatah mengatakan jika hanya sebatang lidi maka mudah dipatahkan, namun beda cerita jika sebatang lidi itu terikat jadi satu akan sulit untuk dipatahkan.
Senjata Penyangga
Kondisi saat ini memang tidak memungkinkan untuk kita memberikan proteksi pada produk dalam negeri dalam bentuk hambatan tarif. Namun rasa nasionalisme itulah yang masih bisa kita harapkan memberikan solusi. The Root of Economics is Nasionalism itulah kesimpulan dari Prof Joan Robinson guru besar ekonomi Cambridge. Gerakan GBI ini merupakan tanda bagus untuk menuju gerakan civil society guna mempengaruhi preferensi konsumen. Namun yang patut digarisbawahi adalah janganlah kita terlupa pada pengembangan perusahaan. Karena bagaimanapun kualitas dalam diri itu merupakan modal paling utama bagi kita. Lebih baik lagi jika GBI memberikan wadah kelembagaan dalam bentuk koperasi. Sehingga ada sebuah perubahan dari ekonomi kompetisi zero sum game menjadi ekonomi kekeluargaan. Karena akan menjadi percuma gerakan beli produk RI jika tidak dilembagakan.
Penyakit utama kita adalah mudah lupa atau amnesia terhadap sejarah. Koperasi adalah soko guru nasional, kita sering lupa terhadap hal tersebut. Koperasi adalah kumpulan orang yang menjadi pelanggan dan pemilik sekaligus. Dari sinilah semangat menolong diri sendiri secara bersama-sama memperoleh wujud awal. Dari sinilah wujud nasionalisme bisa dikembangkan kembali. Banyak alasan mengapa GBI harus dilembagakan dalam bentuk koperasi. Namun cukuplah satu alasan yang mewakili semua: Karena koperasi merupakan senjata penyangga bagi keberlanjutan gerakan beli produk RI (GBI) .
Gigih Pringgondani Mahasiswa FEB Unair

Tidak ada komentar: