01/11/11

PERLUKAH DIBANGUNKAN SEKOLAH MORAL NASIONAL?

Melihat hasil jajak pendapat kompas (28/10/2011) mengenai orientasi sikap kalangan muda saat ini, penulis teringat akan sebuah seminar yang kebetulan dihadiri penulis tepat satu hari sebelumnya (27/10/2011) di Universitas 17 Agustus Surabaya. Seminar yang bertemakan “ Menemukan Kembali Republik kita” lebih dari 50% diisi oleh para orang yang sudah berusia 45 tahu keatas, sedangkan anak-anak muda yang hadir pada waktu itu kebanyakan merupakan aktivitis kampus yang tergabung dalam perhimpunan pergerakannya sendiri-sendiri dengan masing-masing ideologinya. Bagaikan langit dan bumi, satu hari sebelumnya (26/10/2011) penulis coba hadir pada seminar MLM, hampir 80% yang hadir merupakan anak-anak muda. Luar biasa, karena pada hari ini seminar yang membahas tentang bangsa dan negara tidaklah menarik dibandingkan seminar yang mengajari cara cepat untuk menjadi kaya.
Ingin Cepat Menjadi Kaya
Menjadi orang kaya merupakan cita-cita sejak masa yang hampir tidak bisa ditetapkan kapan. Sehingga sering kali individu-individu mencari jalan pintas untuk cepat menjadi kaya dengan cara yang ilegal dan sering memberikan dampak negatif terhadap tatanan. Keinginan untuk cepat menjadi kaya, membuat individu-individu ekonomi selalu berfikir kreatif menciptakan cara-cara baru, yang akhirnya juga menimbulkan masalah-masalah baru. Masalah baru yang ditimbulkan bisa bersifat secara individual seperti timbulnya perasaan iri kepada tetangga yang lebih kaya maupun dapat timbul secara nasional seperti kasus penembakan di wilayah PT Freeport Papua ataupun seperti yang dikemukakan oleh hasil jajak pendapat Kompas tentang tingkat kepedulian kalangan mudah terhadap persoalan bangsa, sungguh ironi.
Ketika suatu sistem kehidupan menciptakan sebuah strutur sosial baru, disaat itulah kekayaan, cepat menjadi kaya dan menumpuk kekayaan menjadi sebuah gaya kehidupan yang baru. Sistem sosial modern, menempatkan orang kaya mencapai status sosial yang begitu tinggi dan menjadi sebuah cita-cita yang harus dicapai oleh sebagian anak muda. Dalam perspektif tersebut, tidak mengherankan bila anak-anak muda di Indonesia tumbuh menjadi anak muda yang bersikap lebih mementingkan dirinya sendiri alias egois. Pemaparan hasil jajak pendapat Kompas, bukan berarti menggambarkan sebuah masa depan yang suram dan tidak dapat diperbaiki. Penulis teringat akan perkataan Adam Smith dalam bukunya the theory of moral sentiments yang berbunyi “ bagaimanapun egoisnya seorang manusia, ada beberapa prinsip dalam dirinya yang membuat dia berbuat baik untuk orang lain, dan menahan kesenangannya sendiri, meski dia tidak memperoleh apa-apa darinya selain sebuah kebahagian melihat orang lain senang. Inilah yang harus kita bangkitkan dan kita tanamkan pada anak-anak muda, pertanyaan selanjutnya bagaimana caranya?
Membangun Sekolah Moral Nasional?
Mungkin ide ini terkesan tidak terlalu menarik, bukan hal baru dan mungkin akan dipandang sebelah mata mengingat sulitnya mengukur apa yang dimaksud dengan moral. Moral dalam sebuah kedudukan sosial lebih tinggi dari hukum. Sebuah hukum merupakan bentuk paksaan kepada individu-individu untuk menciptakan masyarakat yang bermoral. Hari ini, bisa kita saksikan secara bersama-sama dengan mata telanjang bagaimana berita-berita di media massa sungguh mencemaskan dan menakutkan. Mulai pemberitaan yang bersifat individual seperti kasus pembunuhan karena dilatarbelakangi cek-cok tetangga, sampai masalah nasional seperti korupsi, kekerasan atas nama agama sampai kasus gerakan sparatis di Papua. Semua itu diakibatkan oleh penurunan moral baik negara maupun pasar. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, hal tersebut disebabkan karena sistem ekonomi Indonesia hanya memuja individualitas dengan mengabaikan sebuah sosialitas. Disinilah sebenarnya moral harus menjadi jembatan yang menghubungkan kepentingan individualitas dengan sosialitas. Seperti halnya kemerdekaan Indonesia maupun perilaku konsumsi, tidaklah bersifat alami namun terwujud dalam proses penciptaan atau rekayasa. Begitupun juga dengan pembangunan moral, tidak bisa kita serahkan pada mekanisme pasar, yang kemudian dengan sebuah tangan ajaib dan tak tampak mampu menciptakan generasi-generasi mudah yang bermoral serta peduli dengan Bangsanya.
Pemikiran seperti itu tentu akan mengakibatkan sebuah absurditas, yang akan menambah serangkaian daftar panjang permasalahan di negeri ini. Hanya melalui jalur pendidikan-lah kemungkinan besar hal tersebut dapat terwujud. Namun, hari ini berbabagai institusi pendidikan, baik pemerintah maupun non-pemerintah kebanyakan hanya menciptakan lulusan-lulusan yang bagus dalam segi individualitas, namun saat dihadapkan pada dekendensi moralitas, terlihat sebuah kegagalan besar pada sebagian besar institusi-institusi pendidikan kita. Bukan-kah kita dapat melihat, siapa yang terlibat kasus-kasus besar di Negara ini, bukan-kah lulusan sebuah institusi pendidikan? Dalam sekup mikro, bisa kita lihat orang disekitar kita, bagaimana budaya silahturami dan hormat-menghormati telah terkikis. Melihat kenyataan tersebut, perlukah kita membangun sebuah sekolah nasional yang khusus mengajarkan tentang moral dan rasa cinta terhadap tanah air? Kalau jawaban dalam hati nurani mengatakan “Iya” maka kita harus memikirkan pertanyaan selanjutnya, siapa yang mengajar? Kalau jawaban mayoritas dari kita adalah “tidak” maka kita harus memikirkan pertanyaan selanjutnya, Bagaimana cara yang efektif dan efisien untuk menanamkan moral dan rasa cintah tanah air kepada generasi muda secara massif? Namun ada satu faktor yang menghubungkan antara jawaban iya dan tidak, yaitu: jika moralitas mencerminkan bagaimana seharusnya dunia ini bekerja dan ekonomi menggambarkan bagaimana kondisi rill Indonesia saat ini.

Tidak ada komentar: