10/11/11

YUK KEMBALI KELAUT

Who is command the sea, He is command the world sebuah ungkapan yang begitu masyur didunia hingga saat ini masih menjadi pegangan negara-negara besar di seluruh dunia. Sejarah lautan merupakan sejarah panjang yang sering kali menimbulkan peperangan besar tak terkecuali di Indonesia. Mulai dari penyatuan nusantara sejak jaman Sriwijaya sampai peperangan merebut Irian Barat semuanya tidak lepas dari sektor yang satu ini. Namun hingga saat ini mengapa sektor kelautan masih terabaikan? Meskipun sudah dibicarakan diberbagai seminar-seminar, kajian ilmiah sampai pada surat kabar nasional, tidak terkecuali harian Kompas yang terlihat konsisten dalam memberitakan masalah kelautan Indonesia.
Headline kompas pada tanggal 8/11/2011 memperingatkan dengan keras bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak diikuti dengan kualitas hidup warga negara Indonesia. Pertumbuhan ekonomi naik sebesar 6,5% namun peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) secara global terdegradasi 16 peringkat dari 108 menjadi 124 dunia. Seandainya penurunan peringkat tersebut terjadi pada komperisis sepak bola misalnya Seri A liga Italia, tentu kesebelasan Indonesia sudah mengalami degradasi ke Seri B dan pelatih atau manajer tim bisa langsung dipecat tanpa ada pembelaan lagi. Untung Indonesia adalah sebuah negara demokrasi, sehingga selalu ada justifikasi pembenaran mengapa peringkat IPM Indonesia sampai terdegradasi 16 peringkat. Pembenaran yang sebenarnya kurang intelek datang dari staf ahli kementrian pendidikan dan kebudayaan bidang sosial dan ekonomi, Beliau memberikan statementnya bahwa: penurunan peringkat tersebut merupakan hal wajar dikarenakan jumlah negara yang diukuroleh UNDP meningkat dari 169 negara menjadi 187 negara, sungguh sebuah argumentasi yang kurang cerdas. Seakan-akan seorang staf ahli itu lupa bahwa masalah ekonomi adalah urusan mata pencarian (livelihood).
Untuk membangun sebuah perekonomian yang berkualitas yang paling mudah adalah melihat keunggulan absolut dan komperatif negara ini. Keunggulan absolut suatu negara dapat dilihat dari kondisi geografis-nya. Kondisi geografis yang lebih dari 2/3 wilayah-nya merupakan lautan merupakan keunggulan abolut yang belum tentu dimiliki oleh negara-negara lain didunia. Dilaut sebenarnya kita mempunyai banyak-banyak keunggulan, mulai dari sektor perikanan, sektor pariwisata, transportasi, daerah pertahanan dan beberapa kandungan mineral didalammnya. Namun itu semua belum termanfaatkan dengan baik dikarenakan dua hal: Pertama masalah financial yang kedua masalah ketertarikan anak-anak muda untuk mengelola laut-nya.
Politik Anggaran dan Perubahan Mindset
Sudah lazim di negeri ini, bahwa politik anggaran saat pembahasan RAPBN dan APBN selalu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek dan saat APBN selesai di sah-kan anggaran untuk pembangunan infrastruktur kelautan cenderung kecil apalagi untuk penelitian dan pengembangan sektor ini. Sebenarnya pembangunan sektor kelautan memiliki sebuah harapan yang cerah saat President SBY menerbitkan Inpres nomor 5 Tahun 2005 yang berisi tentang pemberdayaan industri pelayaran nasional. Dalam inpres tersebutdiinstruksikan kepada seluruh Gubernur beserta jajarannya untuk menerapkan asas cabotage. Secara bebas, arti asas cabotage adalah mewajibkan seluruh kegiatan pengangkutan kapal domestik dilakukan oleh kapal-kapal berbendera Indonesia. Namun dalam perjalanannya penerapan asas cabotage terkendala oleh dua hal yaitu kendala teknis dan kendala sumber daya manusia.
Kendala teknis meliputi: Pertama, kapal-kapal Indonesia rata-rata sudah berumur tua. Kedua, industri galangan kapal belum begitu berkembang. Ketiga, dukungan perbankan masih rendah dan keempat tidak adanya intensif fiskal untuk mereduksi kendala teknis tersebut. Sedangkan kendala sumber daya manusia meliputi: Pertama, kurang adanya minat generasi muda untuk bekerja disektor kelautan. Untuk hal tersebut, saya pernah membuktikan sendiri walaupun dalam sebuah penelitian yang diadakan dibeberapa wilayah pesisir Jawa Timur, hampir seluruh anak muda yang saya temui akan memilih bekerja disektor kelautan jika sudah sangat terpaksa. Kedua, rendahnya minat pemuda dikarenakan pengajaran tentang kelautan tidak ada didalam kurikulum mereka, bahkan untuk pelajaran muatan lokal sekalipun tidak ada. Sungguh sebuah ironi di negeri Maritim, negara dengan 2/3 wilayah lautan tetapi tidak ada sebuah pendidikan yang dapat menumbuhkan rasa cinta akan laut. Yang muncul pada berita-berita nasional tentang lautan sungguh sangat menyedihkan. Kalau tidak masalah nelayan yang makin hari makin terjepit, ya masalah tenggelamnya alat transportasi laut akibat dimakan umur.
Sebagai pembanding, sebuah buku yang diterbitkan oleh Organization for economic co-operation and development (OECD) dengan judul Globalisation, Transport and the Environment memberikan sebuah pernyataan yang jelas tentang masa depan transportasi laut. Globalisasi telah membuat pengiriman barang dengan menggunakan kapal terus meningkat dari waktu ke waktu. Masih menurut laporan OECD tenaga kerja pada bidang perkepalan masih didominasi oleh USA dan United Kingdom, bahkan jumlah tenaga kerja perkapalan Indonesia masih kalah banyak dengan India yang notabennya adalah negara daratan. Akhir kata banyak alasan mendasar mengapa sektor kelautan dapat menggerakkan pertumbuhan berkualitas. Namun dengan kondisi pengangguran yang mencapai 8 juta lebih, alangkah baiknya bila sektor kelautan kita dapat menampung paling tidak 4 juta pekerja yang dapat disebar diseluruh Indonesia, dengan demikian pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan berkualitas karena berhasil mengurangi jumlah pengangguran.

Tidak ada komentar: