21/04/10

MEMBANGUN SEKTOR KELAUTAN SEBAGAI SALAH SATU PILAR UTAMA DALAM MEMBANGUN PEREKONOMIAN INDONESIA

Dari sabang sampai merauke berjajar pulau-pulau,sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia. Indonesia Negara kepulauan terbesar didunia dengan kekayaan yang sangat melimpah ruah sehingga dinamai oleh Multatuli sebagai Zamrud Khatulistiwa. Dengan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km Indonesia memiliki potensi kekayaan laut yang sedemikian besar. Namun hingga saat ini potensi yang demikian besar itu belum bisa dikelola dengan baik oleh bangsa Indonesia. Dikarenakan pembangunan Negara ini yang masih menitikberatkan pada pembangunan daratan.
Peluang dalam mengembangkan potensi laut ini sangat besar. Menurut data dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Bogor tahun 2002. Jumlah PDB dari tahun 1995 sampai tahun 2002 terus meningkat. Dari 12,38% menjadi 23,57% pada tahun 2002. Bidang kelautan terdiri dari berbagai sector yang dapat dikembangkan untuk memajukan dan memakmurkan bangsa Indonesia, yaitu: 1. Perikanan tangkap; 2. Perikanan budidaya; 3. Industri pengolahan hasil perikanan; 4. Industri bioteknologi kelautan; 5. Pertambangan dan energy; 6. Pariwisata bahari; 7. Angkutan laut; 8. Jasa perdagangan; 9. Industri maritime; 10. Pulau-pulau kecil; dan 11. Sumberdaya non-konvensional; 12. Bangunan kelautan (konstruksi dan rekayasa); 13. Benda berharga dan warisan budaya (cultural heritage); 14. Jasa lingkungan, konservasi dan biodeversitas. Melihatnya prospek manfaat dan nilai ekonominya yang besar mengembangkan sector kelautan merupakan jalan pintas untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Indonesia.
Mengacu pada teori Rostow, untuk memajukan sektor kelautan ada tiga peran besar yang harus dilakukan oleh sektor kelautan agar proses pembangunan berkelanjutan sektor kelautan : 1) Sebagai sumber gizi yang baik untuk kesehatan dan kecerdasan. 2) Harus menciptakan pasar yang makin besar bagi produk sektor Industri. 3) Harus menyediakan transfer dana sektor modern dalam bentuk pajak, tabungan, investasi atau secara langsung melalui penekanan harga (term of trade).
Sebenarnya kalau kita berpikir lebih dalam di lautlah sebenarnya keunggulan kita. Baik keunggulan komparatif maupun keunggulan absolute. Hanya sayang kita kalah dalam keunggulan kompetitivenya. Sebagai sebuah Negara maritim sudah seharusnya paradigma pembangunan harus diubah, dari yang berfokus pada daratan sedikit demi sedikit bergeser pada pembangunan kelautan. Terbukanya, perdagangan bebas dengan Cina, bisa kita manfaatkan sebagai momentum untuk membangun kembali sektor kelautan dan sebagai tandingan terhadap produk-produk dari Negara Cina. Pertanyaannya mampukah kita memanfaatkan peluang ini?
Sebagai bagian integral dari perekonomian global, mau tidak mau Indonesia harus siap menghadapi persaingan dengan Negara-Negara didunia. Tidak hanya dengan Cina, Indonesiapun akan menghadapi tantangan perdagangan yang sangat serius dari Negara-Negara maju. Untuk menghadapi itu semua Indonesia harus mengintegrasikan ekonomi dari wilayah satu ke wilayah lainnya. Solusi yang memungkinkan untuk mengintegrasikan masing-masing wilayah Indonesia adalah pembangunan infrastruktur lautan. Dengan mendirikan pelabuhan-pelabuhan yang layak untuk melakukan aktifitas ekonomi berskala nasional.
Untuk membangun sektor kelautan Indonesia diperlukan Sumber daya-sumber daya manusia yang berkualitas dan mempunyai rasa semangat kebaharian. Namun pada kenyataannya saat ini sumber daya manusia yang dibutuhkan itu masih sangat kurang, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa pembangunan sektor kelautan terkesan berjalan ditempat. Kemajuan atau kemunduran suatu bangsa sangat tergantung kepada sumber daya manusia yang dimiliki oleh Negara tersebut.
Di bidang kelautan nasional, melihat peluang dan tantangan yang sangat besar, SDM dan IPTEK adalah syarat mutlak yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Misal, bagaimana mengoptimalkan sumberdaya mineral dan gas di lepas pantai. Coba saja, berdasarkan data geologi, diketahui Indonesia memiliki lebih dari 60 cekungan minyak di dasar laut yang belum dieskplorasi. Tentu ini selain membutuhkan IPTEK juga SDM yang handal di bidangnya.
Belum lagi pada bidang perikanan kelautan yang menurut Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Bogor dibagi kedalam 3 sektor yaitu perikanan tangkap, perikanan budidaya dan industri pengolahan hasil perikanan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan DKP, sumberdaya manusia yang berkecimpung di sektor ini lebih dari 50 (2006) adalah lulusan sekolah dasar, yakni untuk SDM pelaku perikanan tangkap sebesar 56 berpendidikan SD. Untuk pen-didikan SLTP sebesar 26, tidak tamat SD sebesar 6. Sisanya SLTA dan sarjana.
Selain permasalahan tentang kurangnya sumber daya manusia, sektor kelautan menghadapi tekanan lain dari sisi permintaan. Sama dengan kendala yang dihadapi sektor pertanian daratan, harga jual hasil produksi mereka mudah sekali dipermainkan oleh spekulan-spekulan pasar. Di dalam negeri nelayan tradisional terkooptasi dalam sistem bagi hasil yang tidak adil. Sehingga kemiskinan struktural nelayan sulit diselesaikan. Untuk itu ke depan perlu adanya bagi hasil agar nelayan mampu menaikan produktivitas serta mengangkat daya saing perikanan Indonesia.
Dewasa ini sektor ini semakin menunjukkan prospek yang bagus. Di era otonomi dan pergeseran paradigma pembangunan ekonomi dari perencanaan terpusat menjadi perencanaan regional menyebabkan daerah-daerah mempunyai wewenang yang lebih besar untuk mengelola perekonomiannya sendiri. Akan tetapi selain ada sisi positifnya, otonomi daerah memiliki sisi negatif yang cukup mmerisaukan. Terjadinya penjualan hak ekonomi kepada pengusaha-pengusaha besar untuk mengeksploitasi sumberdata ekonomi. Yang pada akhirnya menimbulkan dampak negatif yang sangat besar.
Salah satu contoh dari dampak negatif otonomi daerah adalah hilangnya hak ulayat laut dari suku evav, suku asli dari pulau Kei di Maluku Tenggara. Dimana hak eksploitasi laut yang oleh pemerintah Republik Indonesia diserahkan kepada PT. Mina Sinega. Sejak itulah orang-orang suku evav tidak bisa menikmati lagi hasil lautnya. Kehadiran perusahaan ini sangat sedikit mendatangkan keuntungan bagi warga pribumi, bahkan sebaliknya warga pribumi mendapatkan bau busuk dari timbunan ikan olahan mereka.
Inilah yang ditakutkan oleh para pengkritik kebijakan otonomi daerah. Melihat pada teori Arthur Lewis, yakni pertumbuhan 2 sektor: dimana perumbuhan sektor industri akan menghasilkan trade off bagi pertumbuhan sektor pertanian. Maka diperlukannya sebuah strategi agar sektor kelautan Indonesia tidak dibiarkan antara hidup dan mati. Mengacu kepada pendapat Simon Kuznet, mentransformasikan struktur ekonomi dengan titik berat kelautan ke titik berat industri kelautan.
Strategi untuk transformasi ekonomi harus dilakukan bertahap agar tidak terjadi ketimpangan yang berlebihan antara sektor tradisonal kelauatan dan sektor industri kelautan. Maka pada tahap awal, sektor kelautan tradisonal harus dibangun, ditingkatkan produktivitasnya supaya menghasilkan surplus. Surplus kemudian dieksport untuk menghasilkan devisa dan membiayai pembangunan sektor industri kelautan. Tahap pertengahan, membangun sektor industri kelautan yang baik sehingga menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi. Dan selanjutnya tinggal menjaga bagaimana agar dua sektor ini saling menopang antara satu dengan lainnya.
Bahkan didalam Islam sendiri Allah SWT menyerahkan lautan kepada umat Islam untuk dikelola dengan baik dan benar. Bahkan didalam Al Quran ada kurang lebih 40 ayat tentang lautan sebagai “ wasiat politik kelautan”. Maka tujuan utama dilaksanakannya seminar kali ini yang bertemakan “ Membangun kembali sektor kelautan Indonesia” bisa menjadi semacam penggugah kesadaran mahasiswa untuk menumbuhkan kembali tatanan budaya kelautan dan mengembangkan sektor kelautan ini. Pepatah lama mengatakan who is comand the sea, he is comand the world.

Tidak ada komentar: