07/06/10

BIARKAN AKU MENJADI AREK SUROBOYO YANG MENCINTAI INDONESIA

Sejarah dimualinya nafas hidup kota ini, diawali dengan pengusiran tentara tar-tar oleh Raden Wijaya founding father Majapahit. Pertarungan itu akhirnya dimenangkan oleh Raden Wijaya. Kemenangan ini berdampak pada pembuatan rancangan kota Surabaya untuk pertama kalinya pada Tanggal 31 Mei 1293 M, didesain sebagai kota pelabuhan untuk menyanggah perekonomian bagi kerajaan Majapahit.
717 tahun berlalu, kini kota Surabaya bukan lagi sebagai penyangga perekonomian Majapahit tapi menjadi pilar perekonomian sebuah Negara yang bernama Indonesia. Negara yang lahir pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 Wib di jalan Pengangsaan Timur no 56 Jakarta. Dengan usia yang baru mencapai 65 tahun, Negara Indonesia seperti balita yang baru bisa merangkak. Warga Negara yang menjadi komponen utama dalam Negara Indonesia baru belajar dan mempraktekkan bagaimana mengola Negara yang baik, jadi wajar jika sikap try and error masih menghinggapinya.
Secara konstitusi orang ber KTP Surabaya pastilah orang Indonesia, tapi orang Indonesia belum tentu orang Surabaya. Maka dari itu semboyan Negara Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika berbeda-beda tapi tetap satu jua. Pemikiran tentang penulisan semboyan ini tentu mengacu kepada karakteristik Indonesia sebagai bangsa, Indonesia sebagai Negara kepulauan dari Sabang sampai Merauke. Yang tentu mempunyai budaya, sejarah dan keunikan yang bermacam-macam dan tidak bisa disama ratakan. Dari semboyan ini mengkrucut menjadi Pancasila yang kita kenal sekarang ini.
Kembali ke Surabaya, ditinjau dari segi apapun tetap Surabaya lebih tua dari Negara Indonesia. Surabaya adalah kota yang unik dengan pribadi arek Suroboyonya yang khas. Kata budaya Jancuk misalnya hanya pantas dan pas diucapkan oleh Arek Suroboyo, baik nada, intonasi, soulnya, pitch control dan luapannya. Ini bukan kata-kata menghina dan melecehkan, tapi ini adalah kata yang memacu semangat, sebuah kata pelampiasan, sebuah kata untuk mengatakan kekaguman dan sebuah kata untuk mengungkapkan kesedihan. Jancuk hanya bias dimengerti oleh arek Suroboyo sejati.
Itu baru segi budaya kata, belum segi yang lainnya. Dari segi kecintaan terhadap Negara Indonesia tak perlu diragukan lagi arek-arek Suroboyo sangat mencintai Negara ini. Pertempuran 10 November 1945 adalah salah satu bukti betapa cintanya Arek Suroboyo akan kemerdekaan Indonesia. Dengan bermodalkan nekat dan MengAllahkan-Allah para pejuang dengan gagah berani menyerbu pasukan Gurkha Inggris. Pasukan elit dan terkuat dunia, dihadapi hanya bermodal nekat dan MengAllahkan-Allah. Tak peduli siapa yang menghalangi, bagi arek-arek Suroboyo waktu itu “Kemerdekaan Indonesia harga mati”. Semua itu dilakukan arek-arek Suroboyo demi cintanya terhadap Negara Indonesia.
Kultur khas arek Suroboyo tak akan pernah hilang dan jangan sampai hilang. Karena sebuah budaya merupakan komponen utama untuk membangun sebuah peradaban. Mengaju pada literatur buku Psikologi Budaya karangan David Matsumoto, budaya adalah sebuah konstruk sosiopsikologis, suatu kesamaan dalam sekelompok orang dalam fenomena psikologis seperti nilai, sikap, keyakinan dan perilaku. Budaya bukan berakar dari biologi maupun kebangsaan.
Dalam pengertian diatas budaya merupakan suatu konstruk individual-psikologis sekaligus konstruk sosial-makro. Artinya, sampai batas tertentu, budaya ada di dalam setiap diri kita secara individual sekaligus ada sebagai konstruk sosial global. Inilah yang mendasari pemikiran penulis mengapa semangat kedaerahan selalu muncul. Jika kita mengaku orang Indonesia, tentu kita akan sulit bertindak dan menentukan budaya dominant yang disebut Indonesia. Jangankan Indonesia, orang Jepang saja sulit untuk bertindak sesuai dengan apa yang dianggap sebagai budaya Jepang. Di Jepang ada yang dinamakan budaya Kansai dengan logatnya yang khas dan hingga kini tidak hilang malah dilestarikan.
Sikap dan perilaku orag Surabaya akan selalu muncul baik disadari atau tidak. Karena keyakinan penulis, budaya Surabaya merupakan fitrah dari orang Surabaya. Sebagaimana Fitrah dari manusia adalah Tauhid. Hal inilah sebetulnya kita gali dan kita pelajari lebih dalam, bagaimana budaya-budaya yang berbeda-beda itu bisa menyatu dan menyokong Negara Indonesia tercinta ini.
Suraboyo oh suroboyo, engkau dulu Berjaya kini mengalami nasib sebaliknya. Ibarat roda engkau berada didalam titik nadzir. Suroboyo dengan budayamu yang egaliter, demokratis keturunan dari gen pejuang dan pahlawan. Sekarang mengalami sebuah penurunan besar, dilihat dari klub besar Persebaya Suroboyo langganan juara yang kini megap-megap untuk bertahan di divisi utama, kesenian asli megap-megap mencai uang. Penggusuran pasar-pasar tradisonal tanpa melihat dampaknya. Ini bukan masalah pemimpin asli Suroboyo atau asli luar Suroboyo. Ini adalah masalah sosial akut, penghancuran budaya asli Suroboyo, agar arek-arek Suroboyo menjadi lemah dan lembek. Dan akan berdampak pada Indonesia, yang akan melahirkan generasi lemah dan lembek. Kehilangan jati diri sebagai arek Suroboyo bahkan Arek Indonesia. Inilah yang seharusnya ditakutkan, sebuah Negara jika sudah kehilangan jati dirinya bagaimana bias maju?
Maka yang seharusnya dilakukan oleh arek-arek Suroboyo, kita belajar kembali, belajar rendah hati, belajar sejarah kita, belajar budaya kita, belajar ilmu agama dan belajar ilmu pengetahuan. Kita sisihkan dulu kata-kata indah yang melambungkan khayalan. Mari kita sama-sama merenung memperbaiki dan mencintai kota Surabaya. Jangan kita hilangkan identitas kita sebagai arek Suroboyo, bangga menjadi arek Suroboyo. Arek Suroboyo sing Cinta Indonesia.
Gigih Pringgondani (pemuda Indonesia)

1 komentar:

Live@Loud mengatakan...

Terima kasih sudah mampir ke Live@Loud. Tentang cara pemesanan tiket Edenbridge sudah saya jawab di post tempat Anda meninggalkan comment. Silakan dilihat.