02/06/11

JALAN KETIGA KEMBALI KE EKONOMI PANCASILA

Kalau satu negara penuh dengan kekayaan alam, tetapi lemah semangat persatuan, lemah intelektual dan mempunyai mental babu, maka negara itulah yang akan jadi umpan atau makanan negara yang gagah perkasa (Tan Malaka,Madilog). Secara statistik dalam pandangan liberalisme, ekonomi Indonesia bergerak sesuai jalur yang benar. Hal ini bisa dilihat dari tahun 2001-2010 pertumbuhan ekonomi selalu mengalami peningkatan yang positif dan tingkat pengangguran pada tahun 2010 menurn dari 7,9% ke 7,14%. Namun yang disayangkan, pertumbuhan ekonomi yang positif membuat masyarakat Indonesia terkena gejala meningkatnya individualisme, semakin melemahnya rasa persatuan dan meningkatnya mental babu dikalangan intelektual Indonesia.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BKPM pada tahun 2010, investasi langsung asing di Indonesia mencapai Rp. 147 Trilliun. Dengan penempatan tertinggi masing-masing adalah Singapura, Inggris, USA, Jepang dan Belanda. Lima sektor yang menjadi prioritas asing secara berturut-turut adalah: 1. sektor pertambangan, 2. sektor listrik air dan gas, 3. sektor Transportasi dan telekomunikasi, 4. Tanaman pangan dan perkebuman serta 5. Industri makanan. Pada triwulan pertama tahun 2011 PMA merealisasikan investasinya sebesar Rp. 39,5 T dengan sumbangan realisasi nasional sebesar 73,8% sedangkan PMDN hanya sebesar 14,1 T atau sebesar 26,2%. Sebenarnya investasi asing di Indonesia tidak menjadi masalah, namun yang menjadi masalah besar adalah bagaimana investasi asing sampai menguasai 73,8% dari keseluruhan investasi yang menguasai hajat hidup rakyat Indonesia.
Meskipun ada statement dari pemerintah bahwa perusahaan asing hanya menyumbang 2,82% dari total PDB (kompas, 27 Mei 2011). Namun data BKPM menunjukkan bahwa investasi asing lebih besar dari investasi dalam negeri, apakah mungkin share investasi sebesar 73,8% menyumbangkan hasil yang hanya sebesar 2,82%? Banyak ahli ekonomi percaya bahwa memperbesar investasi akan memperlancar sistem mekanisme pasar. Jika mekanisme pasar berjalan sempurna, maka kebutuhan individu dari semua pelaku akan dapat terpenuhi sehingga terjadilah kesejahteraan sosial. Dengan kata lain pemenuhan kebutuhan pribadi sama dengan pemenuhan kebutuhan publik. Pertanyaanya apakah sistem yang terdiri atas beberapa pelaku yang bertindak secara pribadi maupun kolektif serta mengejar kepentingan pribadi, akan mampu menciptakan sebuah tatanan sosial yang adil?
Secara sederhana mekanisme pasar tidak akan pernah bisa mengatur yang namanya kesejahteraan sosial. Contoh mudahnya adalah, antara tahun 1975-1999 dunia memproduksi 1393 jenis obat. Namun hanya 16 jenis obat yang benar-benar diperuntukkan untuk masyarakat tidak mampu dalam ukuran ekonomi. Dunia pendidikan juga mengalami gejala yang hampir sama. Selain biaya yang ditanggung mahal, peserta didik dari SD sampai Perguruan tinggi diajarkan dan ditekankan pentingnya sebuah kompetisi individual dan tidak pernah diajarkan mengenai kerjasama berdasarkan kekeluargaan.
Jalan Ketiga Ekonomi Pancasila
Ekonomi pancasila sebagai jalan ketiga, tidak berada pada sisi liberal maupun Marxist, namun menekankan pentingnya rasa nasionalis untuk membangun perekonomian Indonesia. Ekonom Joan Robinson (1962) mengatakan bahwa ilmu ekonomi sebenarnya berakar pada nasionalisme. Sejalan dengan pemikiran Tan Malaka, ilmu ekonomi seharusnya menciptakan pemanfaatan sumber daya yang terbatas guna memenuhi kesejahteraan sosial dan bukan kesejahteraan orang per-orang. Pancasila mengajarkan akan sebuah nilai nasionalisme bangsa Indonesia, yang diaplikasikan dalam bidang ekonomi dengan mendistribusikan secara merata dan adil sumber daya yang terbatas untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun hari ini, ideology itu sudah hampir tidak berlaku lagi, karena kepentingan pribadi telah melebihi kepentingan sosial.
Pengajaran di dunia pendidikan, lebih menekankan hak milik pribadi tanpa mengajarkan adanya kewajiban sosial yang harus kita kerjakan. Contoh: Universiatas majumundur mempunyai sebidang tanah kosong. Tanah tersebut dimanfaatkan anak-nak kampung sekitar untuk bermain bola. Suatu hari universitas akan membuat lapangan futsal yang diperuntukkan untuk mahasiswa, konsekuensinya anak-anak kampung sekitar terpaksa mencari lapangan yang baru. Universitas berhak mendirikan lapangan futsal dan anak-anak kampung sekitar harus menghormatinya karena itu hak pribadi universitas. Universitas tidak ikut bertanggung jawab dalam memberikan sedikit lahan mereka untuk digunakan anak-anak kampung bermain bola guna melepas lelah. Jika anak-anak kampung ingin ikut menikmati, maka diwajibkan membayar dengan tarif yang sudah disediakan. Sungguh ironis!!!
Itulah mengapa ekonomi pancasila yang tidak pro pasar mulai hilang dalam benak masyarakat Indonesia. Prinsip ekonomi pancasila tidak menolak adanya hak milik, tetapi lebih menganjurkan bahwa didalam hak milik itu ada kewajiban sosial yang harus dipenuhi. Dalam prinsip ekonomi pancasila, persaingan bukan untuk menentukan menang dan kalah, tetapi menekankan yang kuat harus menolong yang lemah. Ekonomi pancasila tidak anti bisnis dan investasi. Tetapi, lebih mereduksi kekuasaan modal dengan memikirkan kewajiban sosial. Selama ini kewajiban sosial hanya dipahami pada pemberian dana CSR atau PKBL. Padahal dalam kenyataannya masih ada faktor A,B, C dan D yang masuk dalam tanggung jawab sosial. Jika demikian adanya masa depan kapal Indonesia akan seperti dikemudikan oleh orang buta dengan penumpang yang buta juga.

Tidak ada komentar: