03/01/10

IBU PERTIWI MENANGIS DIAWAL TAHUN(kasus penambangan pasir besi di desa paseban kecamatan kencong kabupaten Jember)

Ibu pertiwi menangis lagi! Itulah ungkapan yang bisa Ngedobos gambarkan betapa menderitanya ibu pertiwi akibat kelakuan anak-anaknya. Ngedobos tahu kasus ini saat, menikmati liburan dengan my big family mengunjungi saudara jauh yang bertempat tinggal di desa paseben, pada tanggal 30-Desember-2009. Ngedobos berangkat dari Surabaya pada hari Rabu sekitar pukul 16.00 Wib, bersama dengan my big family dan tiba di desa paseban sekitar pukul 22.15 Wib. Setelah bercengkrama dengan Pak-Dhe dan Bu-Dhe, ngedobos diajak cangkruk oleh saudara di Sebuah warung kopi disekitar kediaman Pak-Dhe.
Sungguh tidak menyangka, desa yang tenang dan nyaman, ternyata menyimpan sebuah permasalahan yang begitu besar. Sebuah kasus yang jelas-jelas mempunyai dampak sosial, ekonomi dan sosial yang sangat negatif. Saat di warung kopi itulah, ngedobos diberitahu tentang kasus ini. Dari warung, ngedobos di ajak untuk rapat untuk membahas masalah ini. Tulisan ini tidak akan membahas apa hasil rapat tersebut, hanya mengajak para pembaca berpikir secara obyektif, tentang kasus ini dan mohon bantuan pemikiran dan dukungan untuk masyarakat paseban, kecamatan kencong kabupaten Jember.
Profil Desa
Desa paseban kecamatan Kencong termasuk bagian barat Kabupaten Jember. Jarak ke pusat kecamatan 7 km dengan waktu tempuh kira-kira 0,5 jam. Sedangkan jarak ke pusat kota Jember kira-kira 57 km dengan waktu tempuh kira-kira 2 jam kecepatan normal. Desa ini di sebelah utara berbetasan dengan desa Cakru kecamatan kencong, sebelah selatan Samudra Indonesia, Sebelah barat berbatasan dengan desa Wot Galih kecamatan Yosowilangun kabupaten Lumajang, sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan desa Kepanjen kecamatan Gumuk Mas.
Desa paseban mempunyai luas wilayah untuk pemukiman kira-kira 87 Ha, sawah 356 Ha, Ladang 109 Ha, perikanan air tawar 2,75 Ha. desa ini dihuni 2.235 KK, 7.141 Jiwa dengan 1.998 rumah (Hasil sensus desa tahun 2008). Sebagian besar penduduk bermata pencarian dibidang pertanian dalam artian luas( ternasuk melaut), sektor jasa dan sebagian kecil di sektor industri.
Desa ini merupakan daerah penghasil ikan dengan hasilnya 43,5 ton/thn dan hasil panen padi 5,6 ton/ha. Berdasarkan undang-undang nomor 27 tahun 2007 pengolahan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, undang-undang nomer 26 tahun 2007 dan peraturan pemerintah nomer 26 tahun 2008, desa ini termasuk bagian kawasan lindung.
Kronologis Permulaan Kasus
Proses penambangan pasir besi di desa Paseban berawal dari rencana pemerintah untuk menambang pasir besi yang dilaksanakan oleh PT. Agtika Dwi Sejahtera, yang rencananya akan diadakan kontrak kerja selama 35 tahun. Saat diadakan rapat pertama kali antara pemerintah, PT dan masyarakat tidak terjadi titik temu dan hampar seluruh masyarakat menolak diadakannya penambangan pasir besi. Setelah pertemuan yang tidak menghasilkan kesepakatan tersebut, Pihak PT dan pemerintah tetap mengambil sample yang dilakukan sekitar bulan Desember 2008. Selanjutnya camat Kencong melakukan proses sosialisasi pada tanggal 21 Januari 2009 yang mengundang kepala desa dan perwakilan masyarkat dengan surat bernomer 005/30/436.524/2009 bertempat di panti PKK Kecamatan Kencong untuk membahas masalah ini.
Pada tanggal 10 September 2009 dikeluarkan surat No. 540/487/411/2009 oleh Disperindag kepada PT Agtika Dwi Sejahtera dan No. 541.3/056/436.314/2008 kepada Soedarsono Sugih Slamet komisaris utama, perihal ijin untuk keperluan pengambilan sample testing terakhir sebelum mesin-mesin berat dikirim ke Desa ini. Adapun pengambilan sempel sebanyak 15 ton jenis bahan galian pasir.
Pada tanggal 20 Oktober 2009 aparatur desa dan BPD(badan perwakilan masyarakat desa, sejenis dengan DPR tapi hanya tingkat desa) melakukan rapat koordinasi bertempat di ruang rapat sekretariat desa Pasebean dengan agenda menyamakan sikap terhadap tuntutan masyarkat Desa untuk menolak penambangan pasir besi di desa Paseban. Pada tanggal 22 Oktober Kepala Desa mengundang 125 anggota masyarakat untuk keperluan sosialisasi hasil rapat tanggal 20 Oktober 2009. Tapi warga tetap menolak terjadinya eksploitasi kandungan alam tersebut. Setelah rapat usai, terjadilah pembakaran dan pengerusakan base camp dan patok milik PT Agtika Dwi Sejahtera kerena dianggap meresahkan masyarakat desa Paseban. Akibat inseden tersebut terjadi pemanggilan dan penangkapan terhadap 8 orang masyarakat oleh Polres setempat.
Sekarang Ngedobos akan mancoba menganalisa kasus diatas dengan sudut pandang ilmu ekonomi dan ilmu sosial. Silakan pembaca menerjemahkan dan berpikir sendiri.
Nilai Ekonomi Total
Konsep dari nilai ekonomi total dari suatu sumberdaya lingkungan memiliki fondasi dalam kesejahteraan ekonomi. Konsep dari nilai ekonomi menitik beratkan dalam ekonomi kesejahteraan masyarakat, oleh karenanya istilah “Nilai Ekonomi” dan “Perubahan Kesejahteraan” dapat dipakai bergantian. Nilai ekonomi total (TEV) dapat dinyatakan sebagai berikut :
TEV = UV + NUV
Dimana : UV adalah Nilai yang digunakan yang terdiri dari (DUV +IUV + OV) dan NUV adalah Nilai yang tidak digunakan terdiri dari ( XV + BV ), maka nilai ekonomi total dapat dinyatakan sebagai :
TEV = (DUV + IUV+ OV) + (XV + BV )
Dimana : DUV = Nilai langsung yang didapat
IUV = Nilai tidak langsung yang didapat
OV = Nilai opsi
XV = Nilai exsistensi
BV = Nilai warisan
Dilihat dari pendekatan TEV maka sudah sangat jelas bahwa pertambangan akan sangat merugikan masyarakat dan lingkungan. Secara kasar saja bisa dilihat pada model diatas, bahwa ada 2 nilai yang tidak bisa kita ukur dengan uang yaitu nilai Exsistensi dan nilai warisan. Mengapa? Karena nilai exsistensi merupakan nilai yang mencakup secara keseluruhan ketergantungan antara lingkungan sekitar pantai dan kehidupan di daerah tersebut. Nilai warisan malah sangat tidak bisa kita ukur dengan uang. Sekarang siapa yang bisa menghitung berapa besar warisan yang dikorbankan jika eksploitasi tambang jadi dilaksanakan. Berapa nilai sejarah yang hilang, perubahan sosial, keindahan, kenyamanan dan masih banyak nilai warisan yang akan hilang dan itu semua tidak bisa kita ukur dengan uang.
Ekonomi Pencemaran
Dari prespektif ekonomi, pencemaran bukan saja dilihat dari hilangnya nilai sumber daya akibat berkurangnya kemampuan sumber daya secara kualitas maupun kuantitas untuk menyuplai barang dan jasa, namun juga dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat. Maka kegiatan ekonomi apapun pasti menghasilkan pencemaran. Dengan alur logika, semakin besar kegiatan ekonomi yang dilakukan maka semakin besar pula zat sisa yang dihasilkan, nah zak sisa inilah yang menimbulkan pencemaran.
Di dalam ilmu ekonomi ada hukum yang dinamakan dengan the law of marginal dhiminishing return. Jika kita bawa hukum ini sebagai landasan pola berpikir dalam kasus ini, maka semakin lama hasil yang didapat dari eksploitasi akan semakin turun, berbnding terbalik dengan kerusakan alam yang akan semakin meningkat. Jika sampai pada suatu titik tertentu(dengan perhitungan data yang ada) maka akan terjadi apa yang dinamakan degradasi lingkungan. Dampaknya? Ya macam-macam biar ahli lingkungan saja yang menjelaskan. Jika kita hitung biaya penutupan pencemaran dan mengembalikan ke kondisi awal atau paling tidak 75%, maka keuntungan eksploitasi tidak akan mencukupi. Nah dari situlah kita tahu mengapa freepot, newmon, Lapindo tidak mau mengeluarkan biaya perbaikan. Apa lagi untuk kasus ini…..
Adapun salah satu alat untuk mengendalikan pencemaran yang baik, menurut penulis adalah pengendalian dengan command and control( CAC). Pengendalian ini murni langsung melalui perintah dan pengawasan dari pemerintah. Pengendalian jenis ini dilakukan dengan menggunakan skema pengaturan administratif dan perundang-undangan yang terkait. Langsung dengan jumlah pencemaran dengan menggunakan teknologi yang bisa mengurangi polusi. Permasalahanya, kita semua tahu bagaimana Pemerintahan Negara kita, bisa tidak mereka konsisten dengan pengendalian pencemaran, padahal sudah kita baca pembukaan di depan betapa “ angkuhnya” pemerintah.
Al-Istishlah(kemslahatan umum)
Didalam ilmu ekonomi hal diatas disebut dengan public good dimana dampaknya disebut eksternalitas baik posyif maupun negatif. Maka dalam Islam lingkungan ini sangat-sangat penting. Visi yang diberikan Islam terhadap lingkungan termasuk usaha memperbaiki ( ishlah) terhadap kehidupan manusia. Kewajiban ini bukan hanya untuk sekarang atau sampai 50 tahun kedepan, tapi untuk selama-lama smapai hari kiamat( end of time). Inilah mengapa nilai warisan tidak bisa diukur dengan uang.
Saya akan ambilkan hipotesis Lovelock(1979) bumi merupakan makhluk hidup yang disebut Gaia. Bumi dapat menjadi sakit akibat tidak bisa memulihkan seperti kondisi seperti semula apabila terjadi pengurasan Sumber Daya Alam. Maka dalam ilmu ekonomi yang berwawasan lingkungan selalu ditekankan bagaimana mereduksi dampak eksternalitas negatif tersebut, atau yang disebut paretto optimum.
Maka berlebih-lebihan atau diluar kondisi paretto optimu akan menyebabkan bencana alam yang dahsyat. Maka jika kita lihat dalam kasus ini, dimana PT mengikat kontrak dengan pemerintah selama 35 tahun, ya tinggal kita hitung saja kerusakan dan bencana yang akan terjadi.
Sebagai penutup saya akan mencuplik perkataan profesor Emil Salim, pembanguan konvensional lazim diartikan sebagai usaha eksploitasi sumber daya alam menghasilkan output produk yang sebesar-besarnya dengan biaya seminimal mungkin. Tolak ukur keberhasilan pembangunan adalah naiknya PDB. Semakin banyak sumber daya alam yang terolah, semakin berhasilah pembangunan.
Ha diatas, sudah tidak berlaku lagi untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan demi terciptanya masyarakat adil dan makmur. Ilmu ekonomi sudah mengubah paradigmanya menjadi ilmu ekonomi yang berwawasan lingkungan. Hal ini terbukti dengan konfrensi Konpenhagen yang baru saja dilaksanakan, meskipun hasilnya tidak sesuai. Maka Ngedobos mohon kepada pembaca sumbangan pikiran dan dukungan untuk masalah ini, agar tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar: