02/12/09

UNTUK APA MENJADI SEORANG PAHLAWAN?

Untuk apa seseorang menjadi pahlawan? Untuk apa seorang harus bekerja menjadi seorang pahlawan? Memaksakan diri untuk berkorban menyelamatkan Nusa dan Bangsa? Sebegitu pentingkah, menjadi seorang pahlawan? Sampai harus memaksakan diri menjadi pahlawan. Disanjung dan dipuji merupakan kenikmatan dan hadiah bagi yang berhasil menjalankan tugas menjadi seorang pahlawan. Dihina dan dicaci bahkan dibunuh menjadi hukuman bagi yang gagal menjalankan tugas kepahlawanan. Apakah ini yang mau saudara-saudara sekalian capai?
Andaikan di seluruh Indonesia ini timbul pahlawan-pahlawan baru, sekelas Ir. Sukarano, sehingga tak ada lagi koruptor, tak ada lagi kejahatan, keserahkahan dan maksiat. Maka, tidak lantas dan serta merta bngsa kita ini akan selamat atau apalagi mencapai sebuah kemajuan menjadi sebuah bangsa yang besar.
Baik buruk, jahat tak jahat bukan satu-satunya faktor penentu nasib manusia. Karena hal tersebut merupakan satu kesatuan. Dimensi dasar yang membentuk nilai diri manusia, tersusun bertingkat-tingkat dan berkompleks-kompleks, seperti penyusun DNA-DNA kita. Sangat rumit dan kompleks.
Ada orang yang yang mengucapkan sesuatu dan melakukan-nya. Ada orang yang mengucapkan tetapi tak melakukannya. Ada orang yang tak mengucapkan dan melakukan-nya. Ada orang yang tak melakukan dan mengucapkan….., dengan berbagai komponen dan variabelnya.
Ada orang yang mengkritik dan memberi jalan keluar, ada orang yang memberi kritik tanpa memberi jalan keluar, ada orang yang memberi jalan keluar tanpa mengkritik, dan ada orang yang tak mengkritik dan tak memberi jalan keluar…. Beserta segala tindak dan alan pemikirannya.
Ada orang yang berjuang dan berteriak-teriak melaksanakan perjuangannya. Ada orang yang berteriak-teriak perjuangan tanpa melaksanakannya. Ada orang yang berjuang tanpa berteriak. Ada orang yang tidak berjuang dan tidak berteriak-teriak.
Menumbuhkan semangat untuk menjadi sebuah insankamil sangat-lah berat. Terutama di jaman sekarang. Jaman yang serba tidak menentu. Berjuang dan perjuangan merupakan sebuah salah satu nilai dasar kehidupan manusia. Tidak dimonopoli oleh Mahasiswa-tok, Tokoh masyarakat-tok, Ulama-tok, Pejabat-tok, tapi kita semua yang mengaku sebagai umat manusia. Jadi apa gunanya menjadi seorang pahlawan?
Saya jadi teringat akan omongan seorang tukang becak. Tepat hari minggu kemarin 29-11-2009, di sela-sela menuggu bus Trans Jogjakarta. Beliau mengatakan “ Mahasiswa sekarang tidak mengerti apakah yang dimaksud dengan kebenaran” Kalau hal ini saya perluas lagi, dengan sebuah ungkapan mahasiswa sebagai agent of change, sebuah perkataan yang masih ambigu, dan tentu akan ditertawakan oleh bapak tadi. Perubahan menjadi jahatkah? Atau menjadi baik-kah? Atau tidak berubah? Bagaimana seorang mahasiswa mau berjuang dan mem-perjuangkan kalau yang dimaksud dengan sebuah kebenaran itu sendiri mereka tidak mengerti. Jadi apa gunanya menjadi pahlawan?
Mari-mari kita lihat, sejarah-sejarah kuno, ilmu kuno yang sudah lama ditinggalkan oleh manusia Indonesia. Kita lihat bagaimana Kanjeng Sunan Kalijogo, Kanjeng Syeh Siti Jenar, Kanjeng Sunan Bonang, dan tentu saja Kanjeng Rasulluah Saw, beserta Kulfaurrosyidin. Mereka tidak berteori tentang apa itu nilai kepahlawanan, apa itu nilai pengorbanan. Beliau-beliau berangkat dari kenyataan bukan dari angan-angan. Jika sudah mengetahui kenyataan, buat apa menjadi seorang pahlawan?
Kalau saja saya berbuat baik untuk teman saya. Menolong mengerjakan tugas, memberikan bantuan bagi orang miskin, sebagai pioneer pemberantasan narkoba di kampung saya, pokoknya setiap orang kesusahan selalu saya tolong. Apakah itu berarti saya pantas mendapat sebutan pahlawan? Mungkin sekali saya berbuat begitu untuk tujuan dan maksud tertentu yang tidak akan saya katakana pada anda-anda. Jadi buat apa menjadi seorang pahlawan?
Buat apa menumbuhkan nilai-nilai kepahlawanan? Untuk menciptakan pahlawan-pahlawan baru? Sebenarnya tidak usah mencari kesana-kemari untuk menumbuhkan nilai kepahlawanan itu, carilah didalam diri saudara-saudara-ku sekalian. Sebuah esensi dasar dan yang paling dasar dalam penciptaan manusia yaitu Ruh kita ini, dan nama ruh kita sebenarnya adalah Muhamad( Yang Terpuji). Jadi Buat apa menjadi seorang Pahlawan?
Soekarno, Soeharto, Hitler, Mussolini, Diponegoro, Semaun apakah mereka tidak bisa disebut pahlawan? Apakah mereka tidak berkorban? Mereka jelas pahlawan bagi para pengagum-pengagumnya, tapi bagi oposisi-nya? Nanti dulu. Pengorbanan mereka jelas besar, coba kita melihat fakta sejarah, berapa besar pengorbanan seorang Soekarno untuk merebut kemerdekaan. Berapa besar pengorbanan yang dilakukan seorang Hitler untuk mewujudkan Ubber Alliez(Bangsa Arya bangsa yang unggul). Berapa besar pengorbanan Semaun untuk menciptakan Negara Indonesia Soviet sosialis. Bukan-kan mereka pahlawan di masing-masing bidang, ideology, cita-citanya. Jadi buat apa menjadi seorang pahlawan?
Mereka tidak bisa hilang dari sistem pemikiran kita, dari sistem kehidupan kita. Semula kita meng-idolakan mereka, berkembang menjadi “bagian dari dirimu”, berkembang lagi menjadi “ mereka adalah dirimu”. Inikah nilai kepahlawanan yang dimaksud? Saya jadi teringat tentang sebuah nasihat kuno, yang mungkin juga sudah ditinggalkan oleh banyak saudara-saudaraku se-bangsa dan se-tanah air. Begini bunyi-nya: “ perhatikan setiap butir nasi dan tetes air yang masuk kedalam tenggorokanmu, perhatikan asal-usulnya apakah halal atau haramnya. Sebab itulah yang akan engkau wariskan kepada anak cucumu”. Jadi sudahkah kita mengaca pada diri kita sendiri tentang hal diatas. Jadi buat apa kita menjadi seorang pahlawan.
Mari kita bermain tentang sebuah teknik psikologi massa atau orang terkenal. Sakit lebih menonjol dari sehat. Kacau lebih menggairahkan daripada aman. Hancur lebih mudah daripada bangkit. Tukaran lebih enak diceritakan dari pada kerukunan. Carok lebih mantap menjadi berita dari pada persaudara-an. Maka dari keadaan-keadaan ini timbul-lah apa yang disebut Pahlawan. Kanjeng Rasul, Kanjeng Sunan, Ir Sukarno, Hitler, Kaisar Meiji, George Washington, Jhon Maynard Keynes. Mereka semua pahlawan-pahlawan yang muncul dari keadaan-keadaan diatas. Lalu jika keadaan aman, damai, tenang, tentram dan bahagia. Dimana letak kerja seorang pahlawan? Apaka suasana-suasana diatas harus diciptakan lebih dahulu untuk menunjukkan letak kerja seorang pahlawan, baru seorang pahlawan bisa bekerja. Kalau begitu buat apa menjadi seorang pahlawan?
Problemmatika bangsa beserta cabang-cabang, ranting-ranting dan akar-akarnya sudah begitu besar dan dalam. Seorang yang mengaku sebagai bangsa Indonesia harus mengetahui mana akar permasalahan, mana daun permasalahan dan mana batang permasalahan. Bangsa Indonesia harus berpikir cerdas untuk dapat memahami hal diatas. Jangan masalah penting disepelehkan dan masalah sepele dipentingkan. Jadi buat apa menjadi seorang pahlawan? Tanpa pernah mengetahui mana permasalahan akar, batang dan daun.
Mari kita kembali lagi ke ilmu kuno, ilmu sejarah. Mari kita berhitung adanya kitab suci itu sejak tahun ke-berapa? Kanjeng Nabi Musa As adalah penerima kitab suci pertama, dengan Ten comandement-nya. Tapi sebelumnya adakah kitab suci yang diturunkan Gusti Allah Swt. Tidak ada kitab suci yang diturunkan oleh Gusti Allah sebelum Taurat diturunkan. Hal ini menandakan apa, ternyata manusia setiap tahun kualitas kemanusia-an terus turun. Maka diturunkanlah kitab suci, sebagai pedoman hidup manusia. Meskipun sudah ada kitab suci yang diturunkan, manusia tetap saja membangkang. Terus apa gunanya menjadi seorang pahlawan? Bukan-kah Kalam Gusti Allah tidak mempan terhadap kebanyakan umat manusia. Bukan-kah banyak dari saudara-saudara yang mengamalkan kulit dari kitab suci tersebut.
Problemmatika bangsa hanya bisa diselesaikan dengan menyadarkan dan kembali sadar siapa diri kita. Kembali ke-asal nur Muhamad, nur yang suci. Tidak ada tempat bagi seorang Pahlawan jika kita sudah menyadari siapa diri kita. Bagi yang Islam tanamkan ajaran Rahmatalilalamin, jika yang Kristen kembali kepada Bapa Allahnya. Jika yang Budha kembali Budha sejatinya, bagi yang Hindu kembali kepada Sang Hyang Widinya. Bukan-kah tidak ada perbedaan isi ajaran antara Jesus dan Muhamad. Yang jadi permasalahan adalah ajaran-ajaran beliau telah diselewengkan sampai jauh, seperti lagu bengawan Solo, mengalir sampai jauh. Ajaran-ajaran beliau telah keluar dari pakem, Ritual agama Islam hanya sebuah kedok pembenaran dari keselahan mereka, begitu juga Kristen, Budha dan Hindu. Tidak tahu mana kebenaran sejati dan kebenaran palsu. Hal ini diperparah dengan keinginan mereka untuk memahami dan mendalami hakekat ajaran agama masing-masing. Jadi apa gunanya menjadi seorang Pahlawan jika kita tidak mengerti apa hakekat ajaran-ajaran agama.
Setelah sadar dan mengerti siapa diri kita, baru kita naik ke tahap selanjutnya untuk merajut dan membangun kembali Bangsa ini. Yaitu tahap persaudara-an tahap, saling memili dan mencitai. Itulah hakekat dari kalimat Bhineka tunggal ika. Bersama-sama bukan berarti mempersamakan, menyeragamkan pemikiran tanpa ada ruang untuk kebebabasan berpikir. Mengambil dari konsep Adam Smith, yaitu “biarkan orang-orang bekerja menurut kemaunnya sendiri”. Konsep ini harus ditambah dengan kalimat, Untuk mencapai kemajuan bersama. Maka kalimat Bhineka tunggal ika yang artinya “berbeda-beda tapi tetap satu jua”. Merupakan sebuah kalimat pernyataan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang plural dan majemuk, dengan beragam pemikiran, ideologidan cita-cita, tapi keberagaman ini dinaungi dengan kesamaan, kesatuan dan persatuan yaitu terwujudnya sebuah Negara yang makmur, adil dan sejahtera bagi seluruh masyarakatnya. Tidak ada satu bangsa-pun yang bisa menjadi besar tanpa persatuan. Hal ini berlaku disegala aspek kehidupan masyarakat. Entah itu organisasi, sekolahan, kelompok belajar, Jama’ah. Konsep kebersamaan dan rasa cinta dalam artian luas harus dimiliki oleh masing-masing Individu manusia.
Saya akan cuplikan sedikit tentang ilmu kuno lagi, yaitu Pupuh Asmaradana, sebuah pernyataan dari Kanjeng Sunan Bonang. Silahkan pembaca menerjemahkan dan menafsirkan sendiri. Nenggih Sinuhun Benang, Ingkang miwiti karuhun, Amedhar ing pangawikan. Ing karsa manira iki, Iman tokid lan makripat, Weruh ing kasampurnane, Lamun masiha makripat, Mapan durung sampurna, Dadi batal kawruhipun, Pan maksih rasa rumasa. Sinuhun Benang ngukuhi, Sampurnane wong makripat, Suwung ilang paningale, Tan ana kang katingalan, Iya jenenging tingal, Manteb Pangeran Kang Agung,
Kang anembah kang sinembah. Pan karsa manira iki, Sampurnane ing Pangeran, Kalimputan salawase, Tan ana ing solahira, Pan ora darbe seja, Wuta tuli bisu suwung,
Solah tingkah saking Allah. Sinuhun Benang anuli, Ngandikani Wali samya, Heh sanak manira kabeh, Punika kekasih alam, Yen mungguh ing manira, Jenenge Roh semunipun,
Ing Roh-e Nabi Muhammad .
Jadi Kanjeng Sunan Bonang berkata, menurut pendapatku, Tingkatan Iman ( Keyakinan ), Taukhid ( Ke-Esa-an), dan Ma’rifat ( Melihat Kebenaran Sejati ), Masih harus ditambah lagi satu tingkatan yaitu MENYADARI KESEMPURNAAN SEJATI, Apabila masih dalam tingkat Ma’rifat, Belumlah sempurna, Karena masih sekedar ‘MELIHAT’, belum ‘MENYADARI’. Sehingga masih mengira-ngira. Kanjeng Sunan Bonang meyakini benar, Kesempurnaan Ma’rifat, Kosong Hilang Penglihatan makhluk, Tiada lagi yang terlihat, Karena keadaan sang pelihat, Hanya ‘MELIHAT’ PANGERAN KANG AGUNG (TUHAN YANG AGUNG), (Tiada lagi terlihat lain, kecuali hanya) Yang Menyembah dan Yang Disembah. Jelasnya maksudku (Sunan Benang) ini, Kesempurnaan Sejati, Adalah terliputi selamanya ( oleh Dzat-Nya ), Tiada lagi gerak (makhluk), Tiada lagi kehendak (makhluk), Buta tuli bisu kosong (kemakhlukan kita), Dan segala gerak dan kehendak hanya dari Allah. Lantas Sinuhun Benang, Menanyakan kepada Para Wali, Wahai saudaraku semua, Inilah Kekasih Semesta, Yang ada didalam diri kita semua, Yaitu Ruh kita ini, Dan nama Ruh kita sebenarnya adalah Muhammad ( Yang Terpuji).
Jadi saudara-saudaraku, Kita tidak perlu ribut-ribut bagaimana caranya menjadi seorang pahlawan. Karena didalam diri kita sudah terdapat nilai-nilai dari kepahlawanan itu sendiri. Kita hidup di dunia ini berarti sudah mentransformasikan nilai-nilai kepahlawanan yang ada dalam diri kita sendiri. Entah itu menjadi Pahlawan bertopeng, Pahlawan kesiangan, Pahlawan perang, pahlawan Ham, atau Pahlawan sejati. Itu semua hanya sebuah pilihan, sebuah bungkus yang menutupi derajad kemulia-an kepahlawanan kita sendiri. Pahlawan dan pengorbanan masih kurang dan belum bisa menyelesaikan masalah probelmmatika bangsa ini. Setiap manusia harus mengerti dan menyedari Pahlawan yang bagaimana yang dimahui oleh ajaran-ajaran agama masing-masing. Baru nilai ke-Pahlawanan itu menjadi berguna untuk Bangsa dan Negara. Mari kita senantiasa berusaha, belajar dan berjuang untuk menjadi pahlawan sejati. Yaitu Pahlawan yang di-Ridhoi oleh Gusti Allah. Untuk tercapainya Kemajuan Bangsa Indonesia. Sejahtera masyrakatnya dan sejahtera Makhluk lain yang mendiami bumi pertiwi( Hewan dan Tumbuhan). Semoga kita semua bisa menjadi Insan Kamil, tingkatan manusia yang paling tinggi menurut agama Islam. Mampu mengamalkan ajaran Rahmatallilalamin. Amin.
Daftar pustaka
Jejak tinju kiai, Cak Nun
Blog serbasejarah.wordpress.com Bang Kopral tak artikelnya tak jadi-in referensi.

Tidak ada komentar: